Dari mana
mendapatkan ide menulis? Pertanyaan ini sering saya dapatkan dari calon
penulis. Ide menulis bisa datang dari mana saja, termasuk dari kisah orang
lain. Saya sudah sering menyelipkan adegan-adegan yang diambil dari pengalaman
orang lain ke dalam novel-novel saya, tapi baru kali ini saya memasukkan nyaris
80% pengalaman pribadi seorang teman ke dalam novel saya. Ceritanya sekitar
tiga tahun lalu, seorang teman kuliah menghubungi saya setelah lama tidak
kontak. Dia pernah beberapa kali membeli novel saya, bahkan mengikuti
perjalanan karir kepenulisan saya. Ketika masih kuliah, dia menyaksikan sendiri
bagaimana saya mengetik dan mengeprint naskah di tempat rental komputer. Rupanya
dia memendam keinginan agar kisahnya dinovelkan oleh saya.
Kisah tentang
pencarian jodoh sebenarnya biasa ya, apalagi bagi para lajang yang merasakan
galau karena belum mendapatkan jodoh. Saya sudah sering mendengarkan curhatan
teman-teman yang masih lajang, bahkan ada yang minta dicarikan jodoh, tetapi
baru kali ini ada yang minta kisahnya dinovelkan. Awalnya saya tidak begitu bersemangat menuliskannya, karena
kisahnya biasa saja. Namanya juga gadis belum menikah di usia yang matang,
klise saja: dicemooh orang-orang di sekitarnya, berulang kali gagal mendapatkan
jodoh, dan lain sebagainya. Saya tetap menuliskan kisahnya, meski tidak tahu
hendak dikirimkan ke mana ya naskahnya nanti.
Bagaimana
caranya menuliskan pengalaman orang lain ke dalam novel kita? Berhubung teman
saya itu yang meminta kisahnya dinovelkan, jadi dia menceritakan semuanya
secara lengkap. Bahkan, dia juga yang menentukan endingnya, hehehe…. Namun,
karena ini novel, saya tidakmenuliskannya persis sama seperti yang diceritakan.
Harus ada tambahan imajinasi dari saya. Termasuk juga karakter si tokoh dan
kejadian-kejadian di dalamnya. Teman saya itu tinggal di Semarang, sedangkan
saya di Jakarta. Komunikasi berlangsung memalui inbox. Menuliskan novel ini
mudah saja, saking jalan ceritanya sudah ditentukan oleh teman saya.
Mengapa dia
tidak menuliskannya sendiri? Inilah untungnya, tidak semua orang bisa
mengeluarkan pikirannya ke dalam tulisan, lho. Walaupun sebenarnya itu bisa
dipelajari, tapi ada saja orang yang kesulitan. Dia mempercayakan ceritanya
kepada saya, bahkan membolehkan untuk dipublikasikan. Bahkan dia berharap
sekali novel itu kelak dipublikasikan. Setelah jadi, saya mengirimkan novel ini
ke sebuah majalah untuk rubrik cerita bersambung (karena jumlah halamannya
sedikit). Tidak dimuat, tentu saja, karena belakangan rubrik cerbung itu
dihapuskan, hahaha….. begitulah, akhirnya naskah ini terpendam lama di dalam
komputer saya. Hingga di akhir tahun 2012 ini, saya memutuskan untuk
merevisinya dan mengirimkannya ke sebuah penerbit.
Yap, saya harus
menambah jumlah halamannya berpuluh-puluh lagi untuk layak disebut novel. Dan karena
akan dikirim ke penerbit Islam, saya harus memasukkan banyak unsur islaminya.
Alhamdulillah, ternyata jodoh naskah ini tidak sulit. Langsung diterima dengan
revisi. Saya harus menguatkan setting novelnya, konflik yang ada, dan beberapa
revisi kecil.
Konflik. Nah,
ini dia. Sebenarnya konflik dalam kehidupan sehari-hari itu lebih ringan
daripada di dalam novel yang benar-benar fiksi. Di dalam novel, kita bisa
dapati seseorang begitu menderitanya: kecelakaan parah, keluarga meninggal mendadak,
dibunuh oleh orang dekat, dan lain-lain. Memang sih, di berita-berita kriminal
kita sering membaca kejadian-kejadian mengerikan, tetapi porsentasenya sedikit
dibandingkan kehidupan normal di sekeliling kita. Begitu juga kisah teman saya
ini, tidak begitu luar biasa. Konfliknya datar, begitu kata sang editor.
Otomatis, saya harus menambahkan lagi konfliknya agar tajam, dan itu berarti
memasukkan unsur imajinatif.
Kalau teman
saya membaca novel ini, dia akan menyadari betapa kisahnya sudah berbeda jauh
dari yang dia ceritakan kepada saya, hahaha… Ya itulah bedanya novel dengan
buku biografi. Di dalam buku biografi, yang ada adalah kenyataan. Di dalam
novel, ada percampuran kenyataan dan fiksi. Setidaknya novel ini jadi lebih berisi
daripada draft awalnya. Jadi, sebenarnya novel ini bercerita tentang apa?
