Jantungku sudah berdebar kencang
sejak masih di rumah. Jam 06.30, aku sudah harus berada di sekolah. Pakaianku
masih putih biru, meskipun sudah diterima sebagai siswa di SMA itu. Pakaian
seragam itu masih akan kukenakan hingga seminggu ke depan dalam rangka MOS
(Masa Orientasi Siswa). Sekolah baruku sudah ramai ketika aku sampai. Kami
mengikuti upacara bendera sekaligus pembukaan MOS. Peluh dan keringat
bercucuran di sekujur tubuh, rasanya tidak nyaman dan ingin cepat-cepat masuk
kelas. Sayangnya, kepala sekolahku yang baru itu sangat suka berbicara.
Barangkali sudah satu jam dia berdiri di podium dan berbicara dari A sampai Z. Itu
masih mending dibandingkan tiga tahun lalu saat aku baru masuk SMP. Punggungku
gatal menyiksa karena aku baru pertama kali memakai bra.
Akhirnya, kami diperkenankan
masuk ke dalam kelas. Aku masuk ke kelas nomor tiga dari depan. Perasaan
gugup menerjang, karena tak ada seorang
pun yang kukenal. Takut-takut, aku menghampiri meja nomor tiga, baris kedua,
yang salah satu kursinya masih kosong. “Hai, duduk sini!” si pemilik kursi di
sebelah kursi kosong itu memanggilku. Tubuhnya ramping, rambutnya dipotong bob,
dan pipinya tirus. Agaknya aku akan senang duduk dengannya. Kami pun
berkenalan. Aku senang sudah mendapatkan seorang teman di hari pertama.
Tak lama, bunyi bel yang masih
kuno dengan suara “Kring… kring…” terdengar di seantero sekolah. Kami langsung
duduk tenang, diikuti dengan kedatangan beberapa senior ke dalam kelas. Mereka
sudah memakai pakaian seragam putih abu-abu yang lebih keren daripada putih
biru. Wajah-wajah mereka terlihat jauh lebih dewasa. Ada dua perempuan dan tiga
laki-laki. Yang perempuan terlihat cantik dan terawat, tidak seperti anak-anak
SMP sepertiku yang masih belum piawai merawat tubuh. Wajah mereka bersinar
dengan senyum percaya diri yang sulit kutandingi. Mereka adalah senior MOS yang
bertanggungjawab di kelas kami. Salah satu dari mereka berbicara dan
memperkenalkan diri, selang sepuluh menit kemudian….
“Eh, sorry, gue telat!” seseorang menyela, masuk ke dalam kelas dengan
langkah percaya diri, bibir yang mengumbar tawa.
“Ah, elo… pake telat, lagi!”
sahut seorang senior MOS. Dan senior yang telat itu kembali menghamburkan tawa.
Aku kira, kegiatan MOS itu akan sangat menyenangkan, sampai….
“Gue tuker-tuker dulu ya
bangkunya! Biar elo semua bisa kenalan!” senior MOS yang terlambat itu
mengajukan usulan. Aih! Tukar-tukar bangku? Pun dengan teman yang duduk di
sebelahku itu, aku baru mengenalnya.
“Heh, kamu, kamu pindah ke sana,
ya!” senior MOS yang telat itu, mulai menukar-nukar bangku kami. Aku deg-degan.
Apakah bangkuku juga akan ditukar? Mataku pun mau tak mau tak bisa lepas dari
memandang senior MOS yang telat itu. Wajahnya biasa saja, tidak bisa
dideskripsikan seperti tokoh-tokoh cowok di dalam novel, semacam tinggi, putih,
berhidung mancung, dan lain-lain. Deskripsi fisiknya biasa saja, kelak,
teman-temanku menyebutnya “standar.” Lalu, apa yang membuat…..
Astaga! Mataku bersirobok dengan
matanya. Tatapan matanya segera menghujam jantungku. Aku merasakan serbuan
ombak di dalam dadaku. Jantungku berdetak amat kencang. Perutku pun mulai bergejolak. Oke, baiklah…. Kenapa dia
jadi terlihat tampan? Dia berlalu melewatiku…. Ah, syukurlah….
Tapi…..
“Kamu…”
“Gue?” teman di sebelahku
menyahut. Aku menoleh ke samping, dan terkejut!
“Bukan, kamu….” Matanya
memandangku. “Kamu pindah ya belakang.”
Aku terpana. Dia bicara padaku!
Dia meninggalkanku setelah bicara singkat, tapi hatiku masih terus menyimpannya
kelak sampai tiga tahun masa belajarku di SMA itu. Oya, aku pindah ke bangku
paling belakang. Dia akan sering berada di belakangku, menyandar pada tembok,
atau sesekali berpegangan pada sandaran kursi yang kududuki. Membuat deburan
ombak di dadaku tak berhenti. Membuatku semakin hanyut dalam lautan cinta.
Sebuah pesan masuk ke dalam inbox
hapeku. Aku segera meraih hape yang tergeletak di samping tempat tidur.
