Dulu saya pernah menuliskan di
sebuah kertas, isinya: “Ya Allah, beri aku seorang sahabat.”
Saya memang sedang merasa
sendiri. Tak ada teman berbagi. Kata orang, saya judes. Makanya gak ada yang
mau berteman dengan saya. Entahlah. Saya sendiri tak ada niat untuk judes.
Memang sudah bawaannya begitu. Tapi, hidup “sendiri” pun tak enak. Apalagi saat
jauh dari keluarga. Syukurlah, saya mendapatkan seorang sahabat yang kerap
menemani saya.
sebagian dari sahabat mayaku kami berjumpa untuk menjenguk teman yang sakit |
Memang tak sembarang orang bisa
menjadi sahabat saya. Ini bukan berarti saya pilih-pilih sahabat. Melainkan
karena sikap saya yang dipandang “kurang bersahabat,” sehingga jarang ada orang
yang bisa dekat dengan saya. Bila diibaratkan empat elemen, saya ini termasuk
elemen api. Mudah meledak-ledak. Maka, orang yang tepat untuk mendampingi saya
adalah orang yang memiliki elemen air. Tenang dan menyejukkan. Kenyataannya
memang demikian. Sahabat saya semasa kuliah itu sikapnya sangat tenang dan
selalu mendinginkan saya, setiap kali saya sudah emosional.
Namun, yang namanya dua orang
berbeda daerah, akan ada perpisahan. Saya merasa kehilangan dirinya, setelah
bertahun-tahun bersahabat. Kami hanya bertegur sapa dan berbagi cerita melalui
sms dan telepon. Kini, setelah ada facebook, kami juga sudah jarang
bercengkerama karena dunianya sudah berbeda. Maksudnya, kesenangan kami sudah
berbeda.
Syukurlah, sekalipun di rumah
hanya bersama anak-anak, saya memiliki banyak sahabat di dunia maya. Meskipun
mereka mungkin tak menganggap saya sebagai sahabat, saya menganggap mereka
sahabat. Sebab, saya sudah berbagi cerita kepada mereka, melalui inbox dan sms.
Berbagi keluh kesah dan nasihat. Berbagi semangat dan inspirasi.
Sahabat maya yang tak maya |
Sahabat itu berbagi.
Dari sini saya berkaca.
Barangkali kita pernah berpikir mengapa tak memiliki sahabat? Barangkali kita
pernah menuntut berlebihan terhadap sahabat-sahabat kita. Sudahkah kita lebih
dulu memberi? Memberi tak selalu
materi. Memberi bisa berupa perhatian atau sekadar telinga untuk mendengar. Simpati.
Bahkan lebih dari itu, empati.
Sahabat, sama juga dengan jodoh.
Saya merasakan sendiri bahwa saya selalu dipertemukan dengan sahabat se-kufu. Memiliki kesukaan yang mirip, dan
jenjang pemikiran sederajat.
Semoga kelak kami dipertemukan
lagi di Padang Masyar, di bawah payung ukhuwah. Terlindungi dari sengatan panasnya
matahari yang hanya satu jengkal, karena persahabatan indah.
http://senyumsyukurbahagia.blogspot.com/2013/04/ga-siapa-sahabatmu.html |
smoga aku termasuk dianggap sahabat oleh mbak leyla hehehe..
ReplyDeletedan akupun ingin dianggap sebagai sahabat oleh mba leyla:)
ReplyDeletepeluk mbak ela. kau lebih dari sahabat bagiku mbak. seperti sodara. udah hafal sebagian sifat dan sikap mbak ela, meski kita lebih sering interaksi didumay.dunia luna maya.eh...xixixi...baidewe eniwe baswe,thanks for being my friend.^_^
ReplyDeleteMbak Elaaaa...
ReplyDeletehiks.. nangis deh..
Aku teringat saat Mbak Ela slalu hadir menghiburku, menyemangatiku, membantuku..
pesan2 di inbox menjadi saksi..
Makasiiih Mbak...
dan, maafkan aku yg blm bisa menjadi sahabat yg baik bwt Mbak Ela..
Setuju sama pendapat mba Leyla, Sahabat itu sama juga dengan Jodoh. Semoga aku bisa menjadi sahabat yang baik.
ReplyDelete