Karikatur bikinan sendiri doong.... |
Minggu lalu saya jalan-jalan ke
sebuah toko buku yang sebenarnya memang sudah saya rencanakan karena saya mau
membeli buku-buku murah. Ternyata benar, ada banyak buku murah walaupun tidak
semua yang saya cari ada di sana. Sebagai pembaca buku, saya sangat diuntungkan
dengan obral besar-besaran itu. Sebagai penulis, saya miris. Ah, bahkan untuk
buku yang sudah diobral pun belum tentu terjual semua. Padahal, berapa sih
cetakan pertama buku itu? Paling-paling antara 2000-3000 eksemplar. Saya
menghabiskan uang Rp 231.000 untuk buku-buku murah seharga Rp 10-25 ribu itu.
Tergantung ketebalannya. Hari Seninnya, saya mendapatkan transferan royalty
sebesar RP 250 ribu. Lumayan kan, jadinya uang royalty itu bisa menggantikan
biaya membeli buku murah. Aaapppaah? Royalty selama 6 bulan hanya sebesar
ittuuuh??
Saya jadi ingat dengan curhat
seorang teman penulis yang royaltinya “hanya” sebesar Rp 1 juta rupiah selama 3
bulan. Sepertinya dia mengira bahwa royaltinya akan lebih besar dari itu.
Maklum, dia baru pertama kali menerbitkan buku jadi memang terlihat syok. Apa
sih yang ditawarkan para motivator menulis? Mereka sering mengatakan bahwa
menulis bisa bikin kaya. Emang bener apah? Kalo nanyanya ke saya, ya… gimana
ya…. maklum, saya belum sekaliber Andrea Hirata atau JK Rowling. Lumayanlah
royalty menulis itu bisa dipake buat ngasih ortu dan jajan anak-anak, tapi kalo
untuk beli tas branded ya belom mampu.
Menjadi penulis di era digital
ini susah-susah gampang. Setelah kemunculan komunitas-komunitas
menulis—termasuk Be a Writer—makin banyak aja orang yang mau jadi menulis.
Sayangnya, perkembangan jumlah penulis tidak sebanyak minat membaca. Aneh tapi
nyata, banyak penulis yang tidak sering membaca dengan alasan gak punya uang
untuk beli buku. Saya sendiri termasuk penulis yang perhitungan juga untuk
membeli buku baru, karena harga per buku sudah di atas 60 ribu. Tapi bukan
berarti saya gak membaca. Saya banyak membeli buku obralan atau seken, sehingga
harganya lebih miring.
Sebagai penulis, keikhlasan ini
memang sangat diuji. Bayangin aja, setelah menanti enam bulan, ternyata saya
baru tahu kalau royalty sebuah buku akan diberikan sekali dalam setahun.
Artinya, saya harus menunggu enam bulan lagi. Kebijakan penerbit itu tidak
sesuai dengan surat perjanjian, karena penerbit mengubahnya secara sepihak. Apa
mau dikata? Saya gak mampu bayar pengacara untuk memperkarakannya, jadi ya
pasrah aja. Semoga penerbit gak lupa membayar royalty setelah setahun. Saya
pernah juga berbeda pendapat dengan seorang sahabat, yang juga seorang pemilik
toko buku. Dia sangat memperjuangkan hak penulis, dalam hal ini royalty. Jadi,
sedikit diskon aja untuk pembaca itu dianggapnya sudah menzalimi penulis. Dia
juga cerewet menagih royalty ke penerbit, sedangkan saya gak begitu.
Sampai sekarang, saya belum
berani menjadikan profesi penulis sebagai satu-satunya sarana mencari uang.
