Tulisan ini disertakan dalam 8 Minggu Ngeblog yang diadakan oleh Anging Mammiri
Ketika masih duduk di bangku SD,
aku ingin sekali menjadi anak SMP. Sepertinya menyenangkan menjadi anak SMP.
Setelah duduk di bangku SMP, aku ingin jadi anak SMA. Sepertinya menjadi anak
SMA lebih asyik. Dan sekarang adalah hari pertamaku menjadi anak SMA. Apakah
benar menjadi anak SMA akan se-asyik yang kubayangkan?
“Ma! Camar berangkat dulu, ya!” Camar pamit usai memakai
sepatunya.
“Makan dulu,
Sayang!” Suara mamanya terdengar dari dapur.
“Tidak sempat! Nanti kalau terlambat bisa dihukum. Assalamualaikum!” Camar meninggalkan
rumahnya, terburu-buru.
Hari ini adalah hari pertama Camar masuk SMA. Sekolah
masih dalam masa perkenalan atau Masa Orientasi Siswa. Biasanya dalam kegiatan
itu, para siswa baru diperkenalkan dengan keadaan sekolahnya, baik itu
guru-gurunya, sistem pembelajarannya, maupun organisasi-organisasi yang ada di
sekolah tersebut. Katanya, MOS biasa digunakan oleh para senior untuk
“mengerjai” adik-adik baru mereka. Meskipun pemerintah sudah melarang hal itu,
siapa yang tahu para senior benar-benar menaatinya? Buktinya, masih saja ada
kasus di mana kegiatan MOS menjadi ajang perploncoan bagi para siswa baru.
Rambut kemerah-merahan Camar yang pendek sebahu dan
dipotong chaggy, bergoyang-goyang ditiup angin karena langkah kakinya
yang cepat. Potongan rambut “berantakan”nya itu gunanya untuk menyiasati
mukanya yang lebar. Pipi Camar memang agak tembem, meskipun tubuhnya
proporsional.
Ah, sepertinya ia terlambat. Untung saja upacara
pembukaan belum dimulai, dan tentunya MOS baru akan dimulai besok. Jadi, masih
aman....
Bel berbunyi. Semua siswa baru segera berlarian ke
lapangan.
Upacara pembukaan berlangsung cukup lama. Pada upacara
tersebut, Kepala Sekolah memberitahu kegiatan apa saja yang akan diikuti semua
siswa baru di MOS. Beliau juga memperkenalkan para senior yang akan membimbing
siswa-siswa baru. Setelah itu, seorang guru membacakan nama-nama siswa yang
akan masuk ke kelas yang ditunjuk.
Camar memasuki kelasnya. Tak berapa
lama setelah duduk, beberapa orang senior memasuki kelas.
“Selamat pagi, Adik-adik!” ucap salah seorang dari
mereka.
“Pagi…!”
“Nama saya Rani dan ini teman-teman saya. Di sebelah kiri
saya ada Kak Mia dan Kak Rudi, dan di sebelah kanan saya ada Kak Beni. Kami
akan memandu kalian untuk mengenal lebih jauh tentang sekolah kita ini. Masih
ada satu orang lagi, tapi orangnya belum datang,” kata Rani, ramah.
“Eh, tunggu!” seseorang yang terburu-buru masuk ke dalam
kelas, tiba-tiba menyela. “Sorry, ya
telat. Nama saya Bayu!”
“Nah, ini Kakak kita yang satu lagi.” Rani menunjuk
senior yang terlambat itu.
Semua siswa memperhatikan para senior di depan, termasuk Camar.
Camar terpaku oleh sorot mata Bayu. Sorot mata itu
seperti kumparan yang menyeretnya ke dalam lautan. Ia tak mampu berpaling
apalagi tersadar bahwa sorot mata itu telah menangkap basah matanya yang
terlena. Ia tak pernah merasakan hal semacam itu sebelumnya. Aneh... ada apa
dengan mata lelaki yang tepat berada di hadapannya itu...?
