Salah satu acara keluarga besar di Solo |
“Yah, kapan dong kita ke Solo? Ayah kan belum pernah ke
Solo, ketemu keluargaku di sana….”
Entah itu sudah yang ke berapa kalinya saya merajuk ke suami
agar doi mau mengunjungi keluarga besar saya di Solo. Delapan tahun menikah
dengan gadis Solo, suami malah belum pernah menginjakkan kaki di tanah
kelahiran saya itu. Keluarga di Solo sudah berkali-kali meminta kami datang,
apalagi banyak dari mereka yang belum bertemu muka dengan suami saya. Kendala
waktu dan biaya masih menghalangi kami bersilaturahim ke Solo. Saya berharap bisa terbang gratis, supaya bisa kembali kepada akar saya di Solo.
Saya lahir di Solo, sekitar 30 tahun lalu. Ibu saya adalah
perempuan Solo yang kemayu dan lembut, bekerja di Jakarta dan menikah dengan
orang Jakarta, membuatnya harus menjadi warga Jakarta. Lalu, orangtua saya
pindah ke Tangerang, Banten, dan sampai sekarang masih menjadi warga Tangerang.
Hanya setahun sekali atau saat ada hajatan keluarga di Solo, kami menginjakkan
kaki di tanah Raja Jawa itu. Setelah Mbah Kakung meninggal dunia, tak lama usai
saya lulus kuliah (10 tahun lalu), saya tak pernah ke Solo lagi. Apalagi
setelah ibu saya meninggal dunia, seolah garis keturunan kami dari Solo
terputus begitu saja.
Masa kecil saya tertinggal di Solo. Saya masih mengingat
jelas saat-saat bermain di sekitar rumah Mbah Kakung, di Karanganyar, Solo.
Aroma laut dan sawah tercium nyata. Tanah tempat kaki berpijak, tertutupi oleh
pasir pantai yang terbawa jauh. Udara di
rumah Mbah Kakung itu memang kontradiktif. Udaranya panas sekali karena dekat
dengan laut, tapi airnya dingin sedingin es karena dekat dengan gunung. Saya
juga ingat saat bermain di Waduk, satu kilometer jauhnya dari rumah Mbah
Kakung. Di sekitar Waduk, sawah menguning telah siap dipanen. Di halaman rumah
Pakde dan Bude pun sering saya temukan padi-padi yang sedang dijemur.
Saya baru sekali mengunjungi air terjun Tawang Mangu, tetapi
sering bermain di seputaran Taman Pancasila, tempat di mana patung-patung
Pahlawan berdiri tegak menantang penjajah. Entah bagaimana keadaan taman itu
sekarang, setelah Solo menjadi lebih tertib dan teratur. Lalu lintasnya lancar,
dengan bangunan-bangunan tua di kanan kiri. Sewaktu saya ke Bali,
pemandangannya hampir mirip dengan Solo. Ada banyak patung-patung dewata di
kanan kiri jalan. Bedanya, kalau di Bali, patungnya diberi sesajen karena masih
menjadi sembahan warga. Di Solo, patung-patungnya hanya menjadi hiasan bangunan
tanpa ada sesajen, karena mayoritas penduduk Solo menganut Islam. Jejak-jejak
peninggalan Hindu masih banyak didapati.
No foto = Hoax? Yah, terakhir saya ke Solo, saya belum punya
handphone berkamera. Kamera sungguhan pun tak ada. Itu kenapa saya mau ke Solo.
Saya mau mengabadikan gambar-gambar terbaru dari sana. Dan tentunya, saya ingin
bertemu dengan keluarga dan kerabat yang sudah lama tak saya temui.
Andai bisa terbang gratis, siapa orang yang ingin saya temui di Solo?
Banyaaak…! Sebagian besar keluarga besar dari ibu saya
tinggal di Solo. Rumah mereka berdekatan satu sama lain. Ibu saya anak keenam
dari tujuh bersaudara. Sekarang hanya tinggal tiga anak saja yang masih hidup
(Pakde, Bude, dan Bulik). Akan tetapi, saudara-saudara sepupu dan keponakan
saya pun bertebaran di Solo. Saya ingin menemui mereka semua, terutama Bude
saya yang terkenal galak bin judes. Lho, kok Bude yang galak malah mau ditemui?
Hehehe….
Beliau adalah salah satu kakak ibu saya, jadi saya memanggilnya
“Bude” atau “Ibu Gede.” Beliau mewariskan sebagian rumah Mbah Kakung, karena
beliaulah yang sehari-hari merawat Mbah Kakung, sendirian, sampai Mbah Kakung
meninggal dunia. Setiap saya mengunjungi Mbah Kakung, saya pasti bertemu dengan
Bude. Wajah beliau sebelas dua belas dengan wajah ibu saya, walaupun
perangainya jauh berbeda. Kalau ibu saya super lembut, Bude kebalikannya.
Setiap melihat beliau, saya jadi teringat almarhumah ibu saya.
Sebenarnya, justru karena galaknya itulah saya jadi segan.
Tapi, kalau dipikir-pikir, ternyata malah orang yang galak sama kita itulah
orang yang paling berkesan di hati kita. Lagipula, Bude itu tidak benar-benar
galak. Sebab, galaknya itu dalam rangka kebaikan. Misalnya, saat saya bermain
di pinggir jalan raya, Bude akan marah-marah menyuruh masuk ke rumah. Atau,
saat saya menonton teve terus, Bude juga akan menegur.
