“Ini nih yang
bikin aku pengen cepet nikah, biar ada yang bisa nganterin ke mana-mana!”
“Andai udah
punya suami, aku gak perlu mikirin soal kantong kosong lagi, deh….”
“Kapan ya aku
cepat nikah? Biar ada yang bawa aku pergi dari rumah orang tuaku ini. Lama-lama
kesel juga diatur melulu sama orang tua!”
Bla..bla…bla….
Saya pernah
berada di masa itu. Masa-masa galau karena belum menikah. Ya, sekitar 7 sampai
10 tahun yang lalu. Saya ingin cepat menikah, dengan berbagai alasan. Saya
berharap bisa menikah di usia 25 tahun, karena usia itu menurut saya adalah
usia yang ideal untuk menikah. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya. Saya
benar-benar ketemu jodoh di usia 25 tahun dan menikah dua minggu setelah ulang
tahun ke-25.
Memang,
pernikahan itu indah sekali. Saya mengalami keajaiban yang luar biasa. FYI, saya tidak pernah berdekatan dengan
lelaki non mahram sejak berhijrah. Setelah menikah, tentu saja ada getar-getar
aneh yang saya rasakan ketika berdekatan dengan pangeran impian. Seluruh
kulitnya seperti mengandung aliran listrik yang membuat bulu kuduk saya
berdiri. Saya selalu ingin tersenyum bila berhadapan dengannya. Yap, menikah
itu memang membahagiakan. Wajarlah, kalau banyak lajang yang ingin menikah.
Saya masih
ingat satu pesan yang disampaikan oleh teman saya, yang hingga usianya 40
tahun, belum juga menikah. Walaupun belum menikah, dia sering menjadi tempat
curhat teman-temannya yang sudah menikah. Dia menyimpulkan begini, “kalau mau
nikah, niatnya cukup karena Allah saja. Jangan jadikan pernikahan sebagai solusi
dari permasalahanmu. Pernikahan itu justru masalah tambahan.”
Menikah adalah
masalah? WHAT?! Kok gak seperti yang
disampaikan penulis-penulis buku pernikahan, ya? Sebagai contoh, saya ambil
dari pengalaman sendiri ya. Kalau sudah membaca novel saya yang berjudul, “Cinderella
Syndrome,” di sana ada tokoh Violet yang tidak bisa pergi jauh-jauh kalau gak
ada yang nganterin. Violet suka nyasar. Kalau mau pergi, dia harus diantar mama
atau ayahnya. Sebenarnya, kelemahan Violet itu adalah kelemahan saya juga! Yap,
Violet itu sedikit banyak mengambil sifat saya hehehe….. Saya pun pernah
bercita-cita menikah supaya ada bodyguard
yang bisa nganterin sama ke mana-mana. Siapa lagi kalau bukan suami?
Ini satu
kejadian yang tidak sesuai dengan impian. Beberapa minggu setelah menikah, saya
diajak oleh salah satu penerbit yang
menerbitkan buku saya, untuk talkshow bersama penulis-penulis lain dari
penerbit yang bersangkutan. Saya berharap suami mau mengantarkan. Apa daya, dia
sedang tidak enak badan. Sebenarnya, dia
juga masih tahap adaptasi menikah dengan seorang penulis yang ketika itu sering
diajak talkshow. Dia enggan untuk menemani saya, karena tidak suka keramaian,
apalagi kalau jadi pusat perhatian. Saya pun minta ijin untuk jalan sendiri,
walau deg-degan juga. Untunglah tempatnya gak jauh, hanya sekali naik bus. Jadi
bisalah jalan sendiri.
Talkshow
memakan waktu hampir seharian. Sorenya, baru deh saya bisa pulang. Sampai di
rumah, saya dapati raut wajah cemberut suami saya. Hanya satu kalimat yang
terlontar dari mulutnya, “suami lagi sakit kok ditinggalin….”
