Wednesday, August 7, 2013

Minta Buku Gratisnya Doong...

Kemarin Annisah Rasbell mengirim inbox, mau membeli novel kami Frankfurt to Jakarta. Perjanjiannya, penulis akan mendapatkan 5 eksemplar bukti terbit, yang berarti masing-masing 2 dan 3 eksemplar karena ini novel duet. Yang membuat saya miris, Icha mau membeli novelnya sendiri untuk dibagi-bagikan ke teman-temannya yang minta gratisan. "Habis gimana yah, Mba, gak enak kalo ditolak, hiks..." Saya termangu. Icha bisa bersedih gitu ya, kalo saya sih cuek saja gak ngasih gratisan ke orang yang minta. Saudara sendiri aja saya cuekin kok. Apalagi cara mintanya enak banget, "ada buku baru ya? Kirim ke rumah ya, di rumah gak ada buku bacaan." Jiyaaah.. kirim ke rumah, tapi gak dibahas biayanya. Masih mending minta bukunya, ongkos kirimnya? Biar saudara, tapi kan rumahnya jauh. Gak saya gubris tuh permintaannya. Berhubung Icha baru pertama kalinya menerbitkan novel, jadi bagi dia mungkin lebih baik novelnya ada yang baca dan komentari, meskipun dia harus membagi-bagikannya secara gratis. 


Saya memahami orang-orang yang belum tahu dunia penerbitan buku, pasti berpikir penulis bisa dengan mudahnya membagi-bagikan bukunya. Padahal, selama bertahun-tahun menerbitkan buku, maksimal bukti terbit yang didapatkan oleh penulis itu berjumlah 10 eksemplar. Dan 2 sampai 3 eksemplar setiap cetak ulang. Tapi, untuk bisa cetak ulang itulah yang tak mudah. Dari belasan buku saya, hanya novel "Oke, Kita Bersaing" dan buku "Taaruf, Keren" yang cetak ulang. Selebihnya tidak. Biasanya, bukti terbit itu saya manfaatkan untuk barter buku dengan teman sesama penulis dan promosi semacam giveaway atau diberikan ke teman penulis yang mau meresensikannya di media massa (tak hanya di blog). Jadi, ada gratis, ada usaha. Saya pernah membagikan buku gratis tanpa ada usaha dari penerima, yaitu ketika saya mendapatkan ratusan eksemplar buku yang diretur oleh penerbit karena tidak laku. Itu artinya, saya gak dapat royalti apa pun. Kalo buku gak laku gitu, ya sedih juga. Penerbit juga kan sudah mengeluarkan uang untuk mencetak  buku itu. 

Lebih miris lagi kalau kita mengaku sebagai penulis dakwah. Pernah ada yang ngotot banget, bilang, "kalo nulis untuk dakwah itu mestinya ya bukunya gratis dong. Dakwah kok bayar." Sejak itu, saya tak mau lagi menyebut diri sebagai penulis dakwah. Apa boleh buat, buku saya kan diterbitkan oleh tangan kedua yang berorientasi bisnis, masa saya nyuruh penerbit untuk membagi-bagikan buku saya secara gratis? Mudah-mudahan saja saya dijadikan orang kaya supaya kelak bisa menerbitkan buku sendiri lalu membagikannya secara gratis. Di sini, saya hanya berusaha menulis yang baik, berharap semoga setelah membaca buku saya, pembaca bisa mendapatkan inspirasi kebaikan, dan mudah-mudahan saja pahalanya mengalir untuk saya. Daripada saya nulis yang buruk dan mendorong orang untuk berbuat buruk? Dosanya juga mengalir ke saya dong. Jadi tak perlu menyebut saya "penulis dakwah" deh kalau hanya mau buku gratis.

Menulis dan menerbitkan buku itu tidak mudah. Sebuah proses yang panjang. Memang ada tokoh-tokoh kaya dan penting yang menerbitkan buku hanya untuk mendapatkan ketenaran dan pencitraan. Mereka membagi-bagikan bukunya secara gratis, tak heran menjadi best seller. Bukunya dibeli sendiri, lalu dibagikan. Saya? Alhamdulillah belum mampu untuk berbuat seperti itu. Tanpa hendak menjadi munafik, royalti buku masih saya nantikan setiap per semester. Lumayan buat ngisi pulsa, ngeprint naskah, beli buku untuk menambah wawasan, sampai membantu orang tua. Jadi, saya katakan ke Icha, "boleh ngasih buku gratis, asal bukunya itu diresensi atau dibantu promo." 

