Pantai Sayang Heulang |
Pagi adalah awal kehidupan. Sebagian
besar aktivitas manusia dimulai ketika cahaya matahari membias di ufuk
cakrawala. Tuhan telah menisbatkan dalam firman-Nya, bahwa siang adalah
waktunya bekerja dan malam untuk beristirahat. Tapi tidak demikian bagi makhluk
nocturnal, yang memulai pekerjaannya di malam hari dan menutup matanya di siang
hari seperti kelelawar dan burung hantu. Bagaimana denganmu? Kudengar suara
gemuruh ombakmu terus-menerus mengisi gendang telingaku, meskipun gelap telah
menutup malam.
Pantai Sayang Heulang, itulah
namamu. Aku tak tahu apa artinya, tapi konotasi “Sayang” berhasil melambungkan
sisi romantisku. Kau seindah namamu, dengan air yang jernih, batu karang yang
tajam, dan pasir putih yang halus. Aku telah menempuh perjalanan delapan jam
untuk mencapaimu, dari Kota Bogor hingga ke selatan Garut. Perjalananku bermula darimu.
Ketika kakiku pertama kali
menjejakmu, terasa butir halus pasirmu membelai jemariku. Ini keajaiban! Dan
ini nyata! Suara ombakmu seakan mengucapkan selamat datang dan terima kasih
karena telah menjengukmu. Mataku tak bisa lepas memandangmu. Semakin jauh,
tubuhmu semakin membulat. Itukah ujung dunia? Awalnya adalah pasir yang
kuinjak, dan akhirnya adalah tubuhmu yang cembung. Atau jangan-jangan itu
puncak perut Zeus? Airmu sedang surut, sehingga aku bisa berjalan jauh agak ke
tengah, berpijak pada karang-karang telanjang yang menjadi tempat sembunyi si
mata lembu.
Nelayan-nelayan berdatangan dan
menyebar ke tengah, mencari rumput laut segar yang bisa dijadikan obat atau
penganan. Beberapa di antara mereka juga asyik menjaring ikan, karena ombak
sedang berbaik hati memberikan tempat untuk mencari nafkah lebih banyak lagi.
Permainan ombak sungguh memikat, aku seperti menantang maut ketika ikut berjalan
ke tengah dan membiarkan sebagian tubuhku tertampar olehmu. Kau menyerbu ke
depan, lalu bergulung kembali ke belakang, maju lagi ke depan, dan kembali lagi
ke belakang, begitu terus tiada henti.
Malam hari, kudengar suaramu
masih asyik berbincang dengan alam. Dengunganmu serupa zikir para wali. Itukah
yang membuatmu selalu siap sedia manakala Tuhan memerintahkan tubuhmu bergulung
dan menggulung semua yang ada di depanmu dalam peristiwa tsunami? Kau siap
menerima perintah Tuhan, karena kau tak pernah tidur. Ombakmu adalah keindahan
yang mengandung misteri. Rasa takut
mencengkeramku, manakala kuingat bahwa kau bisa tiba-tiba marah dan
menggulungku. Tsunami… tsunami… tsunami….
Pada pagi berikutnya, kami
bergerak ke pantai di sebelahmu. Pantai Santolo, namanya. Perahu-perahu nelayan
tertambat di dermaga kecil, di mana air laut tertahan dan tak ada ombak yang
mengamuk. Beberapa nelayan baru akan melaut, beberapa yang lain mungkin sedang
dalam perjalanan pulang dari laut. Ada
juga yang sedang menurunkan ikan-ikan besar hasil tangkapan untuk kemudian
dijual di tempat pelelangan ikan.
Dari jauh aku melihat sebuah
kapal nelayan yang kecil, berayun-ayun dimainkan ombak. Terasa berat dan payah
untuk mencapai dermaga. Kubayangkan perjalanan sang nelayan dari tengah malam
hingga pagi hari, menjaring ikan di tengah laut, untuk kemudian dijual dengan
harga yang jauh lebih murah daripada harga di pasar modern dan rumah-rumah
makan.
Pantai Santolo |
Perjalanan adalah sebuah niscaya.
Semua orang adalah pejalan. Sejak mereka masih berbentuk embrio sampai
dilahirkan ibunya masing-masing, perjalanan akan terus berlangsung. Bahkan,
dalam beberapa agama disebutkan bahwa perjalanan itu masih belum berhenti
sampai tubuh manusia berkalang tanah. Kitab-kitab suci menyebutkan adanya dunia
lain setelah kematian dengan beraneka ragam sebutan: surga, neraka, akhirat,
nirwana, khayangan, dan sebagainya.
