"Ini La, berasnya bawa aja," kata Bumer sesaat sebelum kami kembali ke Bogor. Saya kaget melihat beras sekarung yang disodorkan Bumer.
"Banyak amat berasnya, Bu. Emang nggak dijual?"
"Lagi rugi. Mending dimakan sendiri daripada dijual. Kapok nanam padi. Nunggu panennya lama, pas dijual nggak nutup modal." Ibu mertua pun curhat.
Wah, kalau semua petani beras berpikiran seperti ibu mertua, siap-siap deh teman-teman mengganti beras dengan singkong, kentang, dan lain-lain. Untungnya, masih banyak petani beras yang mau "berkorban" menjual gabah dan berasnya dengan harga yang murah sehingga kita bisa beli beras seharga 7000-10000/ kilo.
Saya dulu kuliah di Fakultas Ekonomi Pembangunan dan salah satunya belajar tentang Ekonomi Pertanian. Saya dulu cuma denger aja kalau petani Indonesia itu kalah dengan petani Jepang. Setiap habis panen, petani Jepang mah bisa pelesiran ke luar negeri karena duitnya banyak. Sedangkan petani Indonesia sebaliknya. Sehabis panen, mereka harus bayar utang yang dulu dipakai untuk biaya hidup sebelum masa panen.
Kenapa? Karena hasil pertaniannya dihargai murah. Saya juga cuma mendengar curhatan anak petani di kampus dulu yang kuliah dengan berburu beasiswa. Kalau enggak, mana bisa kuliah. Cerita tentang kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan padahal mereka menanam komoditi utama negeri ini, yaitu beras.
Sekarang, saya menikah dengan anak petani dan saya jadi tahu deh kondisi petani yang kayak gitu bukan sekadar cerita. Bamer alias bapak mertua sih tadinya bukan petani. Baru memasuki masa pensiun aja beliau bertani. Sebenarnya sudah disuruh berhenti aja bertani karena nggak ada untungnya. Tapi sepertinya Bamer memang bertani sekadar hobi, alias menikmati pekerjaan bertani itu daripada leyeh-leyeh di rumah.
Jangan heran kalau pulang dari Garut saya bawa hasil pertanian yang banyak. Tapi dari pengalaman bertani itu, Bamer akhirnya lebih pilih nanam sayur-sayuran daripada padi karena ruginya gede banget kalau nanam padi. Trus, Mbaknya keberatan ada produsen beras yang mau membeli gabah dan beras petani dengan harga lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah?! K.E.T.E.R.L.A.L.U.A.N.
Beras Maknyus, katanya. Diduga beras oplosan karena mencampur beras subsidi dan dikasih kemasan premium. Sudah ada bantahan dari PT. IBU sebagai produsen. Ada juga yang bilang PT IBU membeli gabah dari petani di atas harga yang ditetapkan pemerintah. Misalnya, harga tertinggi dari pemerintah Rp 3.000/kg, tapi PT IBU membelinya Rp 5.000/kg. Petaninya untung, kan? Trus, nggak boleh?
Dalihnya, beras itu kan makanan pokok negara ini jadi harganya harus dikontrol. Kalau semua petani menjual berasnya ke PT. IBU, harga beras jadi mahal dong. Tapi itu nggak mungkin, Mbak. Kan nggak semua orang beli beras Maknyus. Saya, contohnya. Saya belum pernah makan beras Maknyus kok. Selow. Saya juga beli beras curah seharga 8000-9000/liter. Walaupun saya bayar zakat fitrah dengan patokan harga beras 15000/liter. Jadi harusnya mulai hari ini saya beli beras Maknyus ya.
Nah, kalau permintaan beras Maknyus nggak sebanyak persediaan, ya bangkrut lah. Kalau beras mahal, orang juga bisa berganti ke karbohidrat lain. Apalagi sekarang ini sedang tren diet keton yang nggak makan nasi. Orang juga mengurangi makan nasi karena takut diabetes. Akhirnya harga beras turun lagi. Jadi nggak mungkin PT IBU akan membeli semua beras petani. Kenapa khawatir sampai ke sana?
Beras Maknyus itu beras subsidi? Helow... Semua beras lokal itu ya disubsidi mau yang harganya murah maupun mahal. Subsidi dalam bentuk popok, bibit, dan raskin. Nah, beras raskin itu khusus orang miskin. Udah pernah lihat belum kayak apa beras raskin itu?
Mantan pembantu rumah tangga saya dulu sering dapat beras raskin. Katanya gratisan tapi tetap bayar 2500/liter. Kenapa bayar? Ya itu katanya buat biaya transportasi padahal sih buat aparat berwenang yang membagikan berasnya. Seperti apa beras raskin itu? Sekarang namanya jadi beras Rastra.
Amat sangat nggak layak dimakan kalau nggak terpaksa. Berasnya cokelat dan keras kalau dimasak. Pembantu saya beli beras lagi di warung, lalu mencampurnya dengan beras raskin itu. Baru deh rasanya agak enak tapi tetap nggak seenak beras Maknyus. Saya belum nyobain sih beras Maknyus, tapi masa iya sama rasanya kayak beras raskin yang dicampur beras biasa?? Btw, itu pembantu saya makan beras raskin untuk keluarganya ya, bukan dimasak untuk keluarga saya. Saya belum pernah makan beras raskin. Ngapain juga ngambil jatah orang miskin. Cuma diceritain aja sama pembantu saya kalau rasanya ya gitu deh.
