Saya tak perlu ke Brisbane untuk menulis novel tentang Brisbane. Memang akan lebih baik jika saya menjejakkan kaki sungguhan di Brisbane agar novel saya terasa nyata. Tapi, apa benar saya harus ke Brisbane untuk sekadar menulis novel? Lalu, apa gunanya imajinasi?
Hai, hai. Akhirnya saya kembali menulis tentang Motivasi Menulis. Sudah lama saya jarang menulis tentang buku dan pernak-perniknya karena fokus menulis saya saat ini bukan di buku. Saya sedang asyik menjadi blogger yang menulis ringan tentang keseharian, liputan, review produk, dan sebagainya.
Rupanya dunia penulisan buku masih menarik untuk diulas, dari mulai kisruh pajak royalti sampai kasus terbaru: Bapak IJ ditangkap karena mengonsumsi sabu. Katanya hanya untuk mendalami (riset) novel yang sedang ditulisnya yang berkisah tentang dunia narkoba. Saya cukup terkejut mendengar nama beliau, karena selama ini hanya mengenalnya sebagai konsultan politik. Ternyata beliau menulis novel juga.
Whops, apakah untuk menulis novel tentang narkoba lalu penulisnya juga harus mengonsumsi narkoba? Jujur, penulis yang dekat dengan dunia yang ditulisnya memang bisa lebih menguasai tulisannya dan sering kali karyanya itu mampu membius pembaca. Contohnya, penulis yang memiliki latar belakang wartawan kriminal, kemudian menulis tema kriminal. Mereka menguasai seluk beluk di dalamnya karena sering bersentuhan dengan dunia itu, walaupun tidak harus menjadi perjahat.
Saya sempat tersindir sewaktu ada seorang editor yang memuji penulis novel lain karena berani melakukan riset langsung, yaitu mengunjungi penjara anak-anak. Atau penulis yang menulis novel dengan latar luar negeri dan memang sudah ke sana. Di satu sisi, saya setuju bahwa penulis novel juga harus melakukan riset untuk novelnya. Di sisi lain, saya keberatan kalau penulis novel harus betul-betul terjun ke dunia yang ditulisnya. Akibatnya apa? Ya seperti kasus Bapak IJ itu, mau menulis tentang narkoba, harus mencicipi narkoba dulu.
Ya kan nggak lucu kalau kita mau menulis novel tentang pembunuhan, lalu kita membunuh dulu untuk tahu bagaimana sensasi membunuh. FYI, novel adalah karya fiksi yang mengandalkan imajinasi. Novel berisi cerita karangan penulis yang mana semua tokoh dan jalan ceritanya fiksi. Beberapa ada yang menulis novel dengan berdasarkan kisah nyata, tapi tetap saja fiksi karena ada sebagian yang dikarang untuk menimbulkan kesan dramatis.
Imajinasi adalah modal utama seorang penulis novel. Riset dengan mendatangi langsung lokasinya itu betul, tapi hanya wajib dilakukan oleh penulis non-fiksi. Misalnya, penulis buku traveling seperti Trinity. Ya sudah tentu dia harus datang langsung ke tempat yang ditulisnya karena bukunya adalah buku non-fiksi atau buku yang berdasarkan kisah asli, bukan rekaan. Sedangkan penulis novel, dari genrenya saja sudah diketahui fiksi atau rekaan. Ya suka-suka kita mau berimajinasi seperti apa.
Riset diperlukan sekadar mengetahui kondisi dan situasi di sana sebagai gambaran tempatnya. Karena sebenarnya bukan latar tempat itu yang utama, melainkan cerita yang akan diangkatnya, penokohan, dan konflik cerita. Latar tempat hanya pendukung cerita. Terlalu fokus pada latar tempat hanya akan membuat buku kita menjadi seperti buku Geografi, bukan novel.
