Menemani anak-anak buka puasa di mall jam 12 siang |
Assalamu’alaikum. Alhamdulillah,
sudah lebih dari dua minggu yang lalu kita merayakan Idulfitri. Taqabbalallahu
minna wa minkum, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Semoga
amal ibadah kita di bulan Ramadhan yang lalu diterima Allah Swt ya. Saya
sendiri sudah pulang dari mudik di Garut. Mudiknya cukup panjang, berangkat
hari Rabu H-2 lebaran, dan pulangnya juga hari Rabu, H+6 lebaran. Suami ambil
cuti satu minggu dan anak-anak pun sedang liburan sekolah, jadi pas deh.
Ramadan tahun ini memiliki arti
yang berbeda bagi saya, terutama sebagai seorang ibu yang sedang mengajarkan
anak-anaknya untuk berpuasa pertama kalinya. Si sulung, Ismail (7 tahun), sudah
mengenal puasa, karena di sekolahnya diajarkan puasa sunah setiap hari Kamis,
sedangkan Sidiq (6 tahun), si tengah, baru belajar puasa. Sebenarnya banyak
orang tua yang mengajarkan anak-anaknya berpuasa dari umur 5 tahun, bahkan ada
yang dari umur 4 tahun, tapi saya memilih mengajarkan anak-anak saya berpuasa
setelah berumur di atas 6 tahun.
Pada hari pertama puasa, Ismail
diperbolehkan berbuka jam 12 siang. Namanya juga anak-anak, belum jam 12 sudah
merengek-rengek minta buka. Sebenarnya Ismail minta buka puasa bukan karena
lapar, tapi karena melihat adiknya yang bungsu sedang makan jajanan. Jadi,
godaan puasanya ada pada si bungsu ini yang umurnya memang baru 3 tahun, belum
puasa dan belum bisa dikasihtahu kalau harus makan sembunyi-sembunyi dari
kakak-kakaknya. Kalau di sekolah, Ismail lebih bisa menahan diri untuk makan
sampai jam 12 siang, karena teman-teman di sekolahnya kan juga nggak makan.
Berhubung puasa kali ini bertepatan dengan liburan sekolah, jadi deh Ismail
lebih banyak puasa di rumah. Saking kesalnya karena nggak boleh makan, Ismail tanya,
“Kenapa sih kita harus puasa? Ismail nggak suka puasa!”
Nah lho! Anak saya nggak suka
puasa! Apakah anak saya bukan anak yang soleh?
Hm, justru anak-anak itu jujur.
Mereka mengutarakan apa yang benar-benar ada di dalam hatinya tanpa manipulasi.
Kalau orang dewasa ditanya, “Apa kamu suka puasa?” Supaya disebut “soleh,”
mereka bisa saja menjawab, “Oh, suka dong. Puasa itu kan menunjukkan bahwa kita
orang beriman.” Padahal, jujur saja, siapa sih yang suka berpuasa? Orang dewasa
saja banyak yang berpura-pura puasa, tapi diam-diam berbuka sebelum waktunya.
Saya ingat sewaktu kecil, saya
juga nggak suka puasa. Puasa itu ibadah yang paliiiing berat. Setiap memasuki
bulan Ramadan, saya sudah mengeluh duluan. Duh, nanti nggak bisa makan-minum
lagi deh. Memang, yang paling berat itu menahan nafsu untuk makan dan minum,
karena anak kecil kan belum punya nafsu lain, seperti yang dimiliki orang
dewasa. Mengapa Allah mewajibkan kita berpuasa? Apakah Allah ingin menyiksa
kita?
Pertanyaan Ismail membuat saya
berpikir. Dulu saya malah nggak punya pertanyaan semacam itu. Kenapa kita harus
puasa? Paling-paling saya menemukan jawabannya di buku-buku agama bahwa puasa
itu wajib, puasa itu untuk Allah, puasa itu menahan diri dari hawa nafsu, dan
sebagainya. Saya tidak menemukan arti filosofis dari berpuasa, sampai Ismail
bertanya.
