Buku yang terbit di tahun 2013 |
“Aku nanti mau jadi wanita karir, ah, kalau sudah
lulus sekolah,” ucapan temanku, belasan tahun lalu, tiba-tiba terlintas kembali
dalam ingatan. Sementara dia bercita-cita ingin menjadi wanita karir, aku
justru memancangkan niat dalam hati untuk menjadi ibu rumah tangga dan penulis.
Entahlah mengapa bisa begitu. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga karena
membayangkan aktivitas di rumah, mengantar suami dan anak-anak yang akan berangkat ke kantor dan sekolah
sampai depan pintu rumah, memasak makanan untuk mereka, menunggu kepulangan
mereka, bahkan hal-hal kecil semacam melepaskan dasi suami dan membantu menaruh
tas kerjanya.
Untuk mengisi waktu luang, aku akan menulis. Ya,
menulis. Aku sudah suka menulis sejak SD dan merasa yakin bahwa itu akan
menjadi profesiku kelak. Bukankah menjadi ibu rumah tangga dan penulis itu
adalah perpaduan yang tepat? Aku bisa menulis dari rumah, tak perlu berangkat
ke kantor. Aku juga membayangkan buku-bukuku dibaca banyak orang dan namaku
dikenang oleh mereka. Ah, betapa indahnya menjadi ibu rumah tangga yang penulis.
Impianku terus hidup dalam hatiku. Meskipun aku
menempuh pendidikan di fakultas ekonomi, aku justru sering berkumpul dengan mahasiswa
dari fakultas sastra. Aku semakin sering mengirimkan tulisan ke majalah dan
dimuat. Honornya bisa untuk membeli buku kuliah atau sekadar fotokopi. Aku
semakin menikmati dunia tulis-menulis. Dunia yang sangat menyenangkan. Aku juga
mulai berani mengirimkan naskah ke penerbit. Ditolak? Kirim lagi, kirim terus,
sampai akhirnya novel pertamaku terbit. Luar biasa! Betapa senang hatiku.
Bukan tanpa aral melintang untuk mewujudkan
impianku. Orang tuaku sempat melarangku menjadi penulis. Kalaupun aku masih
ingin tetap menulis, aku harus punya pekerjaan lain yang lebih tetap dan
menjanjikan. Menulis itu hanya pekerjaan sampingan. Aku pun bekerja di tempat
yang tidak jauh dari hobiku itu. Aku menjadi editor yunior di sebuah penerbit.
Akan tetapi, aku masih memimpikan menjadi ibu rumah tangga sekaligus penulis.
Aku tidak suka pekerjaan mengedit naskah walaupun masih berdekatan dengan
profesi menulis. Aku lebih suka mengedit naskah sendiri daripada orang lain.
Aku juga tidak suka diperintah-perintah orang lain atau menjalani deadline yang
ketat. Aku ingin melakukan pekerjaan sesuai suasana hati.
Ketika mencari jodoh, aku berharap mendapatkan
suami yang akan mendukungku menjadi ibu rumah tangga. Di dunia materialistis
seperti sekarang ini, tak sedikit lelaki yang ingin istrinya kelak juga bekerja
mencari nafkah. Aku pun sempat akan berjodoh dengan lelaki semacam itu. Ketika
dia membaca keinginanku untuk menjadi ibu rumah tangga, dia mengundurkan niatnya untuk menjajaki
perjodohan kami. Aku tidak kecewa, karena kami belum bertemu muka. Siapa tahu
dia jelek, kan? Jadi, buat apa menyesal telah mencantumkan keinginan itu? Aku
mencoba peruntungan dengan calon yang lain.
Kali ini, aku beruntung. Calon suamiku ternyata
juga ingin istrinya lebih mengutamakan pekerjaan rumah tangga dibandingkan
berkarier. Alhamdulillah, kami berjodoh. Sebulan setelah menikah, aku berhenti
bekerja kantoran dan menggapai impianku sebagai ibu rumah tangga yang penulis.
Kenyataannya, setelah aku mulai hamil dan memiliki anak-anak, pekerjaan menulis
tidak lagi memiliki waktu yang memadai. Aku harus mengasuh dua bayi karena usia
kedua anakku hanya terpaut setahun. Bahkan aku menjadi berhenti menulis selama
tiga tahun.
Ketika anak keduaku sudah berusia 2,5 tahun, aku
coba memulai kembali karir menulisku meski terseok-seok. Aku curi-curi waktu
menulis di tengah kegiatan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Memang
tidak mudah, terutama menata pikiran dan konsentrasi. Bayangkan saja, aku harus
menulis sambil melayani kebutuhan anak-anak. Ketika sedang sangat
berkonsentrasi menulis, tiba-tiba anak-anak menangis minta makan, susu, pup,
buang air kecil, dan sebagainya. Aku harus bisa menahan emosi dan mengelola
waktu.
Satu per satu bukuku pun kembali menghiasi toko
buku. Walaupun demikian, sampai hari ini aku masih harus berkompromi antara
pekerjaan mengasuh anak dan menulis. Sering kali aku tertinggal deadline karena
anak-anak tiba-tiba sakit dan menuntut perhatian penuh. Aku tak berharap
muluk-muluk, masih bisa menulis saja sudah bagus karena begitu terbatasnya
waktu yang ada. Waktuku telah dikuasai oleh anak-anak, sehingga aku hanya bisa
menulis kalau mereka benar-benar telah memberikanku kesempatan.
Aku masih menyimpan mimpi ketika buku-bukuku
dibaca dan diapresiasi oleh banyak orang. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi
seorang penulis selain bukunya mendapatkan tanggapan positif di masyarakat. Aku
masih memimpikan menjadi penulis yang konsisten berkarya. Aku berterimakasih
kepada suamiku yang telah berperan dalam tercapainya sebagian mimpiku.
Menjalani hobi menulis dengan santai sambil mengasuh anak-anak, tidak
bergantung kepada royalti karena suamiku sudah memenuhi tanggungjawabnya
memberikan nafkah. Masih ada mimpi yang lebih besar, yang masih terus kujajaki,
salah satunya adalah membuat penerbitan sendiri. Semoga waktu memberiku
kesempatan untuk menggapai mimpi-mimpi besarku itu.
akhirnya sekarang jadi penlis,semoga mimpi2 indahnya terwujud mbk..aminn^^
ReplyDeleteAlhamdullillah, Mba Hanna... yuk, menggapai mimpi ^^
DeleteAku doakan impiannya tercapai mbak
ReplyDelete