“Baiklah, adik-adik. Kalian kan sudah tahu nama-nama
kami, sekarang gantian kami yang tahu nama-nama kalian. Ayo, kalian maju ke
depan satu per satu dan memperkenalkan nama kalian masing-masing. Dimulai dari
sebelah kanan!” Rani menunjuk siswa baru yang duduk di pojok kanan. Anak itu
maju ke depan kelas dan memperkenalkan dirinya. Begitu terus bergantian.
“Nama saya, Mentari,” kata seorang gadis yang sedang
mendapat giliran. Seorang gadis yang cantik. Rambutnya ikal dan panjang,
matanya lentik, kulitnya hitam-manis, dan hidungnya mancung. Tatapan matanya
sehangat matahari. Wajar saja kalau banyak lelaki yang terpikat. Ya, beberapa
anak laki-laki menyuitinya ketika Mentari memperkenalkan diri. Rasanya, Camar
tidak pernah mendapatkan sambutan seperti itu, karena ia memang hanya gadis
biasa-biasa saja.
Saat sampai gilirannya untuk memperkenalkan diri, Camar melangkahkan kaki ke depan. Perasaannya agak grogi. Semuanya masih
baru. Lingkungan sekolahnya, teman-temannya. Meski kelu, dipaksakan juga
lidahnya untuk berbicara.
“Nama saya Camar,” Ia mulai memperkenalkan diri. Semua
mata terpusat kepadanya, sehingga rasa groginya bertambah.
“Saya dari SMP….”
“Siapa namanya tadi?” tanya Bayu, tiba-tiba.
Camar terpaksa menyebutkan kembali namanya.
“Camar?” Bayu bertanya lagi. Hmm...apa maunya laki-laki
itu? Mempermalukan Camar di depan umum?
Camar mengangguk.
Bayu tertawa. “Nama yang lucu. Dulu ibumu ngidam melihat
burung Camar, ya?” candanya. Seisi kelas ikut tertawa. Tuh, kan benar. Bayu
memang hanya ingin mempermalukan Camar, untung Camar dapat menguasai hatinya.
“Ibu saya penggemar lagu Burung Camar, Vina Panduwinata.”
Camar meralat.
“Terus?” Bayu menatap tajam mata Camar. Camar berusaha
bersikap setenang mungkin. Aduh... sepertinya lelaki itu benar-benar telah
masuk ke dalam hatinya.
“Saya dari SMP 3. Terima kasih,” katanya, menutup
perkenalannya hari itu.
***
Bel istirahat berbunyi. Hampir semua anak meninggalkan
kelas untuk makan. Beberapa yang lain masih sibuk mencari tanda tangan senior.
Pada akhir MOS nanti, mereka sudah harus mendapatkan minimal dua puluh lima
tanda tangan senior. Ya, itulah salah satu bagian dari perploncoan yang
dilakukan para senior secara diam-diam. Asal tidak mengandung kekerasan, tidak
akan mengundang kemarahan Kepala Sekolah. Biarpun demikian, rasanya letih juga
melakukan hal aneh itu. Tentu saja aneh. Buat apa mengumpulkan tanda tangan
para senior yang untuk mendapatkannya saja, anak baru harus melakukan hal-hal
aneh yang diminta senior? Memangnya mereka artis?
Sekarang Camar asyik menikmati bekal makanannya.
“Sini! Sini! Kamu
mau minta tanda tanganku, kan? Nyanyi dulu, ya?” sebuah suara membuat Camar menoleh ke belakang. Di
pojok kelas, terlihat Bayu sedang mengerjai salah seorang temannya. Ada
keharusan anak baru untuk mendapatkan seluruh tanda tangan senior, dan tentu
saja senior tidak akan memberikannya secara gratis. Mereka biasa mengerjai
yunior, sebelum memberikan tanda tangannya.
Camar menghela napas. Apakah ia sanggup menghadapi Bayu? Andai saja ia tidak
merasakan jantung berdebar tak karuan ketika pertama kali melihat sosok
Bayu....
“Ehem!”
