Nasi uduk: salah satu makanan pinggir jalan yang enak dan murah foto: dok pribadi |
Berbicara soal makanan pinggir
jalanan, saya paling senang makan di pinggir jalan. Bukan apa-apa, harganya
memang murah meriah. Di Indonesia ini, makanan pinggir jalan memang menjadi
raja. Di kota-kota besar, sampai kota kecil, gerobak-gerobak makanan pinggir
jalan pasti ada. Yang paling terkenal adalah Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hei,
siapa sangka ternyata keunikannya justru terletak pada deretan penjual makanan
yang menawarkan makan sambil lesehan? Harganya pun sangaaat murah, sangat
terjangkau untuk kantong siapa pun. Saya pernah makan di pinggir jalan
Malioboro. Tidak lesehan, pedagangnya tidak menyediakan tempat untuk lesehan.
Memang ada yang menyediakan tempat lesehan, ada juga yang tidak. Saya membeli
satu porsi nasi, gudeg, dan telur, harganya
hanya Rp 5.000. Gudegnya enaak sekali. Suami saya bahkan sampai ingin ke Jogja
lagi, hanya untuk memakan gudegnya.
Sewaktu saya masih kuliah di
Semarang, setiap minggu pagi, saya berolahraga dan berjalan-jalan santai ke
Simpang Lima. Di sana ada pasar kaget, tempat menjual berbagai macam barang
dan… makanan! Biasanya saya sarapan bubur ayam dulu, sebelum mengitari Simpang
Lima, sekadar cuci mata. Berhubung sudah lama banget (kuliah tahun 1999), saya
sudah agak lupa makanan apa saja yang dijual di Simpang Lima. Sama saja sih
dengan di kota-kota lain, bubur ayam, bubur kacang ijo. Makanan khasnya, tahu
petis, lumpia, tahu genjrot, dan sebagainya. Kalau malam hari, Simpang Lima ini
ramai dengan tenda-tenda teh poci yang konon juga menyediakan wanita-wanita
penghibur. Berhubung saya belum pernah mampir ke tenda teh poci itu dan hanya
mendengