Udara panas membuat mataku tak
bisa memejam. Kipas angin yang tergantung di langit-langit kamar petak ini tak
mampu mendinginkan ruangan. Beginilah
akibatnya jika menginap di penginapan seharga Rp 250 ribu per malam. Tak ada
Air Conditioner yang dapat menyejukkan suhu tubuh. Rupanya, meskipun di
beberapa tempat di Indonesia sudah sering turun hujan, wilayah Garut-Jawa Barat dan
sekitarnya masih bersabar menanti kemurahan Tuhan. Terlebih lagi di pinggiran
pantai, hawa panas dan nyamuk yang berkeliaran membuat kami kesulitan tidur
nyenyak.
Anak-anakku pun terbangun
beberapa kali, minta dikipasi. Untung aku membawa kipas angin dari rumah,
itupun hanya sedikit membantu. Kamar penginapan yang seadanya ini terpaksa diambil
karena belum ada kamar sekelas hotel di pinggiran Pantai Sayang Heulang,
wilayah Pamengpeuk Garut Selatan. Itu kali kedua kami datang dan menginap di
kamar yang sama. Seolah kamar itu selalu dipersiapkan untuk kami. Tak ada tamu
lain yang datang menginap, meskipun masih dalam suasana liburan Natal dan Tahun
Baru. Seakan-akan kawasan wisata di Pantai Sayang Heulang ini tak menarik untuk
menjadi tempat tujuan wisata. Justru karena itulah kami kembali lagi ke sini,
karena tak harus berebut pasir pantai bersama ribuan wisatawan lokal maupun
mancanegara, sebagaimana yang terjadi di obyek wisata pantai terkenal lainnya.
Aku berjalan gelisah ke arah
jendela kamar yang tak bertirai. Memandang ke luar dan menyaksikan lampu
berkerlap-kerlip dari tengah laut. Sementara itu, ombak tengah mengganas,
menyapu hingga ke tepi pantai. Deburannya terdengar keras di telinga, karena
rumah penginapan kami tepat berada di sisi pantai. Cahaya itu… dari mana
datangnya? Lamat-lamat dapat kutangkap sebuah perahu kecil tengah berjuang di
tengah laut. Perahu nelayan Pantai Santolo yang baru mulai berlayar. Pantai
Santolo terletak kurang lebih dua kilometer dari Pantai Sayang Heulang. Pada
hari kedua, sebelum pulang ke Kota Garut, kami menyambangi pantai itu sekadar
membeli buah tangan.
Pantai Santolo, lebih ramai
daripada Pantai Sayang Heulang. Wisatawan lokal terlihat lebih banyak menyewa
penginapan di sekitar Pantai Santolo. Warung-warung Seafood bertebaran,
menyajikan hidangan utama hasil laut berupa Mata Lembu, sejenis kerang yang
tubuhnya menyerupai mata sapi. Perahu-perahu nelayan merapat di dermaga yang
airnya tenang. Mengagumkan bila mengingat perahu-perahu kecil itu nantinya
berjuang mengarungi ombak yang ganas di tengah laut. Pagi hari adalah waktunya
para nelayan kembali dari laut, membawa hasil tangkapannya yang langsung dijual
di Pusat Pelelangan Ikan, seratus meter dari pinggir Pantai Santolo.
Ah, kubayangkan perjuangan para
nelayan yang melaut menjelang tengah malam, lalu kembali pulang menjelang dini
hari. Tengah malam tadi hujan cukup deras meskipun tetap tak mampu mendinginkan
udara. Mereka bermalam di atas perahu kecil dengan penutup seadanya. Ngeri aku
mengingat kembali saat perahu itu terombang-ambing oleh air laut yang tengah
mengganas, disertai hujan deras. Entah berapa banyak hasil tangkapan yang
mereka peroleh, itupun masih harus dijual dulu oleh para pedagang yang berjajar
di depan Pusat Pelelangan Ikan. Mereka
menanti wisatawan yang tak seberapa banyak, untuk membeli hasil tangkapan
nelayan. Obyek wisata bahari semestinya menjanjikan penghasilan yang berlebih,
bila dikelola secara optimal. Hasil tangkapan laut yang bisa dibeli mentah
maupun masak (di warung-warung Seafood), tempat penginapan yang lebih layak,
dan souvenir-suvenir khas pesisir pantai. Seandainya bisa dikembangkan seperti
Pantai Kuta, tentu akan menjadi sumber pemasukan baru bagi para penduduk
pantai.
Itulah tujuan kami mendatangi
Pantai Santolo. Untuk menginap, kami memilih penginapan di pinggir Pantai
Sayang Heulang, karena relatif belum ramai pengunjung. Kami bisa menikmati
pantai seperti di rumah sendiri. Sedangkan untuk membeli hasil laut, kami
mendatangi Pusat Pelelangan Ikan di Pantai Santolo. Para pedagang telah bersiap
dengan hasil jualannya. Cumi-cumi berukuran besar, kepiting, ikan tongkol, dan
beraneka jenis ikan laut lainnya. Cumi-cumi dihargai Rp 20.000/ kilo, sedangkan
ikan tongkol Rp 18.000/ kilo. Tentu saja harganya jauh lebih murah daripada
harga yang dijual di kota. Seingatku, aku harus mengeluarkan uang Rp 15.000
untuk mendapatkan seperempat kilogram cumi-cumi segar di tukang sayur dekat rumahku.
