Tulisan ini disertakan dalam 8 Minggu Ngeblog Anging Mammiri Minggu Keenam.
Suatu malam, saya membaca kultwit
seorang penulis muda, yang usianya jauh lebih muda dari saya, mengenai emosi
positif. Jadi ceritanya dia emosi dengan kejadian bertahun-tahun lalu ketika
dia baru saja menerbitkan novel pertamanya. Ada seorang penulis yang memberikan
komentar di resensi novelnya. Komentar yang masih membekas hingga sekarang.
Sebuah komentar yang bisa disebut kritik. Intinya mah, teman penulis kita yang
muda belia ini merasa tersinggung oleh komentar penulis lain terhadap dirinya. Nah,
dia bertekad untuk membuktikan bahwa dia seorang penulis yang hebat. Dan
menurut dia, sekarang dia sudah bisa membuktikannya dengan keberhasilan
memenangkan sayembara menulis dan novel-novelnya diterbitkan oleh penerbit
ternama.
Sebagai sesama penulis, saya juga
pernah mendapatkan kritik. Saya akui, ketika menerima kritik, saya acap kali
bersikap defensif. Tak membenarkan kritik tersebut karena merasa karya saya
sempurna. Belakangan baru saya sadar, betapa pentingnya kritik bagi kemajuan
karya saya. Tak peduli apakah kritik itu bersifat mendorong atau menjatuhkan. Kritik
itu membuat kita mampu berjuang untuk membuktikan bahwa karya kita memang
bagus, sebagaimana yang terjadi pada teman penulis kita yang masih muda belia
itu. Coba kalau tidak ada yang mengkritik, belum tentu kita terdorong untuk
memperbaiki karya kita. Apalagi kalau kita terus dihujani pujian yang tidak
pada tempatnya.
Sebaliknya, pujian yang
berlebihan, entah itu benar atau tidak, justru akan mematikan kita diam-diam.
Terlalu hanyut dalam pujian membuat kita tak dapat melihat kekurangan dari
karya kita. Biasanya, kita mendapatkan pujian dari pembaca yang notabene teman
sendiri. Mereka merasa sungkan memberikan kritik karena sudah dikenal oleh
penulisnya. Lain halnya jika pembaca itu tidak mengenal kita, mereka bisa
memberikan komentar apa saja terhadap karya kita: baik atau buruk. Jadi, memang
sebaiknya kita jangan terlena oleh komentar dari teman baik, terlebih bila
isinya hanya pujian.
Sebagai penulis, kita memang
semestinya sudah siap menerima kritik APA PUN, entah itu positif maupun negatif
(kritik yang menjatuhkan). Kita tidak bisa memprotes mereka yang mengkritik,
sebab kita tak bisa mengendalikan pikiran mereka. Ketika karya sudah dilempar
ke pasar, berarti kita harus kuat mental bila ada yang mengkritik. Tak perlu
membela diri, sebab semua itu percuma. Pengarang sudah mati, ketika karya telah
dilempar ke pasaran. Membela diri hanya akan menunjukkan bahwa kita pengarang
yang cemen, tak sanggup menerima
kritik. Kalau tak berani menerima kritik, sembunyikan saja naskah kita, jangan
dipublikasikan.
Dunia pembaca adalah dunia yang
kejam, sebab mereka tak merasakan susahnya menulis. Lalu, kenapa? Ya, itulah
gunanya komentator sepak bola, bisanya hanya komentar. Tapi, justru penglihatan
mereka lebih tajam daripada pelaksana. Sebagai penulis, usaha yang kita lakukan
hanyalah bagaimana mengubah kritik menjadi kripik yang enak, renyah, dan bikin
nagih untuk dimakan.
Pertama, bersikap legawa saat
menerima kritik. Tak perlu defensive. Anggap saja kita berjarak dengan pembaca,
cukup dengarkan kritik mereka.
Kedua, mulai menata hati yang
pasti lah ada sedikit dipenuhi amarah, contohnya teman penulis kita yang masih
muda belia itu. Ada saja pembelaan bahwa karya kita sempurna. It’s okay. Memang kita kan berusaha
menyajikan karya yang sempurna.
Ketiga, baca dan resapi
pelan-pelan kritik itu. Pelan-pelan saja, tak usah terburu-buru. Fokus saja
pada kritik yang disampaikan, tak usah mengulik-ulik alasan di balik kritik.
Bisa saja kita beranggapan si pengkritik hanya ingin menjatuhkan kita. Tak
perlu berpikir sampai ke sana.
Keempat, temukan kebenaran di
balik kritik. Barangkali memang karya kita memiliki kekurangan yang pantas
dikritik.
Kelima, berterimakasihlah kepada
si pengkritik. Hey, dia itu sudah sangat perhatian lho. Seorang pengkritik
tentunya telah membaca baik-baik karya kita sehingga dia menemukan celah untuk
mengkritik. Coba saja ya, kalau kita membaca buku dengan sistem baca cepat,
seringkali tak dapat menemukan kelemahan dari buku itu saking cepatnya dibaca.
Lain kalau kita membacanya dengan penghayatan, pasti kita dapat menemukan
kekurangan dari buku tersebut. Berarti orang yang mengkritik kita, telah
membaca karya kita dengan telaten. Lebih baik karya kita dibaca daripada hanya
teronggok di toko buku. Apalagi kalau pembaca yang mengkritik kita itu membeli
sendiri (bukan gratis, ya), berarti dia telah menyumbangkan royalty untuk kita.