Berikut
sinopsisnya:
Setiana risau akan jodohnya. Di usia 29
tahun, dia belum juga menikah, sementara perjodohan-perjodohan yang dijalaninya
selalu mengalami kegagalan. Orang-orang di sekitarnya sudah banyak mencemooh:
keluarga, teman-teman kantor, dan tetangga sebelah rumah. Dia masih berharap
bisa berjodoh dengan Edo, teman kuliahnya yang sudah terpisah pulau. Apalagi
tiba-tiba Edo menghubunginya ketika dia sedang risau memikirkan jodoh. Akan
tetapi, kenyataan pahit harus diterimanya manakala Edo mengabarkan bahwa dia
sudah menikah. Lalu, dengan siapa jodoh
Setiana berlabuh?
Curahan hati
Setiana:
Semakin banyak saja temanku yang
menikah. Mungkin hanya akan menyisakanku seorang. Bukan hanya sendiri gundah
ini kurasakan. Namun juga orang-orang di sekelilingku yang peduli kepadaku.
Bukan aku hendak menunda pernikahan, tetapi memang begini adanya. Semua lelaki
yang dikenalkan padaku, mundur teratur setelah
bertemu denganku. Apakah aku tidak pantas menjadi istri salah seorang di antara
kalian, Para Lelaki?
Menikah. Ah, mengapa kata itu
semakin memberatkan semua indra tubuhku dari hari ke hari? Aku juga ingin cepat
menikah, tetapi entah mengapa jalan ke sana begitu jauh.
Aku masih ingat kapan terakhir
kali menatap iri pada gadis-gadis bertubuh molek yang berseliweran di
sekitarku. Lalu, mengandaikan bilamana aku dikaruniai tubuh seindah mereka.
Yang tinggi, ramping, berkulit putih, berhidung mancung, dan bersuara
lemah lembut. Yang selalu menjadi buruan para lelaki. Mengapa fisik masih
menjadi faktor utama memilih jodoh? Ah, tak bisa kumungkiri aku
pun tertarik kepada lelaki yang memiliki fisik menarik. Itu hal yang manusiawi,
aku sadar itu. Salahkah aku mengharapkan seorang lelaki yang menerimaku apa
adanya?
Quanta, Elex Media (Desember, 2013) |
Saya pernah membaca novel Kulepas Dia dalam Dekapan karya Agustrijanto yang konfliknya kuat. Katanya juga dari kisah nyata ya mbak?
ReplyDeletesaya belum baca novel itu, mba :-)
Deletewaah menarik ini, karena saya suka mengamati kehidupan orang...rupanya bisa dicuplik jadi novel ya.
ReplyDeleteBisa, Bun :-)
DeleteWaaah udah terbit aja lagi. Yang Jakarta Fankfrut aja blm beli. Duh kok bisa ya punya stok draft novel begitu. Keren. Jadi kalau mau kirim tinggal revisi.
ReplyDeleteMasih ada banyak stok naskahku, Mba Lina. Nunggu direvisi semua :D
DeleteKeren mbak Leyla ini, karyanya sering saya lihat di toko buku hehe.
ReplyDeleteAlhamdulillah, Mba :-)
DeleteSubhanallohhh..bagus banget ini. Kayaknya hampir semua wanita mengalaminya, ketika dia belum menemukan jodoh....
ReplyDeleteBacaan bermutu, gak bisa dilewatkan begitu saja, semoga saya punya kesempatan membacanya..aamiin
Aamiin.. makasih, Mba Pujia :-)
Deleteheummm,,,,jempol banyakkkk,dari yang sederhana bisa jadi luar biasa ya ditangan penulis keren^^.sukses buat bukunya mbk...
ReplyDeleteAiiih... pinjem jempol siapa tuuh? Makasih, Mba Hanna :-)
Deleteaku mau juga ah nulisin kisah nyata menjadi novel :D
ReplyDeleteMbak Leyla produktif banget! Baru aja ngeluarin Frankfurt 2 jakarta udah ada yang baru lagi ^^
ReplyDeletewah bagus juga ceritanya, salam kenal ya mbak
ReplyDeletefirst visit, read the article while carrying android full version games FREE download
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHebat ya bunda bisa berkarya sambil tetap mengurus rumah, pengen kaya mba
ReplyDeleteAyoo.. Lutvia bisaaa...
DeleteMak Leyla ini keren sangaath! saya termotivasi lebih banyak menulis melihat status fb dan karya2 mak Leyla ^.^
ReplyDeleteKisahnya mirip kakaku ih :D kemarin saya liat novel duet mak yang frankurt itu, kumasukin list beli bulan ini insya Allah ^.^
Sukses yah, maak
Alhamdulillah, makasih Mak Ranny. Aaamiin... doa yg sama utkmu ya :D
DeleteIde ternyata ada dimana-mana ya mbak. Bagi seorang penulis produktif spt mbak, curhatan seseorang bisa jadi sebuah novel.
ReplyDeleteKeren sekali.
kalau sudah terbiasa menulis bisa ambil ide dari manapun ya mbak
ReplyDelete