Untuk bisa megang mix ini, saya harus menaklukkan banyak ketakutan |
“Kenapa sih kita gak bisa menjadi
Penulis Hening aja? Aku gak bisa bicara di depan orang banyak.”
“Sama, Mbak, aku juga gak bisa. Tapi,
gimana ya, tuntutan profesi.”
“Aku pingin jadi Penulis Hening
aja ah.”
“Aku----“
Itu obrolan saya bersama seorang teman penulis yang karya-karyanya sudah tidak diragukan lagi. Langganan media! Cerpen-cerpennya kerap dimuat di Femina, Kartini, Kartika, Nyata, dan semua Koran dan majalah yang memuat cerpen dengan honor lumayan. Dia memang tipe penulis penyendiri dan tidak suka publikasi. Dia hanya suka mempublikasikan TULISANNYA, bukan DIRINYA. Dia tidak suka menunjukkan dirinya. Sampai hari ini, dia tetap menjadi Penulis Hening yang namanya hanya bisa dibaca di bawah karyanya tanpa banyak orang mengetahui kehidupan pribadinya.
Sedangkan saya? Saya masih berada
di tengah-tengah karena berpikir bahwa kebisuan ini bisa dipecahkan. Ya, saya dan dia sama-sama Penulis Demam
Panggung. Entah sudah berapa kali saya menolak tawaran untuk mengisi seminar
dan talkshow kepenulisan. Serius! Setiap kali tawaran itu datang, saya selalu
gemeteran duluan, hahaaha…. Lalu kemudian bingung, nanti mau ngomong apa ya?
Seorang penulis yang sekarang sudah sangat terkenal yang kalau saya sebut
namanya pasti Anda tahu, pernah menasihati saya, “Ayo latihan bicara di depan
panggung. Mula-mula ke sekolah-sekolah saja dulu, gak dibayar gak apa-apa. Yang
penting kan latihannya itu. Nanti kalau sudah berani dan pandai bicara, pasti
banyak yang manggil kamu untuk jadi pembicara. Saya dulu juga seperti kamu,
pemalu. Saya latihan dengan cara begitu, sekarang jadi terbiasa.”
Saya merenung memikirkan
omongannya yang sudah delapan tahun berlalu, dan saya masih… DEMAM PANGGUNG!
Saya mesti diseret dulu untuk bisa naik ke atas panggung. Anda mungkin tidak
percaya. Ibu-ibu yang pernah kopdar
dengan saya pun salah kira. “Kirain orangnya cerewet, ternyata pendiam banget.”
Yap, kalau di tulisan, saya memang cerewet. Aslinya? Mungkin akan membuat Anda
kehabisan bahan pembicaraan karena Anda terus yang bicara, hahaha….. Bahkan,
teman ngaji saya di komplek perumahan tempat tinggal saya berkata, “Ibu ini
bisanya cuma bicara lewat tulisan, namanya juga penulis.”
Sampai hari ini saya masih
berusaha mengatasi demam panggung itu. Ternyata ada yang lebih parah dari saya.
Seorang penulis yang sangat terkenal yang Anda juga pasti kenal, malah tidak
mau fotonya tersebar di media massa. Kalau dia mengisi seminar dan pelatihan,
dia melarang peserta memotretnya. Kalaupun dipotret, tetap tidak boleh
disebarkan di medsos. Teman saya ada yang nakal, menyebarkan fotonya di grup
tertutup sehingga kami tahu wajahnya. Dia juga ingin menjadi penulis yang
dikenal karyanya, bukan penulisnya. Saya masih mending masih narsis. Berani memasang
foto di medsos dan cerewet di blog, tapi kalau naik panggung… nanti dulu. Mikir
dulu yang lama.
Makanya, waktu itu saya tertawa
dalam hati pas ada penulis yang usianya lebih
tua dari saya, menasihati agar saya jangan dulu mengikuti pemilihan ibu
inspiratif yang diadakan sebuah majalah. Alasannya, anak-anak saya masih kecil
sedangkan di situ ada persyaratan bahwa peserta memiliki anak-anak yang
berprestasi. Kenapa dia menasihati saya
supaya tidak ikut? Karena ada beberapa teman yang mendorong saya untuk ikut.