Begitu juga cerita tentang dunia narkoba. Tidak perlu menjadi pecandu hanya untuk menulis tentang narkoba. Cukup mendatangi mantan pecandu dan minta diceritakan pengalamannya mengapa dan bagaimana saat kecanduan. Apa rasanya narkoba? Bagaimana efeknya? Dan sebagainya. Sama halnya saat saya menulis novel Brisbane. Saya tidak perlu datang ke Brisbane untuk menuliskan cerita kedua tokohnya yang sedang berada di sana.
Alasannya, pertama, saya belum punya paspor. Kedua, saya belum punya biayanya hahaha.... Lalu, apa yang saya lakukan supaya latar tempatnya seolah nyata meskipun belum pernah ke sana? Kebetulan, saya punya teman yang kuliah di Brisbane. Jadi, saya wawancarai saja dia tentang pengalamannya kuliah di sana. Bagaimana kondisi dan situasi di sana, bagaimana makanannya, bagaimana orang-orangnya, dan lain-lain.
Untuk gambar-gambarnya, saya googling atau melihat di internet. Bisa juga memakai satelit google map yang memotret kondisi nyata di sana. Saya tahu itu dari suami. Lalu, saya bayangkan tokoh-tokohnya ada di sana. Dan tentu saja itu membutuhkan imajinasi yang tinggi supaya latarnya benar-benar hidup seolah-olah saya pernah ke sana.
Itulah bedanya penulis novel dan non-fiksi. Penulis novel memang mengandalkan imajinasi. Kadang-kadang seperti orang yang hilang akal, karena dari luar terlihat bengong padahal sedang mengkhayal. Buat saya, proses mengkhayal itulah yang menyenangkan dari seluruh proses menulis novel. Saya bisa menjadikan diri saya berada di mana saja yang saya suka dan menjadi siapa saja. Ketika ceritanya selesai, saya kembali menjadi seperti apa adanya saya.
Kalau punya uang untuk ke Brisbane langsung, ya tidak salah juga ke sana. Malah bagus. Tapi tidak untuk novel-novel yang negatif, seperti narkoba, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan lain-lain. Kita tidak harus melakukan semua itu untuk mendalami cerita kita nanti. Please, don't be idiot.
Rekan saya, Riawani Elyta, sering menulis novel bertema pembunuhan, dunia kriminal, dan sebagainya, tetapi beliau adalah seorang ibu cantik berstatus PNS dengan hijab lebar dan santun. Kok bisa? Ya bisa, namanya juga novelis. Tertarik ingin belajar menulis novel bersama kami? Klik link di bawah ini.
Menjawab pertanyaan seorang pembaca Novel Brisbane melalui email, kita bisa melakukan riset novel sebagai berikut:
Mencari dan Mewawancarai Narasumber
Narasumber adalah orang yang merasakan, mengalami, atau mengetahui langsung hal-hal yang akan kita tulis di dalam novel itu. Misalnya, teman saya yang pernah kuliah di Brisbane. Setelah menemukan orang tersebut, kita bisa minta izin mewawancarainya.
Untuk tema-tema yang sulit seperti narkoba, pembunuhan, dan sebagainya, dibutuhkan keberanian mendekati narasumber. Kalau tidak berhasil menemukan narasumber, kita juga bisa riset melalui sumber-sumber lain. Narasumber ini bukan hanya pelaku, tapi bisa juga orang-orang yang dekat dengan pelaku.
Mencari Info di Media Massa dan Internet
Tidak berhasil menemukan narasumber, kita bisa mencari informasi di media massa seperti koran, majalah, dan internet (google, media sosial). Kita bisa membandingkan, menambah, dan mengurangi informasi dari media satu dengan media yang lain, karena antara media yang satu dan yang lain itu sering tidak sama dalam menulis berita.
Menonton Film dan Membaca Buku dengan Tema Sejenis
Di dunia ini tidak ada ide yang baru. Semua ide sudah dikembangkan oleh orang lain. Cara kita mengembangkannya lah yang membuat ide kita terasa berbeda. Jadi, kalau kita punya ide menulis tentang pecandu narkoba, sebenarnya sudah banyak novel yang bercerita tentang itu.