“Karena nggak semua keinginan
Kakak bisa langsung dipenuhi saat itu juga. Kakak harus sabar menunggu waktunya
berbuka puasa,” kata saya, ketika Ismail merengek lagi. Itulah arti “puasa”
yang bisa saya jelaskan kepada Ismail, karena dia masih kecil, jadi harus
dikasih penjelasan yang bisa masuk ke otak kecilnya. Memang, jawaban saya itu
nggak langsung bisa “membujuk” Ismail, tapi hari demi hari Ismail makin bisa
memahami arti puasa.
Puasa mengajarkan kita untuk
bersabar. Saya jadi merenung sendiri. Soal sabar, saya sendiri masih harus
banyak sekali belajar. Sepuluh hari menjelang lebaran, uang THR dari kantor
suami belum turun. Rekening tabungan saya pun belum terisi. Saya mengikuti
beberapa lomba menulis, hasilnya nihil. Kalah melulu, sampai bosan. Royalti
buku? Belum bulannya. Phiuuh…. Padahal, kebutuhan lebaran dan mudik harus cepat
dibeli. Kalau belinya mepet lebaran, harga sudah melonjak tinggi. Sebenarnya,
suami sudah dapat uang gaji, tapi langsung ludes untuk biaya masuk sekolah
anak-anak. Dua anak saya sekolah di SD Islam Terpadu, biayanya lumayan juga.
Jadi, kami memang harus sabar menunggu uang THR turun dan saya harus sabar
siapa tahu menang lomba menulis.
Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit
dipraktekkan. Mumpung sudah masuk 10 hari terakhir Ramadan, saya memupuk
kesabaran dengan memperbanyak ibadah. Toh, kemenangan Idulfitri itu artinya
menang mengalahkan hawa nafsu selama bulan Ramadan, termasuk nafsu beli ini itu
menjelang lebaran. Dari ‘Aisyah ra, ia
berkata, “Rasulullah saw biasa ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadan, beliau
bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya),
menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan
istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist di atas menunjukkan
keutamaan 10 hari terakhir Ramadan. Rasulullah semakin memperkuat ibadahnya
pada 10 hari terakhir Ramadan, karena merupakan penutup bulan Ramadan yang
diberkahi dan mengharapkan Lailatul Qadar (malam seribu bulan) yang muncul pada
malam-malam terakhir Ramadan. Bagi mukmin yang bersungguh-sungguh beribadah di
hari-hari terakhir Ramadan, akan mendapatkan maghfiroh (ampunan) Allah Swt.
Sayangnya, kita memang sering kali melalaikan malam-malam terakhir Ramadan ini
karena disibukkan dengan urusan lebaran, mudik, dan sebagainya.
Kesabaran itu juga saya temukan
pada wajah-wajah amil zakat yang menunggui stan pembayaran zakat, infak, dan
sedekah di sebuah mall. Pada H-5 lebaran, akhirnya THR suami pun turun dan
suami mengajak kami ke mall sambil ngabuburit,
membeli beberapa keperluan lebaran. Ketika hendak menaiki eskalator, saya
melihat beberapa pemuda yang sedang bersabar menunggui stan pembayaran ZIS
(Zakat, Infak, Sedekah) dari sebuah lembaga yang terpercaya. Ratusan orang
hilir mudik melewati stan tersebut, tapi tak ada seorang pun yang mampir. Saya
memang sempat agak lama memperhatikan stan tersebut, sambil menunggu suami
selesai memarkirkan mobil. Saya dan anak-anak turun duluan, sementara suami mencari
tempat parkir, saking penuh dan
banyaknya kendaraan yang masuk ke dalam mall. Ironis. Begitu banyaknya orang
yang berbelanja urusan dunia, tapi belum ada seorang pun yang mampir ke stan
ZIS itu untuk berbelanja urusan akhirat.
