Makan romantis di De Opera, The Bay Bal |
Pasir putih pantai Nusa Dua Bali membelai lembut telapak kakiku. Nyiur pohon kelapa memberikanku naungan dari terik matahari. Aku masih belum sekuat manusia-manusia berkulit putih yang berjemur di tepi pantai itu. Aku masih khawatir kulitku menghitam, meski mereka justru menginginkan kulit Asia yang eksotis seperti kebanyakan penduduk Indonesia. Di pinggir pantai, bayangan sepasang lelaki dan perempuan yang tengah berlarian dan bercanda memercikkan air ke tubuh pasangannya, memburamkan pandangan mataku. Kemesraan mereka sungguh membuatku iri.
Lidahku
masih dapat merasai aroma khas bumbu Bali yang menemani sepotong Bebek Bengil,
menu favorit kita di Restoran Bebek Bengil, salah satu restoran favorit di
kawasan The Bay Bali ini. Kau yang memilihkan menu itu, padahal seumur-umur
belum pernah aku makan daging bebek. Aneh? Ah, tidak. Aku pikir aku orang yang
konsisten dengan pilihanku menerapkan pola makan Food Combining yang lebih
ekstrim: tidak makan karbohidrat dan daging-dagingan. Tetapi kau, dengan
paksaanmu yang menghipnotis, mampu membuatku mencicipi daging binatang yang
hidup berkelompok dan selalu berisik saat berjalan beriringan.
Wajahmu
begitu puas ketika lidahku mau menyecap daging bebek yang lembut itu. Aku
bahkan melupakan program dietku yang sudah tiga tahun kulakukan demi memperoleh
tubuh langsing. Kau berkata, “bagiku, kau tetap cantik walau pipimu
menggelembung.” Aku tersenyum malu-malu, dan tak terasa sudah memasukkan dua
piring nasi ke dalam perutku. Hanya seseorang yang kucintai dengan sangat, yang
kuperbolehkan mengatur pola makanku, sesuatu yang kujaga selama ini.
Bebek Bengil |
Setelah
makan, kita melanjutkan perjalanan bulan madu, melintasi jalan setapak dari
depan restoran menuju ke tepi pantai. Ya, dari depan restoran Bebek Bengil itu,
kita dapat melihat ke arah pantai Nusa Dua, menikmati pemandangan pantai yang
romantis. Memang tak salah saat kau mengusulkan untuk berbulan madu ke The Bay Bali. Kau telah memilih tempat yang sesuai
untuk mengabadikan momen pertama penyatuan cinta kita.
Kau
mengajakku berjalan di tepi pantai, membiarkan deburan ombak yang tenang
membelai jemari kaki kita. Kaupegang tangan kiriku, kautautkan jemari tangan kananmu
ke jemari tangan kiriku. Getaran serupa setruman listrik segera menjalari
tubuhku. Aku masih saja merasakan setruman itu, meskipun kita sudah menjadi
suami istri sejak dua hari sebelumnya. Kita langsung berbulan madu ke The Bay Bali, meninggalkan sisa-sisa kerepotan acara resepsi. Aku masih tak menyangka,
seorang lelaki yang kutemui dalam sebuah perjalanan, ditakdirkan menjadi
suamiku.
Perkenalan
kita singkat saja. Kau bersama temanmu, dan aku bersama temanku. Semestinya
kedua teman kita yang berjodoh, setelah perkenalan mereka di jejaring sosial. Nyatanya
malah kita yang saling melempar pandang dan menyimpan nama masing-masing di
dalam hati. Tiba-tiba kau menghubungiku tiga hari kemudian, lalu semua berjalan
begitu saja sampai kau melamarku setelah tiga bulan perkenalan kita. Bila aku
mengingat kenangan itu, aku terpikir, barangkali kita butuh waktu lebih
lama lagi untuk penjajagan. Ya, barangkali….
