Tulisan ini disertakan dalam 8 Minggu Ngeblog oleh Anging Mammiri.
Saya pernah menyampaikan di sebuah seminar
kepenulisan, bahwa salah satu pendorong seorang calon penulis agar terus
bersemangat menulis adalah dengan bergabung di komunitas penulis. Di dalam
komunitas penulis, calon penulis akan mendapatkan suntikan semangat, informasi
lowongan menulis, bahkan partner diskusi karya, meskipun tidak selalu karyanya
cepat diterbitkan. Komunitas penulis yang pertama kali saya ikuti adalah Forum
Lingkar Pena yang digagas oleh Helvy Tiana Rosa (HTR). Saya termasuk angkatan
awal, meski bukan yang pertama, bergabung di FLP. Komunitas yang kini
anggotanya sudah puluhan ribu dan tersebar di berbagai negara ini, sangat berjasa dalam proses karir kepenulisan
saya.
Saya mendaftar sebagai anggota FLP dengan
mengirimkan formulir FLP yang terdapat di Majalah Annida. Ketika itu, FLP masih
bekerjasama dengan Majalah Annida, karena HTR masih menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi. Saya langsung dihubungi oleh Yeni Mulati, yang ternyata kakak kelas
saya di Universitas Diponegoro, Semarang. Berhubung dulu saya kuliah di Undip,
jadi saya masuk ke dalam FLP Semarang. FLP Semarang rupanya baru terbentuk,
launching perdana di halaman Fakultas Sastra, diresmikan oleh Dian Yasmina
Fajri yang menjabat sebagai Sekretaris FLP. HTR, DYF, dan petinggi-petinggi FLP
di mata saya bak artis, yang luar biasa.
Lalu, saya mengikuti diskusi-diskusi kepenulisan
FLP Semarang secara langsung di rumah kontrakan Yeni Mulati yang memiliki nama
pena Afifah Afra. Dia belum menjadi penulis terkenal. Baru menghasilkan cerpen
yang tersebar di beberapa majalah remaja, salah satunya tentu saja Majalah
Annida. Yang saya ingat dari obrolan saya dengan Mba Yeni adalah saat beliau
menanyakan nama pena saya. Dulu saya begitu percaya dirinya menggunakan nama
asli saya sebagai nama pena yaitu Leyla Imtichanah. Nama itu kelak tercetak di
kurang lebih 13 novel solo dan beberapa buku antologi. Di akhir tahun 2010,
saya memutuskan untuk memangkas sedikit nama saya itu menjadi Leyla Hana, agar
lebih mudah dilafalkan.
Berhubung belum ada internet, diskusi pun harus
dilakukan secara langsung, minimal sms. Tapi di situlah terasa kebersamaannya,
kami bertatap muka membahas cerpen-cerpen yang diprint dan dibagikan kepada sesama
anggota FLP Semarang. Nuansa dakwah sangat kental, di mana antara anggota
laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh tirai. Setahun kemudian, Mba Yeni
lengser dan digantikan oleh saya. Itu pertama kalinya saya mengetuai sebuah
organisasi dan bagi saya itu sangat luar biasa. Mengapa? Karena saya ini tak
pernah menjadi “orang penting” sejak kecil, akibat sikap pendiam. Saya hanya
cerewet di dalam tulisan. Aslinya sih sangat pendiam, sehingga teman-teman tak
ada yang mempercayai saya untuk menjadi ketua, sekretaris, atau jabatan-jabatan
penting di organisasi.
Padahal, sebenarnya saya punya bakat pemimpin,
eciee…. Ya, diam-diam saya suka “mengatur orang” dan membuat program. Tapi berhubung
sangat pendiam, jadi tak pernah berhasil mengikuti suksesi organisasi yang mana
dibutuhkan seorang yang vocal, alias pandai bicara. Jadi, begitu ditunjuk
sebagai Ketua FLP Semarang, alangkah senangnya hati saya. Mengapa saya
ditunjuk? Karena saya orang kedua di FLP Semarang yang cerpennya bisa menembus
majalah, setelah Mba Yeni. Bisa dibilang bahwa saya telah berpengalaman untuk kaliber
FLP Semarang kala itu. Di FLP Semarang-lah saya belajar memimpin organisasi,
membuat proposal kegiatan, dan bahkan mencari dana. Luar biasa melelahkan, tapi
sangat menyenangkan.
FLP telah mendorong semangat saya untuk terus
berprestasi di dunia kepenulisan. Sering ada pertanyaan dari calon penulis,
apakah FLP bisa membantu mereka untuk menerbitkan buku? Jawabnya, tidak. Ketika
itu, FLP belum memiliki penerbit sendiri. FLP hanya membantu memberikan
tips-tips menembus penerbit atau media, info-info lowongan menulis, dan
semangat menulis. Setelah itu, FLP mencoba mendirikan penerbitan bernama
Lingkar Pena Publishing House. Subhanallah, kelak setelah saya lulus kuliah,
saya bekerja di penerbit itu sebagai Editor. Bukan karena saya anggota FLP,
tapi karena saya memenuhi persyaratan menjadi editor. Itu kata salah satu
penyeleksi.