Cobalah menambah wawasan dengan menonton film dan membaca novel yang memiliki tema sejenis dengan ide novel kita. Pelajari bagaimana penulis lain mengolah idenya juga sumber-sumber yang dimiliki. Misalnya kalau mau menulis dengan latar luar negeri, pelajari bagaimana cara pengarang itu mengangkat latar luar negeri sehingga terasa nyata.
Maksimalkan Imajinasi
Kunci untuk menjadi penulis novel adalah imajinasi. Tanpa imajinasi, penulis novel akan mati. Tidak semua hal yang kita tulis itu harus kita alami sendiri. Sekali lagi, tidak. Kalau harus merasakannya sendiri, ya tulislah buku non-fiksi. Novel ditulis berdasarkan imajinasi atau rekaan.
Bayangkan kita berada di tempat yang sedang kita tulis, dengan bantuan gambar-gambar atau cerita dari narasumber. Bayangkan suasananya, orang-orangnya, makanannya. Itu mengapa menulis novel lebih enak dilakukan dalam suasana sepi dan sendirian, misalnya tengah malam. Karena kita butuh konsentrasi saat membayangkan semua itu.
Demikian pula kalau kita ingin menulis tentang pencari narkoba. Kita mendapatkan cerita bagaimana rasanya sakau dari orang yang kita wawancarai atau dari media. Lalu, cukup kita bayangkan saja bila kita juga merasakannya. Tak perlu ikut mencicipi narkoba.
Setidaknya itulah beberapa hal yang saya lakukan untuk riset novel. Tentunya suatu ketika nanti saya ingin mendatangi tempat-tempat yang sudah saya tulis di novel. Semoga saja saya punya kesempatan. Aamiin.
Baca Juga: Tips Agar Novelmu Cepat Selesai
Mencari dan Mewawancarai Narasumber
Narasumber adalah orang yang merasakan, mengalami, atau mengetahui langsung hal-hal yang akan kita tulis di dalam novel itu. Misalnya, teman saya yang pernah kuliah di Brisbane. Setelah menemukan orang tersebut, kita bisa minta izin mewawancarainya.
Untuk tema-tema yang sulit seperti narkoba, pembunuhan, dan sebagainya, dibutuhkan keberanian mendekati narasumber. Kalau tidak berhasil menemukan narasumber, kita juga bisa riset melalui sumber-sumber lain. Narasumber ini bukan hanya pelaku, tapi bisa juga orang-orang yang dekat dengan pelaku.
Mencari Info di Media Massa dan Internet
Tidak berhasil menemukan narasumber, kita bisa mencari informasi di media massa seperti koran, majalah, dan internet (google, media sosial). Kita bisa membandingkan, menambah, dan mengurangi informasi dari media satu dengan media yang lain, karena antara media yang satu dan yang lain itu sering tidak sama dalam menulis berita.
Menonton Film dan Membaca Buku dengan Tema Sejenis
Di dunia ini tidak ada ide yang baru. Semua ide sudah dikembangkan oleh orang lain. Cara kita mengembangkannya lah yang membuat ide kita terasa berbeda. Jadi, kalau kita punya ide menulis tentang pecandu narkoba, sebenarnya sudah banyak novel yang bercerita tentang itu.
Cobalah menambah wawasan dengan menonton film dan membaca novel yang memiliki tema sejenis dengan ide novel kita. Pelajari bagaimana penulis lain mengolah idenya juga sumber-sumber yang dimiliki. Misalnya kalau mau menulis dengan latar luar negeri, pelajari bagaimana cara pengarang itu mengangkat latar luar negeri sehingga terasa nyata.
Maksimalkan Imajinasi
Kunci untuk menjadi penulis novel adalah imajinasi. Tanpa imajinasi, penulis novel akan mati. Tidak semua hal yang kita tulis itu harus kita alami sendiri. Sekali lagi, tidak. Kalau harus merasakannya sendiri, ya tulislah buku non-fiksi. Novel ditulis berdasarkan imajinasi atau rekaan.