Kawasan wisata bahari ini
seyogyanya dapat menjadi kawasan wisata yang dibanggakan. Setidaknya, aku sudah
mengunjungi tiga pantai yang terletak di Pamengpeuk. Pantai Sayang Heulang,
Pantai Santolo, dan Pantai Cijeruk Indah. Sayangnya, sangat terlihat kurangnya
pengelolaan dari pemerintah setempat. Di Cijeruk, tak terlihat seperti sebuah
kawasan wisata meskipun dikenai tarif masuk yang lumayan. Untuk memasuki pantai
yang tak dikelola dengan baik tersebut, kami harus membayar Rp 15.000/ enam
orang dan Rp 5.000 untuk parkir mobil. Sedangkan dulu aku tak perlu membayar
sepeser pun untuk masuk ke Pantai Kuta.
Sampah-sampah bertebaran di atas pasir
pantai, menodai keindahan pantai. Sampah
dedaunan kering, botol minuman keras, mangkuk Styrofoam mie instan, dan
berbagai sampah plastik benar-benar membuat mataku membelalak. Belum lagi
ditambah dengan kedatangan peternak kerbau yang memandikan puluhan ekor
kerbaunya di laut dangkal. Syukurlah, Pantai Cijeruk Indah ini masih menyisakan
keindahan berupa laut dangkal dengan pasir yang lembut diiringi sentuhan ombak
kecil yang sesekali datang. Anak-anakku asyik menggoda ombak, sambil menyelap
di air yang dalamnya hanya setinggi dada mereka. Di kejauhan, air laut terlihat
biru dan bening. Indah sekali, tak sepadan bila disandingkan dengan pinggiran
pantainya yang penuh sampah dan eceng gondok.
Di Pantai Sayang Heulang, tempat
kami menginap, begitu pula adanya. Kaki harus berhati-hati melangkah, karena
pecahan beling dari botol-botol miras ada di mana-mana. Sampah mengumpul di
beberapa tempat, entah kapan dibersihkan. Tiket masuknya Rp 20.000 untuk empat
orang. Anehnya, kami hanya diberi tiga potongan tiket seharga Rp 3.000. Jadi,
sisanya? Suami menganggapnya sebagai biaya mobil, meskipun tak ada tiket untuk
mobil. Tidak ada hiburan dari televisi ataupun internet, karena kawasan ini
belum disentuh sinyal telekomunikasi.
Para penduduk yang mampu, memasang parabola di depan rumah masing-masing
dan membayar televisi berlangganan. Hanya ada dua operator seluler yang
beroperasi, itupun hanya untuk layanan telepon dan sms. Tak bisa kubayangkan
tinggal lama di sini tanpa internet.
Itulah kenapa aku tak bisa langsung
memamerkan keindahan pantai ini di sosial media. Aku harus menunggu sampai
kembali masuk ke arah Kota Garut, agar bisa mendapatkan sinyal internet. Kurasa, wisatawan lainnya pun begitu. Mereka
harus bersabar dan hanya mengumpulkan foto-foto, sampai kemudian nantiya
dibagikan ke seluruh dunia. Tentunya, itu menjadi kekurangan dari tempat ini
jika ingin dijadikan obyek wisata nasional. Para wisatawan membutuhkan hiburan
tambahan berupa televisi dan internet ketika beristirahat di kamar.
Hm, mari kita belajar bersabar
sebagaimana para nelayan Pantai Santolo yang bersabar menjalani pekerjaannya,
menjaring ikan di tengah ombak yang ganas demi penghasilan yang hanya cukup
untuk makan sehari dan membeli bahan bakar untuk perahu kecil mereka.
Di Garut banyak juga pantai2 yang indah ya Mbak... Makin seru wisata baharinya ya Mba bisa beli2 aneka seafood ya..
ReplyDeleteBanyak, Mbak. yuk ke Garuut..
Deletecumi2nya murah ya mbak, mauuik, dikrispy enak tuh , nyam nyam *gagal fokus
ReplyDeleteMurah-murah Mbaa..
Deleteindah, beberapa kali ke Garut belum pernah ke pantainya
ReplyDeleteSekitar 3 jam dari Kota Garut, Nia.
DeleteBisa jadi potensi wisata yg bagus, tapi mungkin pengelolaan sampah itu paling penting diurus, g baik kalau dibiarin terus banyak sampah gitu. Bisa jadi kebiasaan buang sampah sembarangan gitu
ReplyDeleteIyaa.. Minusnya ada di pengelolaan sampah :(
DeletePantainya indah sekali ya. Jadi pingin liburan ke pantai bareng keluarga :)
ReplyDeleteHayuk maak.. Pantai tempat refreshing murah meriah
DeleteWah... perjalanan yang menarik Mbak Leyla
ReplyDeleteMba Leyla, pemandangan indah dan harga jual ikan serta cumi yang murah ya mba. Di tempatku ya harga ikannya mahal. Makasih sudah berbagi, mba :)
ReplyDeleteIya murah mbak, karena langsung dari nelayannya.
DeleteSubhanallah pantainya luar biasa. Ikan dan cuminya juga muraaah. :D
ReplyDeleteYup. Kekayaan laut Indonesia yg tak boleh disia-siakan mak.
DeleteJadi ingat kalo di Karimunjawa, sebanyak-banyaknya dulu mengabadikan;setelah dari sana baru bsai posting *efek kadang nggak ada sinyal :-D
ReplyDeleteOh di Karimunjawa juga begitu yaa.. Sayang sekali ya.
DeleteWah ikan2nya itu. Coba dibikin warung2 bakar ikan disitu ya, pasti tambah asik.
ReplyDeleteUdah banyak warung bakar ikan di sini mak
DeleteMampir ya ..ibu ibu bapak bapak ke tempat kami...ada tempat untuk berteduh ..penginapan karanglaut.com #082129705000#
ReplyDelete