Monday, June 30, 2014

Perjalanan Itu Bermula Darimu

Pantai Sayang Heulang

Pagi adalah awal kehidupan. Sebagian besar aktivitas manusia dimulai ketika cahaya matahari membias di ufuk cakrawala. Tuhan telah menisbatkan dalam firman-Nya, bahwa siang adalah waktunya bekerja dan malam untuk beristirahat. Tapi tidak demikian bagi makhluk nocturnal, yang memulai pekerjaannya di malam hari dan menutup matanya di siang hari seperti kelelawar dan burung hantu. Bagaimana denganmu? Kudengar suara gemuruh ombakmu terus-menerus mengisi gendang telingaku, meskipun gelap telah menutup malam.


Pantai Sayang Heulang, itulah namamu. Aku tak tahu apa artinya, tapi konotasi “Sayang” berhasil melambungkan sisi romantisku. Kau seindah namamu, dengan air yang jernih, batu karang yang tajam, dan pasir putih yang halus. Aku telah menempuh perjalanan delapan jam untuk mencapaimu, dari Kota Bogor hingga ke selatan Garut.  Perjalananku bermula darimu.

Ketika kakiku pertama kali menjejakmu, terasa butir halus pasirmu membelai jemariku. Ini keajaiban! Dan ini nyata! Suara ombakmu seakan mengucapkan selamat datang dan terima kasih karena telah menjengukmu. Mataku tak bisa lepas memandangmu. Semakin jauh, tubuhmu semakin membulat. Itukah ujung dunia? Awalnya adalah pasir yang kuinjak, dan akhirnya adalah tubuhmu yang cembung. Atau jangan-jangan itu puncak perut Zeus? Airmu sedang surut, sehingga aku bisa berjalan jauh agak ke tengah, berpijak pada karang-karang telanjang yang menjadi tempat sembunyi si mata lembu.

Nelayan-nelayan berdatangan dan menyebar ke tengah, mencari rumput laut segar yang bisa dijadikan obat atau penganan. Beberapa di antara mereka juga asyik menjaring ikan, karena ombak sedang berbaik hati memberikan tempat untuk mencari nafkah lebih banyak lagi. Permainan ombak sungguh memikat, aku seperti menantang maut ketika ikut berjalan ke tengah dan membiarkan sebagian tubuhku tertampar olehmu. Kau menyerbu ke depan, lalu bergulung kembali ke belakang, maju lagi ke depan, dan kembali lagi ke belakang, begitu terus tiada henti.

Malam hari, kudengar suaramu masih asyik berbincang dengan alam. Dengunganmu serupa zikir para wali. Itukah yang membuatmu selalu siap sedia manakala Tuhan memerintahkan tubuhmu bergulung dan menggulung semua yang ada di depanmu dalam peristiwa tsunami? Kau siap menerima perintah Tuhan, karena kau tak pernah tidur. Ombakmu adalah keindahan yang mengandung misteri.  Rasa takut mencengkeramku, manakala kuingat bahwa kau bisa tiba-tiba marah dan menggulungku. Tsunami… tsunami… tsunami….

Pada pagi berikutnya, kami bergerak ke pantai di sebelahmu. Pantai Santolo, namanya. Perahu-perahu nelayan tertambat di dermaga kecil, di mana air laut tertahan dan tak ada ombak yang mengamuk. Beberapa nelayan baru akan melaut, beberapa yang lain mungkin sedang dalam perjalanan pulang dari laut.  Ada juga yang sedang menurunkan ikan-ikan besar hasil tangkapan untuk kemudian dijual di tempat pelelangan ikan.

Dari jauh aku melihat sebuah kapal nelayan yang kecil, berayun-ayun dimainkan ombak. Terasa berat dan payah untuk mencapai dermaga. Kubayangkan perjalanan sang nelayan dari tengah malam hingga pagi hari, menjaring ikan di tengah laut, untuk kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga di pasar modern dan rumah-rumah makan.

Pantai Santolo
Perjalanan adalah sebuah niscaya. Semua orang adalah pejalan. Sejak mereka masih berbentuk embrio sampai dilahirkan ibunya masing-masing, perjalanan akan terus berlangsung. Bahkan, dalam beberapa agama disebutkan bahwa perjalanan itu masih belum berhenti sampai tubuh manusia berkalang tanah. Kitab-kitab suci menyebutkan adanya dunia lain setelah kematian dengan beraneka ragam sebutan: surga, neraka, akhirat, nirwana, khayangan, dan sebagainya.