Jika Anda minta buku gratisan melulu, Anda turut menyengsarakan hidup penulis. Tak ada apresiasi positif terhadap usaha menulis dan menerbitkan buku itu. Menjadi penulis di Indonesia tidaklah mudah. Ketika sastrawan berbakat di Malaysia mendapatkan tunjangan per bulan sekitar Rp 6 juta, tak ada tunjangan apa pun untuk sastrawan di Indonesia, sehingga NH. DINI (salah seorang sastrawan terkenal Indonesia) harus tinggal di Panti Jompo dan meminta-minta bantuan untuk pengobatan penyakitnya. Saya juga beberapa kali mengikuti penggalangan dana untuk sastrawan yang kesulitan keuangan dan terkena penyakit berat melalui Forum Lingkar Pena, padahal karya-karya mereka menjadi penyumbang peradaban. Semua karena jasa penulis hanya dihargai sedikit, apalagi kalau Anda ikut-ikutan minta buku gratis.  Untuk diketahui, royalti penulis berkisar antara 5-12%, sejauh yang saya tahu, dari harga netto buku. Jadi kalau buku Frankfurt to Jakarta ini seharga Rp 45.000 dengan royalti 10% berarti saya hanya mendapatkan Rp 4.500 per eksemplar. Itupun dibagi dua dengan Icha. Yah, lumayanlah buat isi pulsa dua hari :-)



17 comments:

  1. Ahh sama ela, pada minta buku gratis hehe..aku bagikannya via kuis aja, jarang ngasih begitu saja kecuali ada yg dtg ke rumah dari jauh. Kl beneran teman pasti beli buku kita, menyokong kreativitas temennya hehe...

    ReplyDelete
  2. Taqabbalallahu minna waminkum
    Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1434 H.
    Mohon Maaf lahir dan bathin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Taqobbal Ya Kariim... walo salah tempat komen, gpp saya maafkan Mba Putri. Saya baru mau bikin postingan ttg lebaran :-) Maaf lahir batin ya.

      Delete
  3. Yah itulah suka dukanya penulis.

    ReplyDelete
  4. Pukpuk mbak... ^^
    Mugo-mugo laris yak mbak~

    ReplyDelete
  5. Semoga aja penjualan novelnya laris manis mba.
    Taqabbalallahu minna waminkum, Met Idul Fitri 1434 H :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin...
      Makasih mba Arty, selamat idul fitri juga :-)

      Delete
  6. MEmang miris. Setuju sama semua isi postingan ini. Buku saya yang hanya terbit indie juga ada yang minta gratis. Aih, gimana gitu, tega ya .... :|

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apalagi terbit indie ya Mba, udah nerbitinnya pake dana juga :(

      Delete
  7. Jadi NH Dini sekarang di Panti Jompo ya?
    Kasihan sekali...
    Beberapa saat lalu ada penggalangan dana utk Pipiet Senja.
    Kasihan sekali nasib sastrawan di negara ini ya mbak?
    Semoa bukunya laris manis... Aamiin...

    ReplyDelete
  8. Wah, ulasan ini sangat membuka mata! Jadi penulis di Indonesia tidak mudah ya. NH Dini itu salah satu favorit saya waktu kecil. Masih ingin sih kumpulkan buku-bukunya.Boleh tahu beliau dimana sekarang?

    ReplyDelete
  9. padahal..baru mau belajar nulis biar bisa nerbitin buku, tapi ternyata yang diperoleh tidak sebesar itu ya mba?..tapi harus tetap semangat. yang penting niatnya baik. Salam kenal mba, semoga bisa nulis buku kayak mba leyla hana

    ReplyDelete
  10. paling tinggi 12%?? cckck kejam nian penerbitan Indonesia... miris bgt, mirip itung2annya bule amerika untuk freeport ya? itung2an nggak genah, apapun alasannya

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....