Bayangkan saja, royalty satu juta baru bisa didapat setelah tiga bulan, gimane
mau hidup? Hahaha…. Penghasilan utama saya ya masih dari nodong suami, namanya
juga ibu rumah tangga wkwkwk…. Bahkan, menulis untuk ikut lomba blog saja lebih
banyak kalahnya daripada menangnya. Selama 4 bulan ini, saya sudah gak pernah
menangin lomba blog apa pun itu, biarpun hanya sekelas giveaway. Bayangin kalau
saya gak nodong suami, mau belanja pake apa? Memang banyak blogger yang sudah
berhasil menjadikan blognya sebagai sarana
mencari uang, mereka itu adalah blogger yang sudah dipercaya brand-brand
tertentu untuk menulis review produk mereka atau menjadi buzzer di twitter
tanpa harus mengikuti lomba blog. Masalahnya, saya baru sekali dapat proyek kayak gitu, yaitu
dari Zalora dengan imbalan satu buah gamis. Jadi, blog ini belum bisa
diandalkan buat meraup penghasilan, biarpun pengunjungnya udah 200 ribuan.
Seorang teman pernah berkata,
“jumlah statistik pengunjung blog itu mah bisa diakalin. Bisa diklik sendiri
oleh si empunya blog, ntar juga nambah tuh statistiknya.” Jiyaaah… yang bener
aja dong. Ngapain saya iseng ngeklik postingan sendiri sampe sejumlah 200
ribuan, hahahaha….. Kebangetan isengnya. Yang terutama sih, saya rajin membagikan
postingan di blog ini supaya banyak pembacanya, tapi tetep aja agensi iklan
blogger gak ngelirik, huhuhu…..
Satu-satunya apresiasi yang
menambah suplemen untuk menulis dan ngeblog itu datang dari pembaca. Kalau dari
pembaca blog ini, beberapa kali saya mendapatkan komentar di blog, yang merasa
terbantu oleh tulisan di blog ini. Lucunya, banyak yang berkomentar di
postingan untuk lomba blog. Misalnya, di postingan untuk lomba blog kosmetik
halal. Baru-baru ini ada ibu hamil yang komen, “terima kasih sekali atas
tulisannya. Saya memang sedang mencari kosmetik yang baik digunakan untuk ibu
hamil. Sepertinya kosmetik ini cocok untuk saya.” Nah, kan, padahal saya gak
menang di lomba blog kosmetik halal itu, tapi tetep aja saya udah membantu
penjualan tuh kosmetik. Bayar dong, bayaaaar…..!
Ikhlas, satu kata ini memang gak
ada gampangnya untuk diterapin itu. Ikhlas itu berarti melakukan sesuatu hanya
untuk Allah semata, gak ada imbalan uang maupun pujian. Katanya, kalau gak
ikhlas, amalan yang kita lakukan itu bakal hangus. Baru aja kemarin guru ngaji
saya memaparkan soal ikhlas. Menjadi orang ikhlas itu benar-benar susah. Begitu
juga dengan menjadi penulis yang ikhlas. Apalagi kalau kegiatan menulis sudah
menjadi profesi. Ada penulis yang sangat getol mencari materi dari menulis. Ada
pula yang getol mencari pujian. Barangkali saya juga sering melakukannya.
Bila motivasi menulis hanya untuk
materi, segala jalan akan ditempuh, walaupun itu melanggar etika dan hati
nurani. Melanggar etika misalnya dengan melakukan plagiasi. Beberapa waktu
lalu, ada dua kasus plagiasi di dunia tulis menulis. Yang pertama, mengutip
sumber tanpa izin dan tanpa menyebutkan nama sumbernya. Yang kedua, menuliskan
kembali cerita orang nyaris sama dengan aslinya. Dan ternyata, si pelaku memang
sudah membaca cerita yang diplagiatnya itu. Nah, kan, kalau motivasinya hanya
untuk uang, maka nulis plagiat pun akan ditempuh. Karya yang diplagiat itu biasanya
karya yang memang sudah terbukti bagus.