Keenam, dan kita memang harus
berterimakasih kepada si pengkritik karena dia telah mendorong kita untuk maju.
Lihatlah teman penulis kita yang muda belia itu, yang akhirnya berhasil
menunjukkan kemampuannya karena ingin membuktikan kepada si pengkritik bahwa
dia bisa.
Ketujuh, percuma membenci si
pengkritik. Ketika kita terus memikirkan kritikannya, dia pasti sudah lupa
pernah mengatakan itu. Skak mat.
Nah, di lain hari, saya membaca
curhatan seorang penerbit yang enggan menerima naskah seorang penulis besar
karena naskah itu jauh standarnya di bawah naskah penulis-penulis muda. Meskipun
penulis yang sudah punya nama dan banyak penggemar itu telah bertahun-tahun melanglang buana di
dunia kepenulisan, karyanya sama sekali tak mengalami peningkatan.
Hmmm…. Coba pikirkan, mengapa
penulis besar itu tak mengalami peningkatan dalam berkarya?
Barangkali selama ini dia hanya
mendengar pujian….
Barangkali selama ini dia menutup
mata dan telinganya dari kritik….
Barangkali selama ini tak ada
seorang pembaca pun yang mau membuka matanya bahwa karyanya sarat kritik….
Abu Bakar Ash Siddiq berkata,
“pujian itu ibarat pedang yang memenggal leherku.”
Begitulah, kritik dan pujian memiliki dua sisi baik dan buruk yang saling berlawanan. Kritik, di satu sisi sangat tidak mengenakkan tapi bisa membangkitkan semangat. Pujian, di satu sisi sangat menyenangkan, tapi bisa membuat kita terlena. Akan lebih enak jika kita berusaha mengubah kritik menjadi keripik, enak dimaem, krik... krik... eh, kress... kress....
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri.
"kalau tak mau dikritik, sembunyikan saja naskah kita" bener ya, kalau tulisan sdh di tangan pembaca, hak pembaca u menilai. Semakin pedas kripik semakin pingin lagi hehe.
ReplyDeleteKeren komen mbak Vanda ... setuju. Bahkan blogger saja yang tidak menerbitkan buku tidak sepi dari kritik. Mbak Leyla pun sudah merasakannya di Kompasiana :D
DeleteKritik itu memang gurih, meski ada pedasnya, bukankah keripik juga terjadi hal yang sama, pedas, asam, manis hingga renyah dikunyah....tak mau berhenti.
ReplyDeletedan
salah satu syarat majunya suatu bangsa atau individu adalah kritik, ketika Rasulullah membawa Risalah, lihatlah bagaimana kritikan-kritikan tajam hingga dengan tindakan keras terjadi pada Rasulullah namun dibalik semua itu, kini manusia bisa mencerahkan diri dengan konsep2 kebenaran yang dibawa Rasulullah..,
Subuhanallah..., luar biasa.., InsanKamil... manusia sempurna..
Haerul
http://pingplangplong.blogdetik.com/2013/05/16/antara-aminah-dan-farah/
mbaa elaa aku mau mengkritik tampilan blog mu. Gimana kalo warna tulisannya diubah. soale hampir sama warna tulisan dengan latar jadi remang2 gitu bacanya. Betewe tips menerima kritiknya oke punya. bakal dipraktekin #eh kayak yg udah punya buku ajah hahahaha
ReplyDeletemakasih kritiknya windiiii... tapi ngubah-ubah latar, susah je... inetnya lagi gak bersahabat :-(
Deletememang kadang-kadang kritik itu pedas, namun dengan kritiklah sesuatu itu menjadi lebih baik dan sempurna
ReplyDeleteKeripik itu emang keritik-keritik, kok [eh]
ReplyDeletekalo kritik bikin kenyang bahkan eneg @_@ maka keripik itu bikin kurang dan pengen lagi dan lagi.. jadi nambah lemak nggak berasa
#_#
Saya dulu sering menerima kritik dari teman-teman (walau kasusnya bukan dunia menulis) sakit memang apalagi ketika kita merasa "benar". Namun ketika mau mencoba membuka mata, maka kritik terdengar sebagai ungkapan rasa sayang seorang saudara yang tak ingin sudaranya jatuh pada kubangan kesalahan.
ReplyDeleteTips menerima kritik dari Mba Leyla patut dicoba.
Namun tentu memberi kritik ada seninya. harus dengan cara yang baik dan santun. Spiritnya pun tidak untuk memojokkan atau mencari kesalahan namun memberi masukan untuk hasil yang lebih baik. :-)
tulisannya juara, mak. Ada kalanya intropeksi itu sangat perlu untuk kita. Tfs ya, tulisannya keren :D
ReplyDeleteMba Vanda, Mba Mugniar, Windi, Haerul, uni Lisa, Yun W, Aisyah, Mak Mira, makasih ya sudah mampir :-) Insya Allah, saya juga terus memacu diri untuk legawa menerima kritik, apalagi yg puedeeesnya bikin sakit perut, xixixixixi....
ReplyDeletekayak kerupuk sanjai mbak, pedas tapi tetap enak,,,
ReplyDelete***
tulisannya memberi gambaran dan menghimbau agar mempersiapkan diri untuk menerima kritikan apa pun
jazakillah ya mbak..
harus diterima ya mbak kritik yang positif maupun negatif
ReplyDeleteBetul ya, kalo ingin disebut sebagai penulis, harus bisa berbesar hati dalam menerima kritik, bukan hanya pujian
ReplyDelete