Apa yang ingin saya
lakukan bersama Bude?
Dulu semasa kecil, saya sering ikut Bude ke pasar di
belakang rumah Mbah Kakung, karena Bude berjualan pakaian di sana. Mungkin
karena “orang pasar” itulah, suara Bude keras dan lantang. Saya jadi kangen
dengan pasar itu lagi. Bude sudah tidak berjualan, tapi apa salahnya saya ikut
ke pasar itu lagi? Saya juga ingin berjalan-jalan ke semua tempat yang
menyimpan masa kecil saya: Waduk, Taman Pancasila, Tawang Mangu, dan lain-lain.
Tidak lupa mengunjungi semua keluarga
yang ada di Solo. Saya akan mengabadikannya di dalam foto dan saya pasang di
blog ini.
Setiap akan pulang ke Jakarta, Mbah Putri dan Bude belanja
dulu ke pasar untuk membelikan oleh-oleh. Makanan khas Solo yang saya sukai,
diantaranya: Brem Solo yang berwarna putih, kerupuk dari nasi dengan lelehan
gula merah di tengahnya, dan kue gula merah plus kacang tanah. Entahlah, saya
lupa nama-namanya. Makanan khas Solo memang identik dengan manis-manis, itu
bisa jadi penyebab mengapa orang Solo itu manis, hehe….
Itinerary Perjalanan
Saya memilih tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 2015, setelah
lebaran Idul Fitri dan hari libur akhir pekan, jadi suami bisa ikut. Perjalanan
dari Jakarta ke Solo, saya pilih naik pesawat. Mengapa naik pesawat? Tentunya supaya tidak capai di jalan. Kalau naik
kendaraan lain, bisa seharian di jalan. Saat kecil, saya ke Solo naik bus.
Bagaimana rasanya? Lelah. Saya ingat pernah terpaksa buang air kecil di pinggir
jalan karena jalanannya macet sekali dan tidak ada WC di dalam bus. Tenang, itu
waktu saya masih umur tujuh tahun kok, hehe…. Kalau naik pesawat kan hanya satu
jam-an. Saya belum pernah naik Citilink, tapi kesan-kesan para penggunanya
selama ini selalu positif. Selain harganya tiketnya lebih murah, juga tepat
waktu dan pelayanannya mengesankan.
Untuk hotelnya, sebenarnya saya bisa saja menginap di rumah
Bude, tapi sekarang ini rumahnya sudah dipenuhi menantu dan cucu-cucu. Lebih
enak menginap di hotel ya. Bismillah, mudah-mudahan keinginan saya untuk Solo selepas
lebaran ini bisa terwujud. Aamiin…
sekarang serba mudak dan praktis ya mbak pesan tiket & hotel apalagi harganya juga banyak yang murah dengan pelayanan yang bagus
ReplyDelete8 tahun? Solo kan deket. Kesibukan memang bikin waktu berlalu tak terasa. Ayo cuss ke Solo nyambung balung pisah. Selamat bersenang-senang. :D
ReplyDeleteDengan kemudahan dari Traveloka semoga mbak Leyla bisa menemui kerabatnya di kota Sola dan kangen2an ya...
ReplyDeleteEhm???
ReplyDeletePenulisan untuk 'Sala' yang sebenarnya betul tapi ''solo' sudah awam digunakan...
Eh.. tapi,
Karanganyar itu Sala?
Sala apa Karanganyar?
yang mana 'wuktah rahipun' Bunda Leyla???
*gagal fokus*
Di teve-teve masih pake kata "Solo" kok hehe... Ya, dulu sih disebutnya Karanganyar itu bagian dari Solo. Makanya mau ke sana nih, buat mastiin lagi :D
DeleteDarah Solo ya mbak, pantes alus orangnya, hehehe. Solo dah banyak berubah mbak, tambah cantik. Semoga kesampean ke Solo yaaa
ReplyDeleteMbaaak... aku gak alus orangnyaaa... Aku lebih banyak Betawi-nya daripada Solo-nya :D Aamiin.. makasih doanya :D
DeleteTak doain menang mak biar bisa liburan gratis ke solo ya :)
ReplyDeleteMampir belanja ke pusat grosir solo (pGS) Mak.....
ReplyDeleteamiiiiin... setelah ke solo bikin GA hadiahnya oleh - oleh dari Solo :D
ReplyDeletesemoga menang mba, supaya bisa menyambung tali silaturahmi lagi di solo kumpul keluarga :)
ReplyDeletesaya doain deh semoga bisa ke Solo. mengatur perjalanan dengan Traveloka memang asyik dan mudah ya.
ReplyDeletembak solonya mana, karanganyar nya mana waduknya mana... aku tinggal dkt waduk lalung karanganyar solo
ReplyDeleteOoh itu mungkin namanya Waduk Lalung, ya. Aku lupa tepatnya, nih ya taunya Karanganyar aja.
Deletedi Indonesia memang kekerabatan begitu erat, jadi rasanya kalau gak bsia ketemu keluraga besar itu rasanya aad sesuatu yang hilang ya mak
ReplyDeleteIya mak, pengennya sih bisa terus menjalin silaturahim dengan keluarga besar yang sudah terpencar-pencar.
DeleteDitunggu mainnya kekota saya by hehe
ReplyDeleteJadi pengen ke Solo (lagi) mengenang masa2 bekerja pada sebuah perusahaan penerbitan di sana (tapi taklama).
ReplyDelete