Menulis dengan melanggar hati
nurani, misalnya menulis sesuatu yang tidak sesuai prinsip hidup. Dulu pernah ada seorang teman
blogger, yang gak mau lagi ikut-ikutan lomba review produk. Apalagi kalau dia
gak pernah pake produknya. “Berasa lagi bohongin pembaca,” gitu katanya. Kalau memang
hal itu sudah melanggar hati nuraninya, ya memang lebih baik ditinggalin. Ada juga
penulis yang menulis novel di mana isinya mengajak orang melakukan maksiat. Memang
sih, novelnya laris manis, tapi kan hanya laris di dunia. Gak tahu deh di
akhirat nanti gimana.
Seorang teman penulis berkata, “kalau
mau mencari uang, jangan dari menulis. Dari hasil usaha lain saja. Menulis itu
untuk menyampaikan kebaikan dan ilmu yang bermanfaat.” Terserah Anda mau
sepakat atau tidak, tapi omongannya itu mengingatkan saya akan niat awal ketika
mulai terjun ke dunia tulis menulis ini. Ini pengalaman pribadi juga. Ketika
saya lagi getol-getolnya ikut lomba blog dan mulai sering menang, orientasi
saya mulai berubah. Yup, saya ketagihan berburu hadiah. Akibatnya apa? Saya kan
gak selalu menang. Begitu gak menang-menang, saya jadi sedih dan merasa
sengsara. Udah nulis capek-capek, gak menang-menang. Saya juga jadi iri sama
orang yang menang terus. “Idiih.. kok dia lagi sih yang menang.” Saya ngerasain
banget hidup gak tenang dengan perasaan-perasaan seperti itu. Beda kalau saya
menulis karena memang ingin berbagi, ikut lomba pun tidak fokus ke hadiahnya,
tapi juga mengasah kualitas tulisan. Saya mulai merasakan ketenangan. Gak
menang pun gak apa-apa. Jadi, rasa ikhlas itu memang sungguh-sungguh memberikan
ketenangan dalam hidup kita.
Semoga saja Allah Swt tidak
mencabut rasa ikhlas dari kegiatan menulis yang saya tekuni ini. Aamiin….
hehehe... ikhlas memang sulit tapi tetep berusaha buat ikhlas walaupun itu sulit
ReplyDeletehihi, aku jadi inget ditanya2 mulu juga sama orang tentang produk yang aku review buat ikutan GA, padahal udah lewat dari setahun juga :D
ReplyDeletememang nulis harus ikhlas ya, bun. mungkin rezeki datang dari tempat lain, tapi kitanya berusaha di tempat sebelumnya.
Alhamdulillah, Saya selalu ikhlas membaca tulisan di blognya mba Leyla
ReplyDeleteyang penting nulis aja dulu ya mbak, dapat hadiah merupakan bonus
ReplyDeleteWah, mbak ela, karikaturnya keren. pakai program apa tuh mbak?
ReplyDeletePake Toondo.com, Kak eky :-)
Deletedari segi apapun kita harus ikhlas ya mak...
ReplyDeletesaya setuju bahwa menulis itu memang utk menebar manfaat
Nice post mbak Leyla... mungkin kita memang harus kembali ke alasan awal mula kenapa kita menulis. Kalau karena cinta & ingin share hal2 yg bermanfaat, maka ngga perlu sedih bila blog/tulisan belum bisa memberi imbalan yg setimpal dg jerih payah... ^.^
ReplyDeleteNice post mbak Leyla... mungkin kita memang harus kembali ke alasan awal mula kenapa kita menulis. Kalau karena cinta & ingin share hal2 yg bermanfaat, maka ngga perlu sedih bila blog/tulisan belum bisa memberi imbalan yg setimpal dg jerih payah... ^.^
ReplyDeleteSaya juga pernah Mbak ketagihan berburu hadiah dari kegiatan menulis. Iya, rasanya sedih banget kalau tahu lagi-lagi dia yang menang. Dan sekarang ini saya belum menemukan semangat lagi untuk memulai menulis. Gimana ini Mbak? Hehe.
ReplyDeletehehehe. kalimat sisipan yang terakhir itu.. bisa aja deh si layla mah... makasih sudah ikut give awayku ya... ayo deh beli novelku...
ReplyDelete