Assalamualaikum. Sebagai penulis buku, dari dulu saya berprinsip hanya menulis sesuatu kebaikan yang memang sudah saya kerjakan. Misalnya, menulis tentang hidayah memakai hijab ya berarti saya sudah harus berhijab. Menulis tentang berlomba-lomba dalam sedekah, berarti saya juga harus banyak bersedekah.
Saya berpedoman pada ayat Al Quran sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” [QS. Ash-Shaff : 2].
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS. Al-Baqarah : 44].
Berdasarkan tafsir ayat itu ditujukan untuk orang-orang yang menyuruh orang lain melakukan sesuatu kebaikan, tapi dia sendiri belum mengerjakannya.
Itu mengapa saya berhati-hati sekali dalam menulis buku dengan tema Islam. Sebenarnya banyak yang bisa ditulis, tetapi saya hanya menulis suatu kebaikan yang sudah saya kerjakan.
Dibandingkan dengan penulis lain yang produktif, buku non-fiksi islami saya masih bisa dihitung jari. Saya menulis tentang pedoman ta'aruf dalam buku Ta'aruf: Proses Perjodohan Sesuai Syari Islam, itu setelah saya ta'aruf dengan calon suami saya.
Saya menulis buku Rahasia Pengantin Baru, juga setelah mengarungi pernikahan, tepatnya setelah menjadi pengantin baru. Saya menulis buku Catatan Hati Ibu Bahagia, setelah menjalani hari-hari sebagai ibu.
Buku terbaru saya, Suami dan Istri yang Dirindukan Surga juga sebagian berdasarkan pengalaman kehidupan bersuami istri selama sepuluh tahun Sebagian lainnya adalah pengalaman orang lain. Semoga semua yang saya tulis masih tetap diamalkan, Aamiin.....
Jadi, kalau saya menemukan sebuah buku bertema Ta'aruf yang ditulis oleh seorang penulis yang belum pernah taaruf, atau buku tentang pernikahan ideal atau bagaimana menjadi suami ideal yang ditulis oleh seorang lelaki yang belum menikah, saya hanya bisa berkata: semoga itu bukan tulisan Pepesan Kosong.
Tulisan Pepesan Kosong itu tulisan yang tak berarti apa-apa karena penulisnya sendiri belum mempraktekkannya. Kalau jenis tulisannya fiksi, bolehlah, namanya juga karangan. Sedangkan tulisan non-fiksi, apalagi berlabel islami, mestinya sesuai dengan prinsip dasarnya yang tertulis pada ayat di atas.
Mudah-mudahan saya juga bisa konsisten menerapkan prinsip itu. Terus melakukan kebaikan-kebaikan agar bisa dituliskan menjadi buku-buku. Aamiin.
Sebab, saya pribadi sungguh merasakan betapa sulitnya jemari ini mengetikkan kata-kata yang menyuruh orang lain melakukan kebaikan tetapi diri sendiri masih belum menambah amal kebaikan.
Menjelang akhir tahun 2016 ini, saya belum punya naskah buku non-fiksi. Ingin berlomba-lomba dengan penulis buku lain, tetapi kok sulit karena amalan belum bertambah.
Bagi saya, menulis buku bukan sekadar berlomba-lomba mencetak buku agar bisa dibanggakan. Tetapi kelak ada pertanggungjawabannya.
Ya, menulis di blog juga sama saja akan dipertanggungjawabkan. Makanya sekarang saya berhati-hati mengikuti lomba blog yang mempromosikan suatu produk yang belum saya pakai.
Saya belum yakin sih apakah mereview produk yang belum pernah kita pakai itu boleh atau tidak. Sebagian blogger bilang boleh, sebagian lain bilang nggak boleh.
Sulitnya kalau ikut lomba mereview gagdet, nggak mungkin kan beli gadget-nya dulu yang harga jutaan? Jadi, ayat-ayat di atas lebih saya terapkan pada saat menulis buku non-fiksi, terutama bila berlabel islami.
Omong-omong, suami saya juga pernah membeli dua buku tentang cara menanam pohon jati karena sedang investasi ke perkebunan jati. Setelah dibaca eh ternyata penulisnya hanya copy paste dari internet (bukan mempraktekkan langsung).
Apa jadinya? Suami saya jadi nggak percaya lagi beli buku. Langsung cari saja di internet. Padahal itu bukan buku islami. Apalagi kalau buku islami, pertanggungjawabannya lebih berat bukan?
Semoga saya bisa konsisten menghindari menulis sesuatu yang hanya pepesan kosong. Aamiin.
Setuju. Makanya sampe sekarang, aku gak berani nulis buku bertema Islam. Selain berat, takutnya malah jadi teori yang aku gak kerjakan.
ReplyDeleteBetul, Bun. Buku nonfiksi saya ada satu. Itu juga menurut pengalaman pribadi. :)
ReplyDeletePenulis copas pasti memberatkan kerja editor. :(
ReplyDeleteSaya juga lebih suka cari di internet. Kalaupun beli buku, minimal tahu penulisnya siapa dan bagaimana kehidupannya.
ReplyDeleteMemang sebaiknya menulis apa yang pernah terjadi, dikerjakan, dan dirasakan. Biar aman.
ReplyDeleteBerat memang mba menulis tulisan Islam yang belum dibuktikan. Semoga selalu amanah ya mba Leyla :)
ReplyDeleteKabayang Mba, nulis blog aja serem sih klo ga sesuai realita di aku sendiri, apalagi buku ya yang orang beli ;)
ReplyDeleteAku sering membuat coretan motivasi, inspirasi, tapi kalau tema berkaitan dengan agama, juga berasa tak mampu.
ReplyDeleteMantap :D
DeleteSetuju :D
Delete