Dalam setiap perjalanan, ada kalanya kita menemukan jalan buntu. Seperti benang kusut yang sulit terurai. Ada kalanya kita berhenti meneruskan perjalanan, atau mencari jalan lain agar perjalanan kita masih berlanjut. Melepaskan diri dari perjalanan yang rutin, dan beralih ke perjalanan spiritual. Ada juga yang melakukan perjalanan untuk bersenang-senang, sebelum kembali pada perjalanan yang telah ditakdirkan.

Ada orang yang merasa tak pernah melakukan perjalanan. Berhenti di satu titik secara terus-menerus. Merasa hidupnya tak memiliki rutinitas yang berarti. Barangkali, orang itu adalah aku. Sebelum aku menyadari bahwa setiap manusia diciptakan dengan membawa tujuannya masing-masing. Di mataku, tujuanku diciptakan begitu sepele. Padahal, Tuhan tidak pernah main-main dalam menciptakan tujuan setiap hamba-Nya diciptakan. Kita semua adalah pejalan. Kita semua adalah wali. Kita semua adalah musafir. Kita mengawali perjalanan dari setiap napas Tuhan yang ditiupkan ke dalam jiwa kita, dan kelak akan mengakhiri perjalanan itu.

Bagaimana denganmu? Apakah kau akan terus mengulang-ulang perjalanan tanpa jeda? Atau, suatu saat kau akan mengakhirinya? Pagi hari, awal perjalanan, kau melakukannya dengan semangat. Air laut pasang hingga hanya menyisakan sedikit pasir pantai. Ombak begitu ganas menghantam bibir pantai. Aku justru menikmatinya dengan menguji adrenalin, memasukimu dan beberapa kali nyaris terbawa arusmu.

Mestinya begitulah kita saat mengawali perjalanan. Sebab, akhir kehidupan ditentukan bagaimana cara kita memulainya. Sore hari, aku melihat beberapa orang tengah mengeruk pasirmu. Kutanya buat apa? Mereka jawab, untuk membangun rumah. Memang saat itu mereka hanya membawa satu karung pasir, tetapi bagaimana bila mereka terus melakukannya? Kuingat papan peringatan yang terpasang di dekat bangunan pengawas yang tak berpenunggu. Salah satunya, dilarang mengambil pasir dari pantai. Bukankah larangan itu begitu jelas? Ah, tentu saja kita semua paham, peraturan ada untuk dilanggar.

Papan Larangan
Di bagian pantai yang dekat dengan perumahan warga, sampah-sampah tertambat di sekitar karang. Pecahan botol minuman keras, plastik-plastik bekas, wadah bekas makanan, dan lain sebagainya, seakan-akan dibuang begitu saja tanpa mempertimbangkan akibatnya. Manusia memang perusak andal, sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat Al Quran, Ar-Ruum: 41, Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
    
Para Pengeruk Pasir
Kendatipun aku ingin menetap di sisimu, aku harus meneruskan perjalanan. Sebab, tujuanku mendatangimu hanya untuk mengurai benang kusut yang sedang membelitku. Tetapi, dari situ aku menyadari bahwa awal kehidupanku dimulai dari perjalanan sebuah benih yang bertarung dengan ribuan benih lainnya, berupaya menembusi satu-satunya sel telur yang ada, untuk kemudian berkembang menjadi embrio, janin, dan menetas dalam rupa seorang bayi. Perjalanan itu mempertaruhkan nyawa seorang wanita yang disebut ibu demi awal kehidupan yang baru dari seorang anak manusia. Kemudian, anak itu kembali berjalan dan berjuang dalam kehidupannya, untuk suatu tujuan yang telah ditetapkan oleh alam bawah sadarnya.

Sebagaimana dirimu yang tak pernah berhenti berjalan, mencium, dan menerjang bibir pantai dengan ombakmu, demikian pula diriku. Aku telah memenuhi perintah Tuhan untuk mengawali perjalanan ini, maka aku pun harus mengakhirinya dengan baik. Dan kau adalah mula, titik tolak perjalananku.



Tulisan ini disertakan pada Blog Competition Nubie Traveller

3 comments:

  1. Baguuuusss.....moga menang mba leyla. niat ikutan nih belom nemu ide wkekeke

    ReplyDelete
  2. Sayang Heulang itu artinya Sarang Burung mbak.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....