Ebooks |
Teman Penulis: Udah pernah belum
kirim naskah ke penerbit X?
Penulis: Belum, habis ribet sih.
Harus pakai naskah printout.
Teman Penulis: Ikutan gak lomba
nulis novel di penerbit Y?
Penulis: Kayaknya enggak deh,
soalnya harus kirim tiga kopi naskah printoutnya. Boros kertas.
Iyap, dialog di atas adalah obrolan
ringan antara saya dan seorang teman tentang mengirim naskah ke sebuah penerbit.
Di antara kedua profesi tersebut, saya lebih dulu menekuni profesi sebagai
penulis buku. Kira-kira sudah hampir sepuluh tahun malang melintang di dunia
perbukuan. Saya merasakan betul suka duka mengirim naskah dari bentuk printout sampai softcopy. Yang paling menderita tentu saja kalau harus mengirim
naskah dalam bentuk printout (hardcopy).
Dulu, saya rajin mengirim naskah hardcopy ke penerbit, sampai
mengumpulkan banyak naskah yang ditolak dan ujung-ujungnya saya jual ke
pengumpul kertas bekas. Rugi sekali mengirim naskah printout, apalagi kalau naskah buku. Bisa menghabiskan ratusan
kertas dan tinta printer. Bayangkan jika sampai sekarang saya masih melakukan
hal itu? Berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan
kertas para penulis? Kini, saya suka pilih-pilih penerbit. Kalau penerbit
tersebut mengharuskan naskah hardcopy,
saya akan cari penerbit lain yang membolehkan pengiriman naskah via surat
elektronik.
Tahun lalu, saya masih ikut lomba
novel yang mensyaratkan pengiriman naskah hardcopy.
Saya tahu sih, itu berguna untuk memudahkan penjurian. Puyeng juga kan baca
naskah lomba di laptop? Tapi tahun ini, saya tidak akan memaksakan ikut, karena
selain modalnya besar, juga karena boros kertas. Coba ya, kalau satu naskah
novel itu berjumlah 200 halaman. Lalu harus dikirim tiga kopiannya, berarti
saya harus mengirim 600 halaman naskah! Berapa kertas yang terbuang kalau
naskah itu tidak menang dan tidak punya peluang diterbitkan pula? Saya harus
merevisinya lagi, kan? Artinya, naskah itu tidak ada gunanya lagi. Kertas
sebanyak 600 halaman itu pun terbuang percuma.
Tak cukupkah bencana alam yang
sudah sering terjadi di negara kita ini guna menyadarkan kepedulian kita
terhadap lingkungan? Ada banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai wujud cinta
lingkungan, salah satunya adalah menghemat pemakaian kertas. Profesi penulis,
sudah tentu sulit terhindarkan dari kertas. Apalagi kalau tulisan itu sudah
menjelma menjadi buku. Teknologi telah berkembang dengan pesat. Pengiriman
naskah ke penerbit bisa melalui surat elektronik. Ada editor penerbit yang
beralasan bahwa dia baru mau membaca naskah softcopy
kalau sudah punya Tablet. Duh, berapa sih harga Tablet saat ini? Harga gadget
sudah semakin ramah dengan kantong. Setidaknya lebih baik membeli Tablet
daripada menebang jutaan pohon untuk dibuat kertas.
Lihatlah, buku-buku koleksi saya
di lemari buku. Kertasnya sudah semakin menguning. Saya bahkan berpikir untuk
menjual buku-buku itu daripada nanti tulisannya sudah tidak bisa dibaca karena
kertasnya semakin tua. Bandingkan dengan ebook
(buku elektronik). Kita bisa membacanya kapan saja. Syukurlah, salah satu novel
saya bahkan sudah dipasarkan dalam bentuk ebook.
Inisiatif dari penerbitnya (atau insting bisnis juga kali ya), membuat mereka menjual buku-buku terbitannya
dalam bentuk ebook (selain cetak).
Penjualan buku dalam bentuk ebook ini
sebenarnya lebih menguntungkan, diantaranya:
Hemat kertas, karena sama sekali
tidak membutuhkan kertas untuk membaca ebook.
Cukup sediakan Tablet atau Smartphone yang bisa memuat fitur ebook. Di masyarakat modern saat ini,
saya rasa harga smartphone sudah terjangkau. Hemat kertas ini penting karena
bisa menyelamatkan penebangan pohon yang tak terkendali.