Akhirnya bisa pakai baju baru yang dibeli di mall itu :D |
Saya pun masih berpikir-pikir,
apakah saya bayar zakat di situ atau tidak? Alhamdulillah, akhirnya saya dapat
rezeki juga, alias transferan uang, tambahan penghasilan dari menulis. Memang
belum dizakatkan. Satu hal yang membuat saya pikir-pikir adalah, perasaan tidak
enak membayar zakat di tempat umum di mana orang-orang hilir mudik. Apa yang
terjadi kemudian? Saya menjadi sama saja dengan orang-orang lain yang hanya
melewati stan tersebut dengan berjuta perasaan bersalah.
Duh, pelit banget, sih? Paling bayar zakat berapa, sih?
Sambil memilih-milih barang
keperluan lebaran, saya tanya ke suami, boleh nggak kalau nanti saya bayar
zakat di stan itu? Suami jawab, terserah. Setelah puas belanja, beberapa jam
kemudian, saya turun kembali ke tempat parkir dan lagi-lagi bertemu dengan stan
tersebut yang masih belum dihampiri seorang pun. Mungkin saja selama saya
berbelanja, ada orang yang sudah bayar zakat di sana. Mudah-mudahan begitu. Ekspresi
wajah para amil (pengumpul) zakat itu terlihat begitu sabar menunggu pembayar
zakat, sambil sesekali menawari pengunjung untuk membayar zakat. Baiklah. Ini
tidak bisa dibiarkan. Saya harus bisa mengalahkan hawa nafsu. Dengan langkah
perlahan—saking gugupnya—saya hampiri stan ZIS tersebut dan menunaikan
kewajiban membayar zakat.
“Jazakumullah, semoga Ibu dan keluarga
senantiasa diberikan kesehatan,” itu ucapan amil zakat yang saya ingat, setelah
saya membayarkan zakat tersebut. Saya lega sudah bisa mengalahkan hawa nafsu
untuk menguasai sendiri rezeki dari Allah Swt, sekaligus malu karena jumlah
yang saya berikan itu sebenarnya tidak banyak. Saya pulang sambil masih
mengingat-ingat kejadian itu. Satu hal yang memotivasi saya membayar zakat
melalui lembaga itu, karena zakatnya akan disalurkan untuk pembangunan
pesantren penghafal Al Quran. Saya berharap bisa kecipratan pahala hafalan Al
Qurannya itu, walaupun sedikit. Aamiin….
Tak disangka, ternyata janji
Allah itu benar, bahwa zakat itu seperti pohon yang buahnya lebat. Hanya sehari berselang setelah saya membayar zakat, nama saya
disebut seorang teman di facebook sebagai salah satu pemenang lomba blog! Masya
Allah! Kesabaran saya telah menemukan muaranya. Sabar menunggu rezeki Allah Swt
di hari-hari terakhir Ramadan. Subhanallah walhamdulillah…. Saya yakin rezeki
itu juga karena kesabaran menahan hawa nafsu, termasuk nafsu menghabiskan
seluruh rezeki untuk diri sendiri, melainkan sebagian disalurkan dalam bentuk
zakat, infak, dan sedekah.
Hadiah Lebaran untuk Anak-anak |
Semoga kita semua termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang menang di hari raya Idulfitri yang lalu dan senantiasa
memupuk kesabaran tak hanya di bulan Ramadan melainkan juga di bulan-bulan
selanjutnya.
wah... Alhamdulillah ya...
ReplyDeletebetul memang puasa adalah ibadah yg berat. Jangankan anak2, org dewasa saja berat menjlnkannya kalo bukan karena perintah Allah
Ibarat kalau kita berladang...semakin banyak menyemai benih maka akan semakin banyak hasil penennya.. Apalagi kalau dirawat dan dipupuk.. Demikian juga amal dan perbuatan baik kita..semakin banyak berbagi kepada orang lain..semakin banyak pula rejeki datang..mengalir baik air..
ReplyDeleteRamadhan bulan latihan sabar. setelah Ramadhan, sabarnya harusnya diterusin ya...
ReplyDeleteWah selamat akhirnya jd pemenang jg n dpt thr :)
ReplyDeleteMemang nggak mudah ya, memberikan pengertian puasa pada anak-anak usia dini ^_^
ReplyDelete