Nama Novia Syahidah bukan nama
yang asing bagi saya. Beliau adalah penulis kenamaan pada zamannya. Zaman
kapan? Zaman FLP (Forum Lingkar Pena) sedang jaya-jayanya. Saat itu, saya masih
seorang penulis pemula yang berharap nama saya tercantum pada buku karya saya.
Penulis-penulis FLP sedang mendapatkan tempat di hati para penerbit, salah
satunya, Novia Syahidah. Saya kagum dengan beliau ini karena dulu sangat
produktif menerbitkan novel, apalagi novel-novelnya tidak sembarangan. Ditulis
dengan riset yang kuat, dengan latar tempat yang tidak biasa.
Novia Syahidah berasal dari
Payakumbuh, Sumatera Barat, daerah yang terkenal produktif menelurkan
penulis-penulis berbakat dan legendaris, salah satunya Marah Roesli, penulis
novel “Siti Nurbaya.” Novia Syahidah seketika membuat gebrakan, ketika karyanya
muncul di Majalah Annida, majalah yang membidani kelahiran FLP. Saat itu,
Majalah Annida digawangi oleh Helvy Tiana Rosa, penulis yang namanya juga sudah
asing lagi. Cerita bersambung yang judulnya “Putri Kejawen,” banyak mendapatkan
pujian di antara para penulis FLP. Eh, kok saya tahu? Ya, karena saya juga
sudah bergabung di FLP cabang Semarang, dan nama Novia Syahidah termasuk santer
diperbincangkan.
Kemudian, cerpen-cerpen Novia
Syahidah pun sering muncul di Majalah Annida dan acap kali menjadi cerpen utama
saking bagusnya. Salah satu kelebihan Novia Syahidah adalah menulis cerpen
bernuansa lokal yang kuat, diantaranya: tanah kelahirannya sendiri, Padang,
lalu Melayu, Jawa, dan pernah juga daerah-daerah di luar negeri. Semuanya
bernuansa lokal yang kuat. Saat itu, saya masih merasa berat menyerap pesan yang
disampaikan Novia, karena tingkat sastranya relatif lebih tinggi. Saya masih
lebih suka membaca cerpen-cerpen pop yang ringan.
Kini, saya membaca lagi cerpen
Novia Syahidah yang dimuat di blognya: www.tintaperak.com.
Kesempatan bagus buat kita yang ingin belajar menulis cerpen dengan nuansa
lokal yang kuat. Uni Novia ini sering menjuarai lomba menulis cerpen sastra. Salah
satu cerpen yang saya baca berjudul, “Tukang Pijat.” Cerpennya bisa dibaca di
sini, http://tintaperak.com/tukang-pijat/
Sama halnya dengan sebagian besar cerpen Novia, cerpen yang satu ini juga
berlatar di Minang, meski tak disebutkan kampungnya apa. Alkisah, Buyung Kundan
yang telah kembali ke kampungnya setelah sepuluh tahun di rantau, merasa
tubuhnya pegal-pegal dan ingin dipijat. Masalahnya, tukang pijat terkenal di
kampungnya adalah ibunya sendiri, yang dipanggil “Amak.” Buyung merasa tak enak
hati menyuruh ibunya untuk memijitinya. Apalagi, ibunya itu sering membicarakan
soal jodoh.
Buyung pernah sempat dijodohkan
dengan gadis sekampungnya, sedangkan ia jatuh cinta kepada gadis di rantau.
Amaknya menolak gadis yang diinginkannya itu karena lebih senang anaknya
menikah dengan gadis satu suku. Ternyata masalahnya bukan itu saja. Amaknya
baru memberitahu alasan sebenarnya, ketika mendatangkan tukang pijat yang
“pekak” atau tak bisa mendengar dan membuat Buyung kesal karena tukang pijat
itu tak bisa diajak berkomunikasi. Amaknya pun mengatakan bahwa alasannya tidak
mau menerima menantu dari daerah lain adalah karena ia tak bisa fasih berbicara
bahasa Indonesia. Ia khawatir kelak kesulitan berkomunikasi dengan menantunya
karena kendala bahasa itu.
Membaca cerita yang sederhana
tetapi mengena ini, membuat saya tertawa sendiri. Alasan yang Amak Buyung
sampaikan itu persis sama dengan alasan ibu mertua saya, ketika ragu-ragu
menerima saya sebagai menantu. Ibu mertua saya juga kurang fasih berbicara
bahasa Indonesia, terbiasa berbahasa Sunda. Sedangkan saya tidak bisa bahasa
Sunda, karena orang Jakarte. Ibu mertua saya juga sempat mengatakan kepada
suami saya, bahwa beliau lebih suka mendapatkan menantu sesama orang Garut,
supaya lebih enak ngobrolnya. Alhamdulillah, walaupun begitu, pernikahan kami
tak dihalangi sehingga saya tetap dapat menikah dengan suami. Memang, di awal
berkomunikasi dengan ibu mertua, beliau sering kesulitan mencari padanan kata
bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia. Saya pun terpaksa harus pintar-pintar
mencerna maksud perkataannya yang campur aduk antara bahasa Sunda dan bahasa
Indonesia. Alhamdulillah, lho, sekarang ibu mertua sudah lebih fasih berbahasa
Indonesia.
Kembali lagi ke cerpen “Tukang
Pijat” karya Uni Novia Syahidah ini. Ternyata, untuk menulis cerpen itu tak perlu
susah-susah, kita bisa mengangkat tema keseharian dipadukan dengan budaya lokal
yang mudah dipahami pembaca dari berbagai daerah. Amanat yang bisa saya tangkap
dalam cerpen ini adalah, bagi siapa pun Anda yang ingin menikah dan sudah
memiliki calon pilihan sendiri, jangan langsung menyerah bila calon tersebut
tidak disetujui oleh orangtua. Contohlah suami saya, eh, ya contoh yang paling
dekat adalah suami saya saat dulu memperjuangkan saya agar diterima di dalam
keluarga besarnya. Selama alasan orangtua itu bukan sesuatu yang prinsip dan masih bisa didiskusikan, tak
mengapa. Kita juga harus menyadari konsekuensi dari pilihan tersebut. Jika
nanti di depannya ada sesuatu, jangan salahkan orangtua. Pada dasarnya orangtua
itu hanya ingin menguji sejauhmana kesungguhan kita dalam memperjuangkan calon
pasangan hidup kita itu. Kasihan kan kalau hanya gara-gara komunikasi, kemudian
menjomblo terus seperti Buyung.
Novel uni Novia Syahidah memang cakep, bahasanya rapi...
ReplyDeleteTerimakasih Leyla sudah ikut GA dan terimakasih atas tulisannya yg juga bikin saya ketawa sendiri krn ternyata ada pengalaman pribadinya itu hehehe....
ReplyDeleteLokalitas kaya sampai sekarang masih bertahan ratingnya di hati para penerbit ya, Mak
ReplyDeleteaku belum pernah baa..tapi kalau memang mengangkat budaya lokal berarti bagus sekali ya :)
ReplyDeleteTulisan uni novia ini memabukkan bgt menurut sy. Krn tiap beliau posting cerita terbaru di tinta perak sy gak bs move on ngapa2in sblm selesai baca smpe hbs.. dan budaya lokalnya memang kental ya mba
ReplyDeleteTerimakasih Leyla sudah ikut GA Tinta Perak. Ulasan yang menarik :-)
ReplyDelete