Dapat diedarkan sebanyak mungkin
dalam waktu cepat. Buku cetak juga bisa diedarkan sebanyak mungkin, tetapi
penerbit harus menyediakan modal yang sangat besar dan berisiko tinggi bila
ingin mencetak buku dalam jumlah banyak. Ironisnya, tidak banyak penulis yang
dapat menjual bukunya hingga jutaan eksemplar. Sebagian besar terkena kutukan
“dua ribu eksemplar.” Penerbit biasanya hanya mencetak sebanyak dua ribu
eksemplar untuk seorang penulis pemula, itupun tidak habis semuanya di pasaran.
Kalau ebook, berapa pun
permintaannya, penerbit dapat dengan cepat menyediakan tanpa risiko kehilangan
modal yang besar.
Dapat menjangkau pembaca yang
lebih luas. Untuk penulis lokal, buku cetaknya hanya bisa diedarkan di
Indonesia. Kalau mau dikirim ke luar negeri, ongkos kirimnya pasti mahal.
Sedangkan ebook bisa dibaca oleh
pembaca yang berada di luar negeri tanpa ongkos kirim. Nah, ini berarti nama
penulis akan lebih terdengar hingga ke luar negeri.
Tidak membutuhkan tempat yang
banyak untuk menyimpannya, tak seperti buku cetak yang memerlukan lemari buku,
tempat yang luas, atau kardus-kardus. Ribuan ebook bisa disimpan dalam satu gadget.
Tentu saja ada kekurangan dari
ebook juga, yaitu bila baterai smartphone atau tabletnya habis dan sedang mati
listrik, jadi tidak bisa baca deh. Sedangkan kalau sedang mati listrik, saya
suka mengisi waktu dengan membaca buku versi cetak, hehehe…. Di balik kelebihan
dan kekurangannya, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menjaga
lingkungan, salah satunya dengan menghemat pemakaian kertas. Sebagai penulis,
saya menyiasatinya dengan hanya mengirimkan file naskah dalam bentuk softcopy
atau digital. Beberapa penulis merisaukan terjadinya pencurian ide atau bahkan
naskah secara keseluruhan apabila akun emailnya dihack orang lain. Nah, kalau
itu terserah si penulis. Saya pribadi masih merasa aman menggunakan email untuk
mengirim naskah.
Kalau kita selalu ketakutan naskah dicuri karena mengirim lewat surel (email), sebenarnya itu ketakutan yang bisa juga terjadi kalau naskah dikirim dalam bentuk hardcopy. Kalau oknum penerbit ingi mencuri, mereka tetap akan mencuri sekalipun naskah dikirim dalam bentuk printout. Apa susahnya sih mengetik ulang? Kalau takut melulu, kapan mau kirim naskaaah? Hilangkan ketakutan itu. Nulis, kirim, doa, pasrah (tawakal).
Sekalian mau promo, alhamdulillah dua buku saya sudah dibuat ebooknya. Mudah-mudahan yang lain juga begitu, karena belum semua penerbit memasarkan bukunya dalam versi ebook. Nah, ini link ebook untuk dua buku saya (sambil ngarep ada yang minat beli). Apalagi kalau buku versi cetaknya udah susah didapetin kan, mending beli ebooknya.
Versi cetak tersedia di Grazera |
aku belum pernah kirim naskah via email, belum pernah punya buku juga soalnya mbak :)
ReplyDeletexixixi... bisa aja Mak Lidya ini..
Deleteiya, bun. kayak skripsi aja ya, kalo salah ketik apalagi. harus ngeprint2 ulang, belum tentu diterima. memang bagusnya ebook pun bisa menjangkau yang jauh dari kota besar, tetep bisa baca buku terbitan terbaru.
ReplyDeleteIya tuh ya, skripsi juga boros kertas hehehe...
DeleteSetuju! Walaupun aku blm pernah ngirim naskah juga sih,but I'm going to (janji sama bu kepsek) n kalo waktunya tiba aku pun akan pilih via email ;)
ReplyDeleteAamiin.. ayo kapan kirim naskahnya? :D
Deletemakasih infonya mak.. tapi saya kadang masih suka penasaran, kalau liat-liat ebook (di play store) harganya ga jauh beda dengan versi cetak, padahal kalo dipikir ongkos produksinya lebih sedikit ya.. adakah penjelasannya mak? *makasih*
ReplyDeleteGak tau saya penjelasannya kenapa mahal, mak. Tapi klo ebook saya yg ada di atas itu lebih murah daripada versi cetaknya.
DeleteTapi Kalo baca enak yang cetak2 kadang2 Kalo cut tinggal lipet bukunya hehe. Ebook aku rebutan iPad ma anak. Setuju kirim naskah via email..hemat Kertas:)
ReplyDeleteBeli lagi IPadnya, Mak :D
Deletewah,,10 tahun ya...bukan waktu yang sedikit itu,,pasti sudah melalui banyak perjuangan :)
ReplyDelete