Malam
harinya, masih di The Bay Bali, kau mengajakku makan malam di De Opera, yang
baru dibuka jam tiga sore. Sebuah klub pantai dan tempat makan malam eksklusif
dengan tiga restoran, dua diantaranya adalah restoran Jepang. Aku memang
menjauhi makan daging, tapi bukan seafood. Aku hanya menjauhi daging merah dan
menggemari makanan laut. Ini seperti surga untukku. Kau membawaku masuk ke
dalam De Opera yang didesain bak latar film fantasi, dominan warna putih dan
cokelat. Di mejaku telah terhidang tempura, nama lain dari udang goreng tepung.
Sedangkan kau memesan sushi. Sebuah kolam renang besar menjadi latar
pemandangan, tetapi saat itu aku hanya bisa memandang wajahmu yang juga tak
lepas memandang wajahku.
Kini
kusadari betapa kemesraan itu begitu kurindukan. Baru tiga tahun usia
pernikahan, tetapi aku merasa sudah banyak perubahan yang terjadi kepadaku. Kau
telah menghipnotisku dengan dominasimu. Aku tersadarkan, bahwa aku telah
kehilangan banyak hal dari diriku. Aku menjadi seperti bukan aku. Semua itu
karenamu.
“Apa
kau sudah siap memiliki anak,” tanyaku, malam itu.
“Hhh…
bisa gak kita gak ngomongin soal anak dulu? Aku lagi sibuk.” Matamu masih
memandang layar laptop, seolah kau bakal kehilangan separuh dunia bila
mengalihkan pandangan.
“Terus,
kapan kamu mau ngomongin soal itu?”
“Aku
kan udah bilang, lima tahun lagi deh. Sekarang ini kita nabung yang banyak dulu
untuk masa depan anak-anak kita kelak.”
“Iya,
kalau lima tahun lagi kita bisa punya anak. Kalau tidak? Usiaku tak bisa
menunggu.”
Akhirnya,
kau menatapku. Tatapanmu menakutkan. Kedua alis matamu tajam bak pedang yang
siap menebas leherku. Rahang kukuhmu seolah ingin melumatku. Pupil matamu seakan
ingin menenggelamkanku ke dalam pusarannya. Itu sudah yang kesekian kali aku
melihat ekspresi galakmu. Selalu, setiap aku menyinggung soal anak.
“Kita
pasti punya anak, tapi bukan sekarang. Aku masih sibuk dan belum mau diganggu
oleh anak-anak,” katamu dengan nada suara yang tegas, meskipun pelan.
Kau
egois! Aku berteriak marah. Iya, aku tahu, kita telah membuat kesepakatan untuk
punya anak setelah lima tahun pernikahan. Tapi, rasanya aku tidak sanggup
menunggu selama itu. Keluargaku, keluargamu, teman-teman, orang-orang di
sekitar, mempertanyakan mengapa aku belum hamil juga. Bukan, bukan aku yang tak
mau hamil, tapi KAU. Kau yang melarangku untuk hamil. Kau menyuruhku meminum pil KB. Tak ada guna aku membantah semua
tuduhan itu. Bahwa aku mungkin mandul. Selalu pihak perempuan yang disalahkan
bila belum memiliki anak.
Aku
juga sudah tidak sabar memomong bayi buah cinta kita. Naluri seorang perempuan
yang sudah menikah. Setiap kali melihat perempuan lain menggendong bayi, hatiku
terusik. Aku juga ingin punya bayi! Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dan
ketika aku menangis memikirkan itu, kusadari kau telah mengubah banyak hal dari
diriku. Aku yang dulu pemberani dan tegas, berubah menjadi bak kerbau dicolok
hidungnya. Sementara kau terus tenggelam oleh duniamu sendiri. Pekerjaanmu.
“Aku
tidak ingin seperti Adi. Dia kemarin pinjam uang untuk nyicil rumah. Bayangin. Anaknya
sudah tiga, dan dia baru mau beli rumah?!” kau bercerita dengan wajah
berapi-api. “Aku ingin anak kita nanti sudah punya jaminan masa depan.”
“Tapi,
kita kan sudah punya rumah,” sanggahku.
“Iya,
tapi masih jelek begini. Aku masih mau merenovasinya menjadi.. bla.. bla.. bla…”
Kau terus berbicara tentang menjadi orang tua yang mapan. Kau tak sedikit pun
mendengarkan pendapatku. Hingga bara itu tak dapat lagi kutahan.