Duuuuh…
serbasalah jadinya. Rasanya saya sudah ijin, ternyata masih menjadi ganjalan di
hatinya. Bukan itu saja. Masa adaptasi kami memang cukup sulit, karena suami
benar-benar tidak suka keramaian. Saya pernah membayangkan betapa asyiknya
mendatangi undangan pernikahan atau apa pun juga bersama suami. Apalagi
undangan pernikahan, gak gigit jari lagi dong karena udah ada gandengan. Eh,
ternyata suami saya itu paling anti datang ke undangan pernikahan. Kalaupun itu
undangan dari temannya, dia maunya datang sendiri aja karena malu bawa-bawa
istri. Istri mana yang gak sebel ya? Tapi, alasan suami saya sederhana saja.
Dia tidak mau jadi fokus perhatian.
Saya juga
pernah datang ke kondangan (waktu masih single)
dengan seorang penulis yang sudah menikah. Dia pun datang tanpa membawa suami
dan anak-anaknya! Tentu berbeda sekali dengan bayangan para single. Kalau sudah nikah, ke mana-mana
pasti bawa keluarga. Tapi dia enjoy
saja datang sendiri, karena sudah terbiasa. Begitulah, yang menikah, belum
tentu ke mana-mana berdua.
Butuh waktu
lama untuk menyatukan dua hati. Sekarang, suami saya sudah mau diajak ke
undangan-undangan dan acara keluarga. Kadang-kadang, dia hanya mau mengantarkan
saja, tapi tidak mau ikut masuk ke dalam. Setelah menikah, saya sudah tidak
bisa lagi egois. Tidak bisa hanya memikirkan kepentingan saya. Setelah punya
anak-anak, waktu saya terbagi lagi: untuk suami dan anak-anak. Bahkan, saya
lebih banyak mengorbankan waktu pribadi.
“Kalau sudah
nikah, aku kan gak perlu minta ijin lagi sama orang tua kalau mau ke mana-mana….”
Iya, tapi harus
minta ijin suami! Menikah itu mengalihkan tanggungjawab orang tua ke suami. Yang
saya rasakan, kebebasan saya justru semakin sempit setelah menikah. Orang
tua paling-paling hanya melarang pergi
jauh-jauh, tapi suami dan anak-anak? Untuk melakukan kegiatan di dalam rumah
pun, harus setelah urusan mereka selesai, hehehe…..
Single itu kriuk…. Percaya enggak,
kadang-kadang saya merindukan masa-masa gadis. Saya bisa menyendiri di dalam
kamar, menulis atau membaca buku. Tidak seperti sekarang ini. Saya baru bisa
melakukan hobi tersebut setelah anak-anak tidur. Saya tidak bisa mengejar deadline dengan cepat.
Apakah saya menyesal
telah menikah? Oh, tentu saja tidaaak. Saya bersyukur telah melalui masa itu. Coba
kalau saya belum menikah, pasti sampai hari ini masih galau mikirin malam
mingguan sama siapa, hehehe…. Saya bahagia telah menikah, tetapi menjadi lajang
bukan masalah. Status single berarti
kesempatan untuk memperbaiki diri supaya dapat pasangan yang sama baiknya, melakukan
banyak aktivitas bermanfaat, bergabung dengan komunitas positif dan memberikan
sumbangsih lebih banyak, punya banyak waktu untuk melakukan hobi, dan banyak
lagi….
Single itu kriuk,
because so many things can do!
qiqiqi.. aku pernah kepikiran alasan ke3, bun :D
ReplyDeleteKadang saya mikir, enak banget itu yang udah merit. Di kesempatan lain saya malah bersyukur dengan keadaan yg masih lajang bisa ini itu lebih leluasa. Bukan berarti ga pengen merit lho, malah udah pengen banget hehehe
ReplyDeletekriuk kaya krupuk ya mbak
ReplyDeletesebenarnya mo single mo double tergantung bagaimana kita mensyukurinya ya mba:)
ReplyDeleteiya mak.. single itu kriuk banget malah :)
ReplyDeleteemang nggak menyesal ya mak kalau udah menikah,,,senengnya,,,
ReplyDeleteEA EAAAA :D baca ini jadi gimanaaaa gitu
ReplyDeleteyg udah double (menikah) semoga makin kriuk doublenya :D
Aku belum nikah, pacaran juga belum... jadi kriuknya ekstra banget dong :D
ReplyDelete@asysyifaahs
http://bit.ly/kakbiblog
single itu kriuk-kriuk renyah yaaa... setuju bgt sm "punya banyak waktu untuk melakukan hobi" :))
ReplyDelete