Gerombolan ibu-ibu di grup curhat :D |
Dalam obrolan tentang kepenulisan
di radio MQ FM Bandung, beberapa waktu lalu, seorang rekan penulis, Aida MA
mengatakan bahwa menulis bisa dijadikan sarana untuk curhat, melampiaskan
kemarahan, kesedihan, kekesalan, dan sebagainya. Saya menambahkan, “boleh saja
menuliskan kekesalan, asal tidak dibagikan ke orang lain.” Aida pun ikut
menambahkan, “Iya, selesai ditulis, lalu buang kertasnya ke tong sampah.” Kalau
nulisnya langsung di laptop, ya berarti segera hapus tulisannya. Itu yang
disebut “menulis sebagai terapi jiwa.”
Saya sering mempraktekkan hal
itu. Menulis uneg-uneg kekesalan saya dan memang kekesalan itu langsung hilang.
Di dunia digital ini, keinginan untuk membagi kekesalan itu di media sosial
begitu kuat. Saya juga merasakannya. Ingin dunia tahu bahwa saya sedang kesal,
marah, sedih, dirugikan oleh orang lain, dan sebagainya. Akan tetapi, syukurlah
hal-hal pahit itu masih hanya tersimpan di laptop hehe…. Masalahnya adalah,
saya pernah mengalami juga ketika kelepasan melampiaskan kekesalan di media
sosial atau di grup tertutup, bukannya mendapatkan simpati atau empati, malah
dapat nasihat panjang kali lebar yang bikin kepala makin berasap.
Saya belajar untuk menuliskan
kekesalan itu, tapi tidak menyebarluaskannya. Mulanya memang saya sangat ingin
menyebarluaskannya, tapi setelah emosi reda dan membaca kembali tulisan itu,
saya justru bersyukur tulisan itu tidak pernah tersebar luas. Terlihat sekali
kebodohan saya saat melampiaskan uneg-uneg.
Itu juga yang terjadi kepada
Adinda, seorang gadis yang kesal terhadap ibu hamil yang meminta tempat duduk
kepadanya di kereta api. Kekesalannya diluapkan ke media sosial, yang langsung
dibagikan oleh orang banyak, dan hasilnya? Dia mendapatkan cercaan dan makian
dari orang-orang yang bersimpati kepada ibu hamil. Padahal, pasti maksud Adinda
meluapkan kekesalannya itu untuk mendapatkan dukungan, bukan makian. Apa yang
terjadi?
Tak ada seorang pun yang ingin
menjadi tong sampahmu.
Ahaay! Siapa sih yang pingin jadi
tong sampah? Siapa yang pingin mendengarkan makian, keluh kesal, kekesalan, dan
segala yang buruk-buruk? Sejatinya, tidak ada. Menulis sebagai terapi jiwa adalah menulis secara privat, untuk diri
sendiri. Menulis dengan huruf kapital dan sebaran tanda seru, silakan saja,
tapi cukup untuk konsumsi pribadi. Tahan diri untuk menyebarluaskannya ke media
sosial dengan maksud untuk mendapatkan simpati dari orang lain, karena belum
tentu semua orang akan bersimpati kepadamu.
Curhat secara elegan bisa
dilakukan dengan cara, menulis kekesalanmu lalu renungkan apa hikmah di balik
musibah yang menimpamu. Setelah mendapatkan hikmahnya, baru deh kamu tambahkan
di tulisanmu itu. Pasti hasilnya jadi cerita inspirasi yang menarik dan sesuai
untuk disebarkan.
Hfff… serem juga ya media sosial
ini…. *_*
betul juga ya, mbak.
ReplyDeletepernah saya bilang ke suami, saya termasuk orang yg jarang sekali cerita masalah saya. kenapa? karena nggak semua orang itu bisa ngerti apa yg saya alami dan nggak semuanya itu mau dikeluhkan sama saya. hihi..
setuju banget, sebisa mungkin ngga menyebar energi negatif ke sekeliling dengan menulis status mengeluh, maki2 dll...tfs mak...
ReplyDeletesetelah menulis rasa kesal biasanya hilang ya mbak
ReplyDeleteHuum mak saya setuju. Tak ada yg ingin jadi tong sampah kan?
ReplyDeleteMba Leyla, kirim alamat lengkap ke emailku (aiyuchee[at]gmail.com) buat kirim hadiah Pay-It-Forward ya, terima kasih.
ReplyDeleteSaya mulai memakai menulis sebagai therapy semenjak sekolah dikarenakan saya dulunya introvert dan tidak punya teman cerita dan belum berani cerita ke Bunda, sudah berani pun tak semua diceritakan alhasil menulis tetap jadi sarana therapy
ReplyDeleteMedia masa bukan buat curhat sih....