Foto Mama satu-satunya di Laptop saya |
Sahur
pertama, Mamah akan memasak rendang ati sapi dan kentang. Itu adalah salah satu
masakan Mamah yang akrab di lidah saya. Tak peduli harga daging melambung
tinggi. Ketika sudah menikah dan mengurus anggaran rumah tangga sendiri, saya
baru tahu pengorbanan Mamah untuk menyediakan sahur berkesan itu. Bahkan sampai
sekarang, saya masih menganggap daging sapi dan yang masih berhubungan dengannya
(ati sapi, kikil, iga, dsb) adalah makanan mahal. Dengan pekerjaan orang tua saya yang hanya
PNS, Mamah berusaha keras menyediakan makanan yang “mahal” untuk kami, terutama
dalam menyambut bulan Ramadan.
Berbuka
puasa juga diisi dengan makanan berlimpah, dan yang tak akan saya lupakan
adalah nikmatnya asinan Betawi buatan Mamah. Tak ada asinan Betawi lain yang
bisa menandingi buatan Mamah. Mamah
bukan orang Betawi, tetapi harus pandai memasak masakan kesukaan Ayah.
Nyaris semua menu masakan di rumah kami, mengikuti selera Ayah. Paling-paling
Mamah membuat urap sayur untuk dirinya sendiri. Mamah pasti telah berusaha
keras mempelajari cara memasak masakan kesukaan Ayah agar mirip betul dengan
buatan Nenek.
Di hari
Lebaran, Mamah akan memasak semur daging, sayur papaya, dan gulai ayam, yang
semuanya memiliki rasa yang berbeda dengan lainnya. Mamah punya resep sendiri.
Tak ada yang bisa membuat persis seperti buatan Mamah.
Masakan-masakan
itu tak dapat saya jumpai lagi sepeninggal Mamah yang meninggal karena kanker
lidah. Nuansa Ramadan dan Lebaran langsung berubah drastis. Apalagi saya belum
sempat belajar memasak masakan itu karena fokus ke karir. Kami tak menyangka
Mamah akan dipanggil secepat itu, dalam usia yang belum 50 tahun. Mamah sudah
sempat mengajari adik-adik saya memasak masakan khas Ramadan dan Lebaran, tapi
rasanya tentu tidak sama persis. Adik saya memegang resep masakan Mama yang
ditulis di kertas, menyimpannya bagaikan benda berharga. Belakangan, kertas itu
pun hilang sudah. Kami meminta resep lagi dari adik-adik Ayah, tetapi ternyata
resepnya berbeda dengan milik Mamah. Ayah bahkan mengakui bahwa buatan Mamah
lebih enak daripada buatan adik-adiknya.
Setelah
menikah, saya berusaha memasak masakan khas Mamah di rumah saya. Sayangnya,
saya tidak bisa. Saya menyesal tidak belajar dari Mamah dan lebih fokus ke
pekerjaan kantor. Tak mengira bahwa masakan-masakan itu begitu saya rindukan.
Sekuat apa pun mencoba memasak masakan itu, rasanya tidak sama dan tidak enak
menurut lidah saya. Suami pun tak
menyukai hidangan Ramadan dan Lebaran khas keluarga saya. Masing-masing
keluarga memiliki kekhasan hidangan, suami saya juga merindukan masakan
keluarganya yang berbeda jauh dengan saya. Pada tahun-tahun pertama pernikahan,
saya pasti sedih bila mengingat kembali nuansa Ramadan dan Lebaran di rumah
Mamah.
Ketika berbuka puasa, saya ingat dulu selalu merayakannya bersama-sama. Orang tua saya selalu pulang jam empat sore. Jadi, kami sekeluarga dapat berbuka puasa bersama. Lain halnya dengan suami saya yang jarang berbuka puasa di rumah, karena jam kerjanya lebih padat. Tak enak rasanya berbuka puasa sendirian. Saya rindu Asinan Betawi, dan juga Mamah.
Ketika berbuka puasa, saya ingat dulu selalu merayakannya bersama-sama. Orang tua saya selalu pulang jam empat sore. Jadi, kami sekeluarga dapat berbuka puasa bersama. Lain halnya dengan suami saya yang jarang berbuka puasa di rumah, karena jam kerjanya lebih padat. Tak enak rasanya berbuka puasa sendirian. Saya rindu Asinan Betawi, dan juga Mamah.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa dengan suasana Ramadan di rumah sendiri yang tak sehangat di rumah Mamah. Asinan Betawi tak lagi menghipnotis saya. Rendang ati dan kentang telah nyaris saya lupakan. Di rumah orang tua saya kini hanya ada dua orang adik yang belum menikah, dan hanya satu yang bisa memasak. Adik saya itu juga sudah tak sering membuatkan asinan Betawi karena hanya akan dimakan oleh Ayah. Kami mulai bisa melepaskan bayang-bayang Mamah, meski saya masih merindukan saat-saat berpuasa Ramadan dan Lebaran di rumah Mamah. Setidaknya, saya ingin kembali ke masa itu untuk sehari saja. Berkumpul bersama di saat sahur dan berbuka puasa dengan masakan khas buatan Mamah.