Bayangkan kita berada di tempat yang sedang kita tulis, dengan bantuan gambar-gambar atau cerita dari narasumber. Bayangkan suasananya, orang-orangnya, makanannya. Itu mengapa menulis novel lebih enak dilakukan dalam suasana sepi dan sendirian, misalnya tengah malam. Karena kita butuh konsentrasi saat membayangkan semua itu.
Demikian pula kalau kita ingin menulis tentang pencari narkoba. Kita mendapatkan cerita bagaimana rasanya sakau dari orang yang kita wawancarai atau dari media. Lalu, cukup kita bayangkan saja bila kita juga merasakannya. Tak perlu ikut mencicipi narkoba.
Setidaknya itulah beberapa hal yang saya lakukan untuk riset novel. Tentunya suatu ketika nanti saya ingin mendatangi tempat-tempat yang sudah saya tulis di novel. Semoga saja saya punya kesempatan. Aamiin.
Baca Juga: Tips Agar Novelmu Cepat Selesai
Penulis novel memang sangat penting untuk melakukan riset. Tapi, riset juga nggak harus terjun langsung di dunia itu, ya, Mbak? Gimana jadinya kalau penulis novel horror? Serem deh. :v
ReplyDeleteSetuju banget, Mbak. :D Nggak kebayang, masa kudu jadi psikopat dulu biar bisa bikin novel thriller?
ReplyDeleteIlmunya sangat bermanfaat untuk para peulis novel pemula. :D
ReplyDeletePenginnya kalau nulis setting luar negeri riset ke negaranya langsung ya mbak. Tapi belum kuat di kantong juga. Hehehe...
ReplyDeletewah ada ya penulis yg mencoba narkoba langsung agar bisa menulis ttg narkoba? baru denger, dan ga harus sampai segitunya kali ya
ReplyDeleteIya mbak, ada banyak cara untuk riset ya. Apalagi risetnya narkoba. Kok agak gimana gitu
ReplyDeletemampir yuk ke bit.ly/WhitePerfect-Erny
Sepertinya saya telah menemukan jawabannya di tulisan mbak ini. Memang betul riset sangat dibutuhkan dalam menghidupkan cerita dari sebuah tulisan, terima kasih mbak sudah membagikan tipsnya.
ReplyDeletesemoga suatu hari nanti Dija bisa jadi penulis hebat
ReplyDeletepersis kayak tante
aaamiin
Apalagi tinggal dan mendalami kehidupan yang diriset. makin yahud kayaknya ya sang penulis menceritakannya.
ReplyDeleteHadewww..itu orang ngelessz ah, serem dunk klo gue nulis sunyi itu harus ngerasain dulu jasi pelakor wkwk
ReplyDeleteHmm, tetep aja nggak masuk akal buatku masak nulis novel tentang narkoba harus icip-dulu narkobanya. Bisa-bisaan si bapaknya aja itu mah. Kebayang ntar kalau mau nulis novel tentang psikopat apa iya harus melukai atau membunuh orang dulu.
ReplyDeleteMakasih tips menulis novelnya. Baguuuus...salam kenal ya mbak
ReplyDeleteNgeri juga ya mbak kalau harus terjun langsung untuk riset. Eh maksudnya benar-benar menjadi apa yang ada di dalam novel. Gak kebayang deh kalau perannya sebagai pengguna narkoba, sex bebas dll. Waduh :(
ReplyDeletebelum pernah nulis novel, karena hanya sanggup nulis judul plus draftnya aja
ReplyDeletetipsnya dicatat, kali2 nanti aku kepengen jadi penulis novel dan butuh wejangan dari penulis senior
makasih sharingnya
ReplyDeleteWah terima kasih sharingnya kak, semoga saya bisa juga menerbitkan buku karya sendiri terutama novel hehe
ReplyDelete