Tanganku refleks meraba perutku yang berisi janin berusia 7 bulan. Calon putra
pertamaku. Dua bulan menjelang melahirkan, aku diungsikan ke rumah mertua. Suamiku
masih tetap tinggal di Bogor karena harus bekerja. Menjalani LDR dengan suami
di saat hamil tua itu sungguh menyiksa. Akan tetapi, suamiku merasa lebih aman
bila aku tinggal bersama ibunya, agar ada yang menemani bila tiba-tiba melahirkan.
Kami menuntaskan rindu dengan mengirim sms dan menelepon. Dua minggu sekali,
suami menemuiku tapi tetap saja kelak aku lebih suka ditemani suami dalam
keadaan bagaimana pun.
Aku selalu berbunga-bunga setiap
menerima sms dan telepon dari suami. Seperti siang itu. Cepat-cepat aku baca
smsnya, yang kali itu membuat jantungku melompat kaget. Mulutku menganga
membaca kalimatnya,
“Aku tadi ketemu sama… di kantor,
lho. Dia titip salam buat kamu….”
Suami menulis nama seseorang yang
sudah lama kukubur. Seseorang yang mengisi masa putih abu-abuku dengan sejuta
warna—merah jambu, merah, kuning, abu-abu, hitam, putih…. Tanganku bergetar
memegang hape, bingung merangkai kalimat balasan untuk suamiku. Ya Allah,
suamiku bertemu dia? Sejuta
pertanyaan menuntut jawaban. Bagaimana suamiku dan dia bisa berkenalan? Aku
coba merangkai logika, rasanya tidak mungkin mereka bisa kenal. Ah, tidaaaaak!
Aku tanyakan kepada suami, eh
jawabannya malah,
“Ya gitu deh… penasaran, yaa….”
Suamiku tak membalas lagi,
membiarkanku dalam kebingungan. Aku tidak pernah menceritakan soal dia kepada suamiku, dan bagaimana
mungkin juga dia tahu bahwa suamiku
itu menikah denganku? Aku tak berani tanya-tanya lagi karena nanti suamiku
berpikir aku masih menyimpan perasaan kepadanya.
Peristiwa kebetulan itu lebih mirip adegan sinetron. Walaupun aku penulis
novel, aku tak percaya dengan adegan-adegan kebetulan seperti itu karena aku
memang jarang sekali mengalaminya.
Waktu berlalu, buah cinta kami
telah lahir, membuatku semakin mencintai suamiku. Lelaki yang bukan lelaki
pertama yang mengisi hatiku, tetapi berhasil mengambil seluruh porsi cintaku
untuk laki-laki lain. Setelah menikah dengannya, aku melupakan semua cinta yang
pernah singgah di hatiku. Aku masih penasaran bagaimana suamiku mengenal dia, sampai kemudian mendapatkan waktu
yang tepat untuk bertanya.
“Bagaimana aku kenal dia? Itu…
dia ada di buku harianmu, kan. Waktu itu aku lagi bersih-bersih lemari dan
nemuin buku harianmu itu.” Suamiku tertawa, membuat wajahku memerah.
Telunjuknya terarah pada buku harian yang tersimpan di dalam lemari bukuku.
Kukira, suamiku tak akan pernah membacanya karena dia tak suka membaca buku
apalagi membereskan lemari buku. Dengan alasan banyak rayap, suamiku membongkar
koleksi-koleksi bukuku dan menemukan buku harian itu.
“Kamu itu… rajin banget nulis
tentang dia. Kalau tentang aku, nulis juga nggak?” suamiku menggoda.
“Banyaaak…. Semua smsmu sebelum
nikah pun sudah kutulis tuh, detil, dari tanggal, isi, walaupun isinya
sepele….”
“Dasar penulis! Kamu masih cinta
ya sama dia, kok buku hariannya masih disimpan?”
“Enggaklah! Ini kan kusimpan
untuk bahan nulis novel. Makanya, jangan baca-baca buku harian orang!” aku
mencubit suamiku, dan dia tertawa.
“Kayaknya cuman aku laki-laki
yang mau nikah sama kamu. Itu buktinya dia nggak mau jadian sama kamu, hahahahaha….! Eh, jangan masukin sms-smsku ke dalam novel!” Suami tertawa, seolah bangga sekali bisa
mengerjai istrinya.
Ah, cinta pertama… namamu masih
ada di dalam buku harianku karena aku membutuhkannya untuk bahan riset
novel-novelku.
tante aku boleh ketawa ga? hahaha :D *peacee
ReplyDeletelucu bayangin adegan percakapan tante dan suami. wkwk
Eeee, ngikik. Aku jg ada buku harian. Ntar kalo punya suami dan dibaca, gimana ya???
ReplyDeleteHihi.. sama Mbak. Sebagai seorang penulis yang butuh banyak ide, saya juga suka menyimpan kenangan masa lalu. Siapa tahu suatu saat aku membutuhkannya :D
ReplyDeletemak... saya nyesel bgt buang buku harian saya... padahal lumayan ya buat inspirasi nulis cerita...
ReplyDeletebuku harian pertamaku juga masih ada di rumah simbah. entah sudah dibuang apa belum, serem juga kalo dibaca suami nanti hihi
ReplyDeletewah bersyukur mba..suaminya pengertian. kan ada aja tuh yang kebakar api cemburu
ReplyDeleteKalau saya cemburu kayaknya deh
ReplyDelete