Semoga saja
kelak saya dapat menciptakan suasana Ramadan dan Lebaran yang hangat dan tak
terlupakan oleh anak-anak saya di rumah kami.
I miss u Mom, Ramadan and Iedul Fitri with
u.
Ramadan Hemat di Rumah Sendiri
Pernikahan mempertemukan saya dengan lelaki yang mengajari berhemat. Awalnya saya menyebut dia "pelit." Bagaimana tidak pelit, sisa makanan tak boleh dibuang. Padahal, kalau di rumah Mama, sisa makanan pasti dibuang. Suami rela menghabiskan sisa makanan daripada dibuang. Pulang ke rumah mertua, saya melihat pola hidup hemat yang luar biasa. Misalnya saja, memasak telur dadar untuk keluarga besar, hanya menggunakan dua butir telur dicampur tepung dan daun bawang supaya hasilnya banyak. Memasak sayur sop bisa dua hari dihangatkan. Ibu dan Bapak mertua melarang membuang makanan. Ketika makanan anak saya tidak habis, Bapak mertua terlihat sedih. Makanan itu lalu diberikan ke ayam-ayam peliharaannya sambil berkata, "Lain kali kalau makan harus habis, ya...."
Akhirnya, kini saya juga menerapkan pola hidup hemat di keluarga kecil kami. Kadang memang kangen dengan makanan berlimpah ruah di rumah Mamah, tapi kalau dipikir-pikir kok ya mubajir. Apalagi di bulan Ramadan seperti sekarang di mana semua orang berpuasa. Mana sempat menghabiskan semua makanan? Menjelang puasa tahun 2013 ini, pemerintah juga menaikkan harga BBM. Bukan masalah kenaikannya yang hanya seribu rupiah, tapi efek multipliernya itu. Harga-harga kebutuhan pokok dan sayur mayur ikut naik. Kemarin malah harga bayam jadi Rp 2.500. Sudah sejak hari pertama Ramadan saya tidak memakai bawang merah untuk memasak. Harganya Rp 3.000 untuk 10 butir. Lebih baik dibelikan telur, kan?
Ternyata Ramadan tetap terasa menyenangkan, meskipun masakan yang tersaji biasa saja. Bahkan, kemarin saya berbuka dengan lauk hari sebelumnya. Suami sering berbuka di masjid kantornya otomatis saya tidak perlu memasak untuk berbuka. Anak-anak belum berpuasa karena baru berusia 5 tahun ke bawah. Tiba-tiba suami pulang di jam berbuka dan belum berbuka! Waduh, padahal saya belum masak. Untunglah dia pengertian. Mau dibuatkan mie goreng dan ikan kemarin. Begitulah Ramadan hemat di rumah kami. Sungguh jauh berbeda dengan di rumah Mamah, tapi aku tetap merasakan kenikmatannya. Bukankah Ramadan memang bulan untuk menahan diri dari hawa nafsu, termasuk makan dan minum?
Semoga amal ibadah kita di bulan suci ini diterima Allah Swt. Aamiin....
Ibu memang selalu tak ada hentinya membuat kita rindu. Sekedar masakannya saja, bisa membuat kita terkenang2 pada sosoknya. Sepertinya saya bisa merasakan hal itu mbak. Sama soalnya. hehehe.
ReplyDeleterindu rumahnya, rindu masakannya juga rindu yang lainnya ya mbak
ReplyDeleteMamah saya juga suka bikin sayur pepaya, tapi biasanya dihidangkan saat lebaran. Makannya dengan ketupat, enak sekali :) Tapi saya gak bisa bikinnya.
ReplyDeletejadi sendu membacanya mb Ela :(
ReplyDeleteAlhamdulillah saya masih bisa merasakan nikmatnya masakan ibuku hingga kini. Suatu anugerah luar biasa yg kadang2 lupa saya syukuri.
Mak Niken, iya betul.. kenangan tentang Ibu tidak akan pernah habis :(
ReplyDeleteMak Lidya, rindu semuanya.. hiks
Mak Santi, saya juga gak bisa masaknya, nyesel gak belajar.
Mak Uniek, saya juga masih sedih. Alhamdulillah Mak, ibunya masih ada ya.
meamng makanan ibu selalu terasa nikmat ya, walaupun saya memasak dengan resep ibu saya, rasa tak selalu sama. semoga ibuny Mbak leyla tenang disisiNya, terima kasih atas partisipasinya
ReplyDelete