“Aku
tak tahu ada masalah apa denganmu, tapi aku tak ingin menikah dengan lelaki
yang tak mau mempunyai anak!” teriakku, suatu malam. Entah keberanian macam apa
yang merasukiku hingga bisa bicara begitu keras di depanmu. Matamu membelalak. Barangkali
kau terkejut karena aku bisa menyalak juga.
“Kalau
kau tak mau menikah denganku, ya sudah, tidur sama laki-laki lain saja sana!”
kau balas berteriak. Kata-katamu menusuk jantungku. Kau, lelaki terlembut yang
pernah kutemui, mendadak menjadi serigala lapar. Aku yakin pernah memuji
suaranya yang lembut dan sikapmu yang sangat welas asih. Nyatanya, waktu tiga
tahun telah membongkar kedokmu.
“Baik.
Kita cerai,” putusku.
Airmataku
terjatuh lagi, hingga menyentuh bibir atasku. Rasanya asin seperti air laut di
depanku. Jadwal sidang perceraian kita sudah ditentukan. Benarkah aku siap untuk melepasmu? Kala
kemarahan menguasaiku, rasanya aku siap sekali. Aku siap menyongsong
kebebasanku. Tapi, mengapa kau kerap kali muncul di dalam mimpi-mimpiku setelah
kita pisah rumah? Aku sudah kembali ke rumah orang tuaku, dan kau masih tetap
di rumah yang kaubangun sendiri. Aku membayangkanmu. Kerinduan mencengkeramku
dengan ganas setelah dua bulan tak menyentuhmu. Aku ingin menatap sepasang
matamu yang sipit. Aku ingin membelai rambut lurusmu yang lebat dan dibelah
dua. Aku ingin menyusuri alis matamu yang hitam dengan jari telunjukku. Dan aku
ingin memeluk tubuh tegapmu sekuat mungkin. Aku merindukanmu.
“Apa
tidak bisa dipikirkan lagi soal perceraian kalian? Kalian masih muda. Wajar kalau
masih sering bertengkar,” Ibu menasihatiku.
“Dia
terlalu mengaturku, tapi tak mau diatur,” sahutku.
“Laki-laki
memang begitu, sudah sewajarnya kita menerima.”
“Mengapa
selalu perempuan yang menerima?” aku menatap sepasang mata Ibu, tajam. Ibu bergeming. Menyadari tak ada gunanya
menasihati anak gadisnya yang keras kepala.
Apakah
aku benar-benar sanggup kehilanganmu? Mengapa kau begitu mudah melepaskanku?
Kupikir kau akan mengalah setelah kulayangkan permintaan cerai itu, ternyata
kau justru mengabulkannya. Apakah diam-diam kau memiliki kekasih lain? Aku tak
bisa melenyapkan prasangka itu bila mengingat begitu besar daya pikatmu
terhadap gadis-gadis.
“Anak
itu pernah kelaparan di tengah malam buta. Dia memang gak sempat makan malam. Lebih
tepatnya lagi, dia gak kebagian makan malam. Saudaranya ada banyak, dan dia
harus berbagi makanan dengan saudara-saudaranya itu. Anak itu juga harus berjuang
keras untuk bisa sekolah. Syukurlah, Tuhan berpihak kepadanya. Dengan usahanya
sendiri, dia bisa sekolah tinggi. Tapi, setelah itu dia bertekad, jika kelak
dia menikah, dia akan menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya. Ayah yang bisa
memberikan kehidupan yang mapan untuk anak-anaknya.”
Sebuah
suara mengusik gendang telingaku. Aku takut untuk menoleh. Aku tahu betul suara
itu. Suara yang pelan tapi tegas, suaramu. Suara yang sudah lama kurindukan. Sudah
berapa lama kita tidak saling bicara dari hati ke hati? Aku tahu dari mana kau
berasal. Kau pernah menceritakannya kepadaku, ketika kita berbincang sambil
berpelukan. Kau punya tujuh saudara. Orang tuamu pedagang pakaian di Tanah
Abang yang bangkrut karena tokonya kebakaran. Masa kecilmu penuh penderitaan,
tapi justru penderitaan itulah yang menempamu hingga sesukses sekarang. Aku selalu
bangga denganmu. Aku selalu suka mendengar ceritamu.
