“Mulai
sekarang kamu gak dapat uang saku lagi ya. Kamu harus cari sendiri, kan sudah
lulus kuliah.”
Ucapan mamaku itu membuat lantai tempatku
berpijak terasa membelah dan siap menerkam tubuhku serta menguburku
hidup-hidup. Usiaku baru menjelang 23 tahun, ketika aku lulus kuliah dari S1
Ekonomi Pembangunan di Undip, Semarang. Aku sudah belajar mandiri sejak kuliah
di tempat yang jauh dari orang tua, harus kos, dan cari makan sendiri. Tapi,
mandiri dalam arti sebenarnya, tanpa sokongan orang tua lagi? *tepok jidat.
Ancaman mamaku itu serius. Aku benar-benar tak
mendapatkan sepeser uang pun untuk jajan, biaya transportasi, dan sebagainya.
Yang gratis hanya biaya makan dan menginap di rumah orang tuaku. Syukurlah,
kedua biaya itu tidak harus kubayar. Aku harus putar otak agar bisa segera
mendapatkan pekerjaan. Untunglah saat kuliah, aku sudah sering mendapatkan uang
sendiri dari menulis cerpen di majalah. Menjelang lulus, satu novelku tembus
penerbit besar karena menang lomba. Tapi jangan ditanya uangnya, aku hanya
mendapatkan uang Rp 100.000, untuk jajan. Sisanya yang nominal jutaan, masuk
kantung mamaku. Yah, ibu-ibu memang sudah dari sananya ya suka “menyita” harta
suami dan anak-anak, xixixixixi…..
Nah, sekarang coba, sudah disita, tak dikasih
uang jajan pula. Padahal, aku punya agenda pengajian mingguan yang tempatnya
jauh, naik ojek dan angkot. Bolak-balik kurang lebih butuh Rp 20.000. Di rumah
ada motor, tapi aku tak bisa menaikinya. Motor itu juga sudah dikuasai adikku. Dipikir-pikir,
menjadi anak pertama itu memang enaknya hanya saat kecil ya. Setelah dewasa dan
punya adik-adik, harus banyak berkorban. Jadilah aku sering tidak datang
pengajian.
Aku sempat bekerja magang menggantikan karyawan yang cuti hamil selama tiga bulan di sebuah majalah islami, Majalah Annida. Setiap hari naik bus bergelantungan bersama penumpang lain, bahkan sering bergelantungan di pintu bus. Penumpang lain mana peduli, sama-sama menderita. Aku memakai gamis dan jilbab lebar, lagaknya kayak kondektur. Aku tidak nyaman, lalu memutuskan kos. Habislah honor yang hanya Rp 750.000 untuk biaya kos dan makan. Tak ada sisa untuk bersenang-senang. Setelah magang, aku tak ditarik lagi untuk bekerja di sana karena syaratnya harus aktif berbahasa Inggris.
Kemudian, aku mengirimkan berbagai lamaran
pekerjaan ke semua lapangan pekerjaan yang kira-kira cocok untukku. Berhubung
aku lulusan Ekonomi, jadi aku mengirim ke Bank-Bank. Huff.. rupanya bukan
jodohku bekerja di Perbankan, tapi kuucapkan hamdalah karena tak perlu
berhubungan dengan angka-angka. Aku sudah menyadari passionku di bidang
tulis-menulis. Aku beranikan diri melamar ke penerbit-penerbit juga. Sempat
wawancara di sebuah penerbit besar, mana jauh tempatnya. Hasilnya? DITOLAK.
Di situ, kesabaranku benar-benar diuji. Ada
kurang lebih sembilan bulan aku menganggur. Saat itu rasanya lamaaa sekali.
Iya, lama, karena aku sudah tak mendapatkan uang jajan dari orang tuaku. Saat
lebaran, aku juga sudah tidak kebagian angpau. Salah sendiri ya lulus cepat-cepat,
eheheheh… soalnya adik-adikku lulusnya lama-lama, usia 25 tahun baru lulus, dan
mereka masih mendapatkan angpau. Jadi kalau mau dibandingkan sama adik-adik,
bawaannya ngiri. Tentu saja lebih baik lulus cepat, jadi bisa cepat kerja.