Dia tentu saja tidak tahu bahwa saya sama sekali tidak kepikiran untuk ikut,
apalagi ada sesi wawancaranya, hahahaha…. Yang benar saja. Pada sesi wawancara
itu, pasti saya sudah kalah duluan. Ini lucu lho. Dulu waktu masih lajang dan
sibuk mencari pekerjaan, saya selalu gagal di sesi wawancara. Setiap habis
diwawancara, besoknya saya tidak dipanggil lagi, wkwkwk…. Satu-satunya
pekerjaan yang menerima saya adalah pekerjaan yang mengandalkan hasil ujian
saya yang bagus, EDITOR. Jadi, jangan harap saya ikut pemilihan-pemilihan yang
mengandalkan kemampuan berbicara. Saya penulis, bukan pembicara.
Pernah sekali saya iseng ikut
pemilihan Srikandi 2013. Ketika pertama diumumkan, saya tidak terpikir mau ikut
karena masih pemula dan pastilah banyak ibu-ibu hebat lainnya. Lalu, kenapa
saya ikut? Karena ingin meramaikan saja, berhubung panitianya bilang kalau
pesertanya masih sedikit. Jadi, saya tidak terpikir bakal masuk 50 besar, eh
ternyata masuk. Saat itu saya pikir, ini mungkin pesertanya sedikit. Dan saya
kembali demam panggung… Astaga.. gimana kalau terpilih ya…. Apa saya bisa
mengatasi demam panggung? Syukurlah, ternyata tidak, hahahah….. Tahun 2014,
saya tidak ikut lagi karena yakin sudah lebih banyak pesertanya berhubung
semakin banyak ibu-ibu yang mengenal pemilihan itu, juga seleksinya yang upload
video promosi diri di you tube itu ibarat disuruh nelan kulit durian. Sampai hari
ini saya tidak berniat lagi mengikuti pemilihan-pemilihan yang menampilkan diri
sendiri, apakah itu perempuan inspiratif, srikandi, kartini, dan sebagainya.
Saya masih harus menaklukkan diri sendiri kalau mau menaklukkan dunia, halaah…..
Masalahnya adalah, grup penulis yang saya bentuk dua tahun lalu,
hendak ditampilkan secara luas oleh Aida MA, yang memang seorang trainer dan
pembicara andal. Masya Allah! Saya terpana melihatnya berbicara di MQ FM (itu
pun dia berhasil meyakinkan saya untuk ikut), jago banget ngomongnya. Suaranya
enak, empuk, gak heran penyiarnya juga terkesima. Dia berusaha meyakinkan para
penulis BAW untuk menaklukkan demam panggungnya, karena memang penulis-penulis
BAW itu kebanyakan adalah Penulis Hening. Mereka hanya menulis tanpa mau
menonjolkan diri. Kebanyakan followernya hanya ratusan dan blognya sepi, hehehe…..
Padahal, saat ini, Personal Branding itu perlu, hiks…. Ya, buat apa lagi kalau
bukan supaya buku laris manis? Itulah kenapa saya jadi cerewet banget di blog.
Ayo beli buku saya! Wkwkwk…..
Ini sungguhan lho. Saya pernah menawarkan ide untuk membangun personal branding para penulis BAW, yaitu dengan memperkenalkan sosok penulisnya. "Ayo, perkenalkan diri kita pada dunia!" Tapi, tidak ada yang menyambut tawaran saya. Mereka minta yang diangkat adalah karyanya saja, bukan orangnya :D
Jadi, bagaimana supaya tidak
demam panggung? Ya, latihan, latihan, latihan. Kalau perlu ikut kursus Public
Speaking, tapi biayanya mahal bo, 3 juta-an hehehe….. Omong-omong, semua nama
penulis di atas (kecuali Aida) saya sembunyikan karena takut digugat kalau
mereka baca tulisan ini :D
**sekadar curhat menjelang naik
panggung, cieeee (itu juga kalo jadi)
gimana kalau aku yang disuruh ngomong ya mba, gak pede aku
ReplyDeleteApalagi aku ya mbak tambah gak pede hihihi, memang ngomong didepan umum itu harus latihan ya :)
ReplyDeleteapalagi saya mbak hehe..