Akhirnya, saya menjadi penulis buku, dengan
menerbitkan belasan buku solo dan antologi, dan tetap bergiat di FLP. Kali itu,
FLP Depok sekaligus Pusat. Saya bangga pernah mengikuti rapat besar FLP dan
bertemu dengan penulis-penulis yang kini sudah kondang namanya: Helvy Tiana
Rosa, Asma Nadia, Sinta Yudisia, Afifah Afra, Jonru, Kang Abik, dan lain-lain. Langkah
saya memang lebih lambat setelah menikah dan fokus mengurus anak, tapi insya
Allah saya masih bersemangat menyusul mereka.
Bersama komunitas FLP Depok |
Kini, menjadi penulis sudah jauh lebih mudah
dengan berbagai fasilitas yang memanjakan, diantaranya internet. Calon penulis
tidak lagi harus berjalan jauh setiap minggu demi menghadiri diskusi-diskusi
kepenulisan, karena sudah banyak grup-grup penulis di Facebook. Tahun lalu,
saya membuat sebuah grup menulis di facebook bertajuk Be a Writer (BAW), berkat
dorongan seorang teman penulis. Saya berusaha mendisiplinkan anggotanya agar
benar-benar menulis, sehingga setiap hari ada jadwal menulis dan ada aturan
remove bagi yang kurang atau tidak aktif. Luar biasa, aturan itu sanggup memicu
teman-teman penulis untuk rajin menulis. Grupnya sengaja dibuat tertutup karena
banyak dokumen tulisan baik berupa cerpen maupun nonfiksi yang diupload dan
dikhawatirkan dicopypaste tanpa izin.
Selain bergiat di FB, komunitas BAW juga
beberapa kali melakukan kopi darat. Namanya juga penulis, saat kopdar pun yang
dibicarakan tak jauh dari dunia tulis penulis, dan kami lebih sering kopdar di kantor penerbit. Saya
sendiri sebagai Kepsek (Kepala Sekolah) BAW merasakan dampak yang luar biasa
dengan adanya komunitas BAW. Semangat saya semakin menggelora karena prestasi
anggota BAW yang susul menyusul membuat saya tidak mau kalah. Kapasitas saya
sebagai Kepsek hanya karena saya yang mendirikan BAW, bukan karena saya lebih
hebat, sebab banyak penulis hebat di BAW. Afifah Afra sendiri belakangan ikut
bergabung dan menambah amunisi komunitas BAW.
Bersama komunitas Be a Writer |
Tentu saja, tidak ada komunitas yang sempurna.
Di BAW juga beberapa kali terjadi konflik dan ketegangan, sehingga dua admin
lain mengundurkan diri. Bahkan, sekarang ini saya masih berusaha mencari
formula yang tepat dan jitu untuk BAW agar kembali bersemangat seperti pada
awal dibentuk. Bagi saya pribadi, kendalanya adalah kurangnya personel yang
solid. Ini sekaligus menjawab seperti apakah komunitas yang ideal itu. Anggota
BAW sangat produktif dalam menghasilkan karya, tapi kurang proaktif dalam
berorganisasi. Ini yang sulit. Sementara di dalam sebuah organisasi, setidaknya
ada susunan kepengurusan yang mau bekerja keras membesarkan sebuah komunitas.
Dalam mewujudkan sebuah komunitas yang ideal,
anggota komunitas juga sebaiknya tidak hanya berperan sebagai ikan yang
menerima pancingan, tapi juga menjadi si pemancing. Tanpa harus disuruh,
berdaya guna membesarkan komunitas tersebut dengan dorongan rasa cinta. Semoga
saja komunitas yang saya dirikan bisa mencapai tataran ideal, setidaknya dalam
pandangan saya.
Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblogoleh Anging Mammiri
hihi...baru tau Mbak Leyla pernah menjabat Ketua FLP Semarang. Berarti dah lama bgt itu ya.
ReplyDeleteSetuju dengan mbak Leyla, komunitas mendorong say auntuk terus berkarya dan tetap semangat menulis. nice artikel mbak :)
ReplyDeleteWah ternyata Mba Leyla sudah lama serius berkecimpung di dunia tulis-menulis ya. Ketika saya masih hobby membaca cerpen dan novel terbitan Lingkar Pena, Mba udah jadi Ketua FLP Semamarang :-)
ReplyDeleteKalau ngga salah BAW dibentuk tahun 2011 ya?
Seingat saya sih, Mba Leyla sempat woro-woro siapa yang mau gabung di komunitas tertutup, dengan beberapa syarat, mungkin salah satunya serius ingin menulis (redaksionalnya saya lupa) dan saya mundur teratur nggak PeDe bisa nulis dan bisa ngikutin ritme. Keputusan yang salah mungkin, namun ya.. sudahlah... ;-)
Walau tertatih saya berusaha terus melangkah :-)
Wah, seru ya pengalaman dan ceritanya. Semakin nambah semangat untuk menulis. Salam kenal mbak :D
ReplyDeleteMba Lina, Ayu, Mak Aisyah, dan Mba Anggi, terima kasih sudah mampir. Memang benar, komunitas menulis itu menyemangati.
ReplyDeleteiku nyimak , tetap semangat
ReplyDelete