“Apa
kau mau makan di Bebek Bengil bersamaku?” kau menoleh kepadaku, sementara
jantungku memompa darah lebih cepat. Sudah lama aku tidak makan daging, karena
kembali ke pola makan Food Combiningku yang ekstrim. Hm, sebenarnya masih boleh
makan daging di jam makan siang.
Bibirku
masih kelu untuk menjawab. Tanda tanya besar masih merajai kepalaku. Menjelang sidang
cerai, kau justru mengirimkanku tiket ke Bali dan menginap di Hotel Grand Hyaat
Nusa Dua yang masih berada di dalam kompleks The Bay Bali. Inikah maksudmu? Kau
ingin aku mengingat kembali kenangan kebahagiaan bulan madu kita?
“Apakah
itu alasan mengapa kau tak mau punya anak sekarang?” tanyaku, setelah lidahku
terbebas dari kebekuan.
Kau tak
menjawab, tapi aku tahu itu berarti iya. Kau kembali mengarahkan pandanganmu ke
laut. Aku melirik ke arahmu, ragu-ragu. Hingga kusadari bahwa tubuhmu masih
menjadi magnet buatku.
“Kau
akan menjadi ayah yang baik. Kau ayah yang bertanggungjawab. Ayahmu juga ayah
yang bertanggungjawab. Memang, kau pernah kelaparan dan harus berjuang untuk
bisa menjadi seperti sekarang. Bukankah itu berarti ayahmu berhasil mendidikmu, karena dia membuatmu berjuang?”
pertanyaanku seperti melayang terbawa angin pantai yang bertiup sepoi-sepoi. Kau
masih belum menolehku. Jika kau mengajakku kembali ke The Bay Bali, bolehkah
aku mengira bahwa kau masih menginginkanku?
Tiba-tiba,
kau menggenggam tanganku. Genggamanmu serupa aliran listrik yang mengejutkanku.
Sudah lama kita tidak bersentuhan. Wajar kan bila rasanya seperti baru pertama
bersentuhan?
“Kita
akan punya anak setelah pulang dari sini,” katamu dengan senyum jahil.
Aku
belum sempat meredakan emosi bahagiaku saat kau menggendongku dan membawaku ke
dalam arus pantai Nusa Dua yang tenang. Ini adalah rasa bahagia yang tak dapat
kuucapkan dengan kata-kata. Menyatu denganmu dalam pelukan ombak pantai Nusa
Dua di The Bay Bali.
aaaakkkhhhh,...makkkk, jadi pengen honey moon. Tulisanmu membawaku berimajinasi. Indah nian mak :)
ReplyDeleteSenangnya dikomentarin Mak Irma. Sama Mak, aku juga pengen bulan madu lagi euy.. :')
Deletemau deh honeymoon lagi kesana
ReplyDeleteAyo, Maak :D
Deleteromantis :D
ReplyDeletebaca ceritanya jadi ngebayangin tokoh2nya mak..
alurnya kereeen (y)
Makasih, Ranii udah nyempetin baca :-)
DeleteWaaah kudu begini ya cerpennya? Nyerah dah. nggak bisa sampe seromantis ini. sampe bulu kudukku merinding :D
ReplyDeleteAaah.. Mba Lina udah bikin juga kan cerpennya? :D
DeleteAisss... so sweet bingit ini mbak :)
ReplyDeleteMakasih udah baca ya :-)
Deletembaaak..bagus cerpennya, juga memenuhi kriteria lomba banget. Calon menang nih. Gutlak ya mbak ;)
ReplyDeleteAiiih... aaamiin, Mbak Eky :-)
Deletecerita yang menarik dan bagus mbak salam kenal mbak
ReplyDeleteSalam kenal juga, terima kasih sudah baca :-)
DeleteWaaaa...terhanyut...jadi beneran pengen hanimun lagi ke Bali...
ReplyDeleteSemoga menang ya mak :)
Duh, jadi pengen banget buat kesana..
ReplyDelete