ReplyDeletetiap kuliah, dosen mengajukan pertanyaan,saya seringnya amping-amping temen yang punya badan gedhe, takut kalau nanti di tunjuk.
untung saya imut hehe..
sebenarnya ini gak baik ya dan harus ditentang rasa itu. tapi mau gimana lagi, perasaan demam begini berasal dari dalam, kalau sudah menyangkut rasa, sulit untuk ditentang.
Jangan demam panggung, Mak. Dirimu bakalan sering ngomong di depan umum seperti itu. Ayoooo.... pasti bisa. :D
ReplyDelete*sendirinya juga cuma bawel di dunia maya ajah* :))
waahh... selamat ya... semoga ke depannya tdk demam panggung lagi ya... :)
ReplyDeleteSama mak
ReplyDeleteAku juga merasa lebih terbuka saat menulis daripada tampil di teman umum. Menulis bias mengungkapkan segalanya lalu diedit. Sementara tampil di depan umum sudah dipersiapkan catatan kecil lalu sering lupa pas sudah tampil. *malu
setuju...latihan dan latihan membuat semua menjadi terbiasa....demam panggung pun juga bisa teratasi,
ReplyDeletekeep happy blogging always..salam dari Makassar :-)
kalau bagi seornag penulis sih menurutku demam panggung tidak terlalu masalah, hehe
ReplyDeletepenulis bukankah berbada dengan pembicara, banyak penulis yang saya kagumi yang tidak bagus dalam hal public speaking, hehe
mak,kalo saya kebalikannya mak, gak demam panggung kalo bicara di depan umum, krn sy senang bicara hehe, tapi klo disuruh nuangin apa yg tadi dibicarakan kedalam tulisan pasti bingung bingits
ReplyDeleteTapi alangkah hebatnya seandainya penulis bisa ahli bicara juga. ide-idenya akan lebih bisa diterima orang banyak.
ReplyDeleteKarena jaman sekarang orang lebih senang mendengarkan dari pada membaca.
Masalah kita sama mbak...haha
ReplyDeletedemam panggung, beneran deh, aku mending dibelakang layar aja dr pada di depan panggung, berasa serem diliatin org banyak :D
tp sejak jd blogger, sy sedikit belajar mengatasi demam panggung :D
*Kepedean yg ini mah
aku juga punya penyakit demam panggung mak :)
ReplyDeleteHahahaaa.... kalau saya ambigu mak. Garing tapi kalau jadi pembicara tiba2 lupa diri, bersemangat. Kadang masih risi dg expose diri, makanya kalau menang lomba gak pernah saya sebut di FB, biasanya krn ditag teman. Di twitter pun sewajarnya saja. Meski tulisan ttg kegiatan sy banyak, sy tdk pernah mau cerita ttg keluarga & jarang ada foto diri. Lomba2 blog ttg kisah pribadi selalu sy hindari sedapat mungkin, kalaupun terpaksa sedikit banget & tdk menyebut nama. Saya lebih senang orang mengenal saya karena memberi manfaat drpd menang untuk diri saya sendiri. Bukannya sy nggak pengin menang & terkenal, tp nggak semua harus dihidangkan dimuka umum.
ReplyDeleteDitunggu cerita naik panggungnya :D
ReplyDeleteYa Mak, beberapa penulis yang aku kenal memang lebih nyaman utk dikenal karyanya saja. Mereka gak nyaman jika harus tampil juga di depan publik.
ReplyDeletememang bicara di depan orang banyak nggak mudah, mak. Aku aja seringnya deg-degan duluan. Nggak mempan walau udah tarik napas sekalipun. Tapi lama-lama aku sadar, harus melawan rasa grogi itu sendiri. Soalnya suka ngiri kalo liat orang yang ngomongnya lancar. Semoga nanti udah nggak grogi lagi..
ReplyDeleteAku salut sama Alberthiene Endah. Jago menulis dan jago public speaking juga. ^^
ReplyDelete