“Enak sekali
makannya?” Tiba-tiba Bayu tersenyum dan duduk di bangku di depan meja Camar.
Camar langsung terserang grogi akut, tapi masih bisa menawarkan
makanannya. Salah satu sikap yunior yang harus ditunjukkan kepada senior; sopan
santun.
“Cuma tinggal
sesendok. Mau?” Camar menawarkan.
Bayu tertawa. “Untung aku bukan senior yang suka
menghukum. Aku hanya jahil sedikit. Camar, maafkan atas kata-kataku tadi, ya?”
Camar tertegun. Bayu menyodorkan tangannya. Ragu-ragu
Camar menerima uluran tangan itu.
“Maafkan aku, Camar,” kata Bayu sambil menjabat tangan
Camar, hangat.
Camar seperti terkena setrum. Ia bahkan tak sadar kalau
Bayu telah pergi. Ia juga tak tahu kalau Sasa menatap sinis ke arahnya. Itulah
pertama kalinya ia berinteraksi lebih dekat dengan Bayu, dan perasaan indah itu
semakin menancap dalam di hatinya. Sebenarnya, Bayu tidaklah tampan. Wajahnya
biasa-biasa saja, tapi ada daya tarik yang mampu membuat para gadis bertekuk
lutut. Daya tarik itu terletak pada matanya yang sulit digambarkan dengan
kata-kata. Tatapannya begitu menusuk hati para gadis, meskipun matanya tidaklah
tajam, melainkan teduh. Mata itu juga yang terus membuat Camar
terbayang-bayang. Mulanya biasa saja, tetapi semakin dipikirkan, semakin tak
mau pergi dari dalam hati.
***
Kehangatan itu masih terasa. Kadang tanpa sadar Camar
membelai tangannya sendiri. Mencoba merasakan kembali kehangatan tangan Bayu. Setelah
itu, ia merasa bahagia sekali, terlebih jika melihat Bayu di hadapannya.
Tertawa dengan gayanya yang khas atau hanya tersenyum yang membuatnya terlena.
Matanya tak pernah mau lepas melihat Bayu. Tak pernah. Itulah sebabnya ia tahu
kalau Bayu dekat sekali dengan Mentari, gadis sehangat matahari itu. Bayu dan
Mentari.
Camar masih saja tak bisa melupakan Bayu. Mungkin ia
memang menaruh hati kepada Bayu. Aneh juga, ya? Sejujurnya, ia bukan baru
sekali ini saja mengagumi lawan jenis. Waktu SMP, ia juga pernah menyukai
seorang teman lelaki. Tetapi, sepertinya kali ini lebih hebat. Ia tidak bisa
berhenti memikirkan Bayu. Mungkin ini yang dinamakan cinta....
“Duh... baru juga masuk SMA, sudah jatuh cinta kepada
seseorang....” Camar memukuli kepalanya. Masa orientasi tinggal sehari lagi. Gara-gara
perasaannya itu, ia belum berani meminta tanda tangan Bayu. Keraguan
meliputi dirinya. Sanggupkah ia mendatangi Bayu? Dalam satu hari ia sudah
menaruh hati, dan hari-hari berikutnya perasaan itu semakin dalam. Bayu adalah
cinta pertamanya pada pandangan pertama. Entah apakah ia bisa mendapatkan cinta
itu.
Namun, hari ini adalah kesempatannya
yang terakhir. Hari ini juga ia harus mendapatkan tanda tangan Bayu. Kalau
tidak, ia akan kena sangsi. Camar melangkah perlahan mendekati Bayu. Semakin
dekat… semakin dekat… tapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ia ragu. Ia tak
bisa. Debaran ombak di hatinya tak tertahan lagi. Ia hanya bisa berlari
meninggalkan Bayu.
