Di dalam kereta bisnis jurusan
Semarang, sekitar sepuluh tahun lalu, saya dan teman saya merasa tidak nyaman
bercakap-cakap akibat asap rokok yang terus mengepul dari tempat duduk di
belakang kami. Kami saling melirik, di dalam hati ingin menegur si perokok
aktif yang sepertinya tidak juga berhenti merokok. Habis sebatang, lanjut lagi
dengan batang yang lain. Kami tahu, si perokok itu hanya duduk sendiri. Mungkin
jika dia punya teman duduk, teman duduknya pun pasti keberatan dengan
tindakannya yang merokok tanpa henti. Eh, dipikirnya hanya teman duduknya yang
terganggu? Kami yang duduk di depannya, jauh lebih terganggu, karena angin dari
luar membawa asap rokok itu ke arah kami.