Emangnya ibu-ibu bisa dibodohi begitu aja? Disuruh beli beras Maknyus harga mahal dengan kualitas beras raskin? Walaupun belum pernah makan beras Maknyus, tapi saya lihat sendiri beras ini laris manis di warung-warung dan jadi pembicaraan ibu-ibu. Baru kali ini lho warung-warung jualan beras dalam kemasan 5 kg. Biasanya ya jualan beras karungan yang harganya di bawah 10000/liter.
Itu artinya, beras Maknyus memang banyak penggemarnya. Mungkin itu yang bikin "gerah" produsen beras lain. Terutama produsen beras impor. Ya gimana kalau beras lokalnya laris manis, beras impor gigit jari dong.
Balik lagi ke subsidi. Kalau kita adalah orang-orang yang sering teriak "subsidi itu buat rakyat miskin," maka seharusnya kita nggak makan beras lokal karena SEMUA beras lokal itu disubsidi. Kalau kemarin kamu mendukung dicabutnya subsidi listrik dan menyuruh orang-orang yang protes dengan kenaikan TDL supaya membuat surat keterangan tidak mampu, maka seharusnya kamu juga nggak makan beras lokal karena semuanya disubsidi.
Subsidi itu bukan buat orang miskin saja. Subsidi itu dari mana sih biayanya? Dari pajak orang-orang kaya. Suami saya bayar pajak tiap bulan hampir 3 juta, trus istrinya nggak boleh beli barang subsidi? Hiks. Jalan raya dan fasilitas umum lainnya juga dari subsidi, tapi kamu pakai kan?
Balik lagi ke Beras Maknyus. Jadi katanya pemerintah khawatir karena PT IBU membeli gabah dari petani dengan harga di atas HET yang ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan Bulog membeli gabah dari petani dengan HET pemerintah. Yang dikhawatirkan nantinya semua petani menjual berasnya ke PT IBU dan Bulog nggak kebagian.
Kalau memang petani mau menjual berasnya ke PT IBU masa dilarang? Ini bukan negara KOMUNIS yang semua sumber daya dikuasai oleh pemerintah. Jadi kalau ada petani yang mau menjual gabahnya ke PT IBU ya wajar saja. Itupun selama ada permintaan. Dan gara-gara kasus ini, permintaan beras Maknyus jadi meningkat. Siapa yang diuntungkan?
Kita nggak tau juga sih ada apa di balik kasus ini. Apakah ini black campaign atau white campaign? Mantan Mentan yang dari partai itu katanya jadi komisaris di PT ini, jadi pengusaha 9 Naga ketakutan karena bisnisnya dikalahkan. Anehnya kemarin saya baca di Republika, direkturnya juga dari etnis keturunan Tionghoa. Apakah benar ini ada hubungannya dengan politik & 9 Naga?
Sedangkan Mensos sendiri sudah memeriksa beras tersebut dan bukan termasuk beras Rastra melainkan beras cadangan yang tidak mengganggu pasokan beras Rastra sehingga bisa dijual di pasar bebas. Pembelinya juga orang-orang yang memang mampu beli. Semoga saja petani Indonesia bisa bersaing dengan petani impor dan kita benar-benar bisa swasembada beras. Demi kesejahteraan petani Indonesia.
Disclaimer: saya nggak mempromosikan beras Maknyus karena saya sendiri nggak memakannya. Silakan beli beras apa saja sesuai isi kantong dan nggak perlu dipengaruhi apakah komisarisnya orang partai tertentu.
Sedangkan Mensos sendiri sudah memeriksa beras tersebut dan bukan termasuk beras Rastra melainkan beras cadangan yang tidak mengganggu pasokan beras Rastra sehingga bisa dijual di pasar bebas. Pembelinya juga orang-orang yang memang mampu beli. Semoga saja petani Indonesia bisa bersaing dengan petani impor dan kita benar-benar bisa swasembada beras. Demi kesejahteraan petani Indonesia.
Disclaimer: saya nggak mempromosikan beras Maknyus karena saya sendiri nggak memakannya. Silakan beli beras apa saja sesuai isi kantong dan nggak perlu dipengaruhi apakah komisarisnya orang partai tertentu.
Lihat daftar komisarisnya, gak semuanya dari kubu itu. Yang terkenal memang si bapak dan Pak Maknyuss. Entahlah apa di balik ini. Aku mah simpel aja milih beras ini. Dulu gak tahu siapa pemilik atau komisaris2nya. Karena enak aja setelah nyoba. Urusan beras mah, harusnya jangan dibikin ruwet. Kalo emang tujuannya biar petani sejahtera dan rakyat ceria. :)
ReplyDeleteBener mba. ..makanya sempet kaget kmrn dgn pemberitaan yg msh simpang siur. Tapi apapun itu sy tetap penggemar beras maknyus. Kalau udh cocok mau gimana lagi, dan lg beras ini ada label SNI nya loh, dan ada label kadaluarsa nya jg, jd sy merasa aman aja sih
ReplyDeleteBeras oh beras.
ReplyDeleteMau makan nasi aja pake segala intrik begini ya, mbak?
Semoga kasus Maknyus dapat diselesaikan dengan baik2.
Analisa saya sih ada pihak yang ingin merebut pangsa pasar beras PT IBU. Dan dibuatlah seperti cerita beredar
ReplyDeleteGak bisa main baik ya main kotor... Fitnah, jatuhkan dan ambil alih pasar
*pernah melihat seperti ini sebelumnya*
Saya sendiri konsumsi beras maknyus cukup sering. memang kualitasnya terbukti, beras bersih dan pulen. Jadi, gak ada indikasi beras itu dioplos.
ReplyDeletekalo dirumah ibuk sering masak beras ini, tapi kalo udah merantau lagi ya beras biasa kadang juga makannya beras hitam
ReplyDelete