Dalam setiap perjalanan, ada
kalanya kita menemukan jalan buntu. Seperti benang kusut yang sulit terurai. Ada
kalanya kita berhenti meneruskan perjalanan, atau mencari jalan lain agar
perjalanan kita masih berlanjut. Melepaskan diri dari perjalanan yang rutin,
dan beralih ke perjalanan spiritual. Ada juga yang melakukan perjalanan untuk
bersenang-senang, sebelum kembali pada perjalanan yang telah ditakdirkan.
Ada orang yang merasa tak pernah
melakukan perjalanan. Berhenti di satu titik secara terus-menerus. Merasa
hidupnya tak memiliki rutinitas yang berarti. Barangkali, orang itu adalah aku.
Sebelum aku menyadari bahwa setiap manusia diciptakan dengan membawa tujuannya
masing-masing. Di mataku, tujuanku diciptakan begitu sepele. Padahal, Tuhan
tidak pernah main-main dalam menciptakan tujuan setiap hamba-Nya diciptakan.
Kita semua adalah pejalan. Kita semua adalah wali. Kita semua adalah musafir.
Kita mengawali perjalanan dari setiap napas Tuhan yang ditiupkan ke dalam jiwa
kita, dan kelak akan mengakhiri perjalanan itu.
Bagaimana denganmu? Apakah kau
akan terus mengulang-ulang perjalanan tanpa jeda? Atau, suatu saat kau akan
mengakhirinya? Pagi hari, awal perjalanan, kau melakukannya dengan semangat.
Air laut pasang hingga hanya menyisakan sedikit pasir pantai. Ombak begitu
ganas menghantam bibir pantai. Aku justru menikmatinya dengan menguji
adrenalin, memasukimu dan beberapa kali nyaris terbawa arusmu.
Mestinya begitulah kita saat
mengawali perjalanan. Sebab, akhir kehidupan ditentukan bagaimana cara kita
memulainya. Sore hari, aku melihat beberapa orang tengah mengeruk pasirmu.
Kutanya buat apa? Mereka jawab, untuk membangun rumah. Memang saat itu mereka
hanya membawa satu karung pasir, tetapi bagaimana bila mereka terus
melakukannya? Kuingat papan peringatan yang terpasang di dekat bangunan
pengawas yang tak berpenunggu. Salah satunya, dilarang mengambil pasir dari
pantai. Bukankah larangan itu begitu jelas? Ah, tentu saja kita semua paham,
peraturan ada untuk dilanggar.
Papan Larangan |
Di bagian pantai yang dekat
dengan perumahan warga, sampah-sampah tertambat di sekitar karang. Pecahan
botol minuman keras, plastik-plastik bekas, wadah bekas makanan, dan lain
sebagainya, seakan-akan dibuang begitu saja tanpa mempertimbangkan akibatnya. Manusia
memang perusak andal, sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat Al Quran, Ar-Ruum: 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Para Pengeruk Pasir |
Kendatipun aku ingin menetap di
sisimu, aku harus meneruskan perjalanan. Sebab, tujuanku mendatangimu hanya
untuk mengurai benang kusut yang sedang membelitku. Tetapi, dari situ aku
menyadari bahwa awal kehidupanku dimulai dari perjalanan sebuah benih yang
bertarung dengan ribuan benih lainnya, berupaya menembusi satu-satunya sel
telur yang ada, untuk kemudian berkembang menjadi embrio, janin, dan menetas
dalam rupa seorang bayi. Perjalanan itu mempertaruhkan nyawa seorang wanita
yang disebut ibu demi awal kehidupan yang baru dari seorang anak manusia.
Kemudian, anak itu kembali berjalan dan berjuang dalam kehidupannya, untuk
suatu tujuan yang telah ditetapkan oleh alam bawah sadarnya.
Sebagaimana dirimu yang tak
pernah berhenti berjalan, mencium, dan menerjang bibir pantai dengan ombakmu,
demikian pula diriku. Aku telah memenuhi perintah Tuhan untuk mengawali
perjalanan ini, maka aku pun harus mengakhirinya dengan baik. Dan kau adalah
mula, titik tolak perjalananku.
Tulisan ini disertakan pada Blog Competition Nubie Traveller
Baguuuusss.....moga menang mba leyla. niat ikutan nih belom nemu ide wkekeke
ReplyDeleteSayang Heulang itu artinya Sarang Burung mbak.
ReplyDeleteikut mendoakan mbak leyla menang
ReplyDelete