www.enjoypic.com |
Deras.
Camar
segera berlari ke pelataran sebuah rumah yang pintunya masih tertutup. Ia
berlindung di teras rumah itu, berharap si empunya tak mengusirnya apabila
sudah keluar rumah. Dilihatnya lantai teras rumah itu yang terkotori jejak
sepatunya. Ia jadi tak enak hati, tapi apa boleh buat. Sementara hujan tak
menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, justru semakin deras, disertai petir
menggelegar. Ia menggigil dan memeluk tubuhnya. Rasa dingin masih
menghinggapinya sekalipun sudah memakai baju hangat di luar baju seragamnya.
“Hmmm.. yang mau ikut
MOS, datang terlambat.”
Sebuah
suara datang dari arah samping. Camar menoleh dan matanya menangkap sosok
seorang cowok dengan
seragam putih abu-abu. Duh! Senior! Seragam mereka bisa dibedakan karena Camar
masih mengenakan seragam SMP.
“Eh,
Kakak...” Camar menundukkan kepala, sikapnya itu mengundang tawa rekan
bicaranya.
“Tenang
saja. Aku gak ikut mlonco kamu, kok. Kamu calon anak SMA Juventia, ya? Aku dari SMA Eleazar.”
“Oh… ternyata Kakak siswa SMA
Eleazar…” Camar baru ngeh ketika
cowok itu memperlihatkan badge nama
yang tertempel di lengan seragam sebelah kanannya. “Kok Kakak tahu kalau aku
calon anak SMA Juventia?”
“Ya, tahu…. Di sekolahku, calon siswa
SMA Eleazar memakai topi koran warna-warni. Topi itu pasti basah sekarang.
Zaman sudah jauh berubah, tapi gaya mlonconya masih sama.” cowok itu tertawa
kecil.
Kulit
cokelat, hidung mancung, rambut ikal, bibir tipis, dan sebuah lesung pipi di
pipi kiri. Topi merah
yang dikenakannya sedikit basah. Gambaran rekan bicaranya tersimpan di
dalam memori otak Camar. Cukup tampan.
“Kalau aku disuruh pakai caping
petani, tapi baru besok dipakainya. Harusnya hari ini gak telat kalau gak hujan,” Camar
membela diri. Ia menampakkan raut wajah gelisah. Ia masih harus berjalan
beberapa kilometer untuk mencapai sekolahnya. Sementara jarum jam di tangannya
sudah menunjukkan pukul tujuh. Terlambat. Beberapa anak sekolah berseragam SMP
seperti dirinya terlihat memaksakan diri menerobos linangan air hujan. Bibirnya
gemetar, tak kuat menahan udara dingin, sebab sebagian rok dan bajunya basah
terkena air hujan.
Cowok di sebelahnya
menampakkan raut wajah peduli. Seakan memahami kecemasan yang sedang
menghinggapi gadis di sebelahnya itu, ia mengeluarkan kata-kata penghiburan.
“Jangan
khawatir. Banyak yang terlambat juga, kok.”
“Apa aku
terobos juga hujan itu ya?” Camar mulai berpikir nekat. Ia tak membawa baju
ganti. Jika memaksakan diri menerobos hujan, pakaiannya akan basah kuyup.
“Tidak
perlu. Sebentar lagi reda,” cowok itu memandang hujan. Camar melihat tetesan air hujan
menjatuhi pucuk hidungnya yang mancung. (halaman 10-12)
Penggalan kisah di atas ada dalam
novel “Aku, Juliet” karya saya yang diterbitkan oleh Penerbit Moka. Hujan
memang mendatangkan inspirasi. Tak sedikit penulis yang menjadikan hujan
sebagai tema di dalam novelnya. Walaupun tema novel saya itu bukan tentang hujan, tetapi ada adegan
berteduh dari hujan. Bagi saya, hujan itu romantis. Sebuah novel romantis, tak
lengkap rasanya bila tak ada adegan “hujan-hujanan.”
Saya mau buka rahasia mengenai adegan
di atas. Adegan itu bukan sekadar imajinasi, lho, melainkan memang pernah
terjadi. Kisahnya tidak benar-benar sama, ehm… tapi romantismenya cukup
mendekatilah ahahaha…. Saat itu kelas 2 SMA, saya turun dari angkot sepulang
sekolah. Hujan turun amat deras, sehingga berteduhlah saya di depan sebuah
rumah yang kosong. Saya melihat dirinya juga berdiri di depan rumah itu,
menyunggingkan sedikit senyum, lalu kami berteduh berdua.
Dag, dig, dug… jiwa muda bergejolak. Saya
memperhatikan tetesan hujan jatuh ke pucuk hidungnya yang mancung. Tak ada
banyak kata yang kami ucapkan, karena saya memutuskan untuk segera naik ojek,
sedangkan dia jalan kaki :D (kalau mau romantis, mestinya saya juga jalan kaki
bersama dia ya, rumah kami hanya terpaut beberapa rumah). Lagipula, dia memang seorang pendiam. Tak
seperti adegan di atas, kami hanya bertukar sapa.
“Hai, La….”
“Eh, kamu….” (namanya saya rahasiakan
saja, deh).
Namanya juga novelis. Bertahun kemudian,
sepotong adegan saat berteduh dari hujan itu menjelma menjadi bagian di dalam
novel, dengan banyak kata berhamburan dari kedua tokohnya: Camar dan Abby. Eh,
terus.. terus… si dia itu gimana jadinya? Ngomong-ngomong, dia itu siapa sih?
Dia itu… ehm… rahasia deh, ah. Hanya
satu dari laki-laki yang pernah memberikan inspirasi untuk dijadikan potongan
adegan di dalam novel saya kok, hehehehe…. Barangkali pernah ada sepotong hati
saya pernah singgah di hatinya, tetapi semua itu kini hanya menjadi kenangan
dan bagian dalam novel saya. Seorang novelis dan hujan adalah pasangan serasi
untuk merangkai kata-kata dan mengabadikannya ke dalam sebuah kisah penuh
imajinasi. Setiap tetesan hujan yang turun ibarat tetesan ide yang datang dari
langit. Sebab, hujan adalah wujud cinta Tuhan kepada kita. Dan sambil
memandangi tetesannya, kisah cinta dapat terangkai sempurna melalui goresan
pena kita.
Terima kasih hujan, yang telah
melengkapi kisah di dalam novel saya itu melalui sepotong adegan di bawah
hujan.
ehem...emang adegan berteduh yang ela ceritakan romantis ya...:)
ReplyDeletehujan itu penuh misteri ya Mak
ReplyDeletehujan memang bikin suasana romantis, pantas aja banyak lagu dan novel yg ada adegan hujan hujanan :)
ReplyDeletejudulnya cocok ni buat judul lagu ..
ReplyDeletehujan,cinta dan cerita tentang kita hihihi
apalagi buat para PluviOphile, tambah greget pasti
ReplyDelete