Alhamdulillah, akhirnya aku diterima juga di
sebuah penerbit yang baru berdiri. Memang gajinya kecil, tapi lumayan daripada
gak ada. Sebenarnya ini sebuah ironi, mengingat aku lulusan kampus ternama di
Jawa Tengah dan mendapatkan cumlaude. Aku bukannya mau menyombongkan diri
dengan predikat cumlaude, hanya mau mengatakan bahwa predikat itu bukan jaminan
bisa cepat dapat kerja. Dan kalau aku selalu melihat ke atas, jadi tidak
bersyukur. Soalnya kalau mau membandingkan dengan teman-temanku yang
mendapatkan pekerjaan bergengsi di bank, beasiswa S2 ke luar negeri, dan
sebagainya, ya rasanya memelas sekali diriku ini. Bekerja dengan gaji di bawah
UMR, xixixixixi….. tapi, pekerjaan itu sesuai dengan passionku. Aku bekerja
sebagai editor, yang masih berkaitan dengan hobi menulisku.
Aku bisa bertemu dengan penulis-penulis
terkenal. Bosku adalah Asma Nadia. Aku bisa belajar bagaimana menjadi penulis
yang hebat darinya. Aku juga berkenalan dengan Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa, ikut
rapat dengan Kang Abik, ikut roadshow dengan Boim Lebon, Gola Gong, dan banyak
lagi. Walaupun gajiku kecil, aku banyak mendapatkan pengalaman, dan bukankah
memang itu yang kumau? Allah SWT sudah menunjukkan jalan, bahwa aku memang
cocoknya di dunia tulis menulis.
Bekerja di Lingkar Pena Publishing House Bersama Mba Asma Nadia |
Aku senang sekali di usia 23 tahun itu, aku bisa
menjadi penulis sekaligus editor. Saat itu adalah masa keemasanku yang pertama. Novelku terbit berturut-turut,
menjadi editor dengan bos Asma Nadia, dan bertemu dengan penulis-penulis beken.
Aku juga sudah memikirkan pernikahan dan sempat dijodohkan dua kali, pertama
oleh mamahku, kedua oleh guru ngajiku. Tapi waktu itu aku masih fokus ke karir.
Rasanya baru sebentar aku berkarir. Aku memang bukan penganut nikah dini sih,
hehehe…. Pengennya pas saja, di usia 25 tahun. Ketika menolak
perjodohan-perjodohan itu, ada rasa takut gak dapat jodoh, apalagi kebetulan
aku berteman dengan rekan-rekan yang agak terlambat jodohnya (rata-rata sudah
berusia di atas 30 tahun dan belum menikah). Aku yakin Allah SWT akan berikan
yang terbaik, yang penting sebelum menolak, aku salat Istikharah dulu.
Eit, itu maksudnya bukan nyuruh adik-adik untuk
menolak jodoh lho. Sebagai manusia dewasa, tentu kita sudah dapat
mempertimbangkan keputusan kita. Aku memutuskan untuk menikah di usia minimal
25 tahun, jadi sebelum usia itu datang, aku belum mantap untuk menikah. Syukurlah,
Allah mengabulkan keinginanku. Aku memang menikah di usia 25 tahun, jadi
keputusanku untuk fokus di karir pada usia 23 tahun itu tidak salah.
Usia 23 tahun, bagiku adalah pencapaian
kesuksesan dalam akademis dan karir. Normalnya, di usia 23 tahun itu, seseorang
sudah mulai berkarir (bukan masih kuliah), karena banyak sekali lowongan
pekerjaan yang memberikan batas maksimal usia 24 tahun untuk fresh graduate. Bayangkan, kalau baru
lulus kuliah di usia 26 tahun, lalu mencari pekerjaan tanpa pengalaman sama
sekali, relatif lebih sulit, kecuali ada “orang dalam.” Bukan berarti tidak
bisa, tapi lebih sulit.
Ah, menuliskan tentang ini membuatku ingin sekejap kembali ke usia 23 tahun, momen yang sangat menyenangkan. Kangen dengan rekan kerjaku, rekan-rekan penulis yang setiap hari bertatap muka, dan tentu saja gaji bulanan. Saat itulah kebebasan berada di tanganku. Aku sudah bebas menentukan jalan hidupku (asal bertanggungjawab) dan tidak dikekang oleh siapa pun.
weh niar usia 23 ntar sepertinya masih kuliah lho bu, wah bener2 keterlaluan yaa kalau diitung2 lulus baru 24 lha wong kuliah nya telat lebih konsen kerja dulu kemarin2 sekarang dua2nya jalan :D
ReplyDeletekeren yaa bu bisa kerja sesuai passion dan dapet jodoh juga sesuai harapan :D
Senengnya bisa berkarir sesuai dengan hobi. Ini yang dimanakan hobi mendatangkan rejeki.. :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah ikut berbagi dalam 23 tahun giveaway..
ditunggu pengumumannya.. :)
emang lain rasanya mbak......... ana baru lulus juga alias masih nanggur.......
ReplyDeletebingung juga mau ngapain??? ada usul mbak?????????????