“Oke, Adik-adik. Silakan kalian kumpulkan tanda tangan
senior-senior kalian. Kami akan mengecek siapa yang tanda tangannya kurang
lengkap, terutama dari senior pembimbing kelas ini. Seharusnya kalian mendapatkan
tanda tangan kami semua karena itu wajib,” urai Beni, sebelum MOS hari ini
selesai. Semua siswa segera mengerjakan perintah itu, begitu juga Camar. Sambil
mengumpulkan tugasnya, dia terus menatap Bayu. Dadanya berdetak kencang. Dia
belum mendapatkan tanda tangan Bayu…!
“Camar?” panggil Rani. Camar hampir saja mati duduk. Sasa
tersenyum melihat ekspresi Camar yang ketakutan.
“Kenapa kamu belum mendapatkan tanda tangan Kak Bayu?”
tanya Rani. Camar menelan ludah. Dia harus jawab apa?
“Aku….”
“Apa? Camar belum dapat tanda tanganku?” tanya Bayu,
tiba-tiba.
Camar melotot. Bayu!
“Iya. Bagaimana ini? Mau dihukum apa?” tanya Beni.
“Biar aku yang urus sendiri. Ayo, Camar! Kita ke luar!”
Bayu mengerlingkan mata ke arah Camar.
Camar terbelalak. Apa kata Bayu? Dia….
“Silakan, Camar. Hati-hati, ya. Kak Bayu suka kejam kalau
menghukum!” kata Beni disertai gelak tawa teman-teman Camar yang lain. Camar
menundukkan wajah. Dia malu sekali, terutama saat nanti harus berhadapan
dengan… Bayu.
“Kenapa kamu tidak meminta tanda tanganku, Camar?” Bayu
menatap Camar, yang tak mampu menghadang tatapan mata itu. “Kamu jangan
ketakutan begitu, dong. Aku tidak akan menggigitmu, kok!”
Camar tersenyum tipis. Sungguh, debaran ombak di hatinya
semakin kencang.
“Aku…”
“Kamu masih marah kepadaku, ya?”
“Tidak.... Em… aku….”
“Camar… aku minta maaf kalau kamu masih marah sama aku.”
“Bukan itu! Aku… aku lupa.”
“Lupa?”
“Terlalu
banyak senior yang harus aku mintai tanda tangan. Aku lupa….”
“Kamu lupa sama aku?” Bayu menepuk jidat.
Camar memejamkan mata. Tidak, Bayu. Bagaimana mungkin
aku bisa melupakanmu? Aku bahkan selalu memikirkanmu.
“Ya, sudah. Tidak apa-apa. Tapi… aku minta maaf sekali
lagi, ya. Please…!” Bayu
menyedekapkan kedua tangannya ke dada.
Camar mengangguk cepat. “Tentu saja”
“Ayo kita masuk lagi, Camar!”
“Kakak tidak
menghukumku?”
“Kan aku yang salah sama kamu. Ayo!” kali ini Bayu
menyentuh bahu Camar, membuat debaran ombak di hati Camar semakin kencang.
Kiranya
Tuhan tahu
serpih-serpih
malam mengabu doa
Pasir abjad
dirimu
mengapung
mengangkasa
di putih
sayap Jibril
Meski
terlalu muskil bagiku
merengkuh
dirimu
di setiap
lampiran detik.
Kiranya kau
mengerti
Galau
menampar relung hati
Lindu mengecup
kening malamku
Hingga aku
terkapar tak berdaya
(puisi oleh
Cucun Naizari)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita di atas adalah penggalan kisahku saat berjumpa dengannya, cinta pertama yang sudah larut oleh waktu. Anda bisa menebak kan, mana saya dan mana dia?
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri.
Mbak Ley, so sweet banget. Ruh anak barunya berasa. Debar-deburnya hingga ke hati hehe... pengen tau kelanjutannya :D Jadiankah?
ReplyDeletehuaaa mbak leyla hebat banget bikin cerpennya. teenager spiritnya dapet banget
ReplyDeletehampir sama kisahnya sama waktu aku MOS SMA dulu tante. hihihi...
ReplyDeleteEhm ...
ReplyDeleteSaya masih ingat lagu Burung Camar. Waktu itu saya masih SD, duh tua banget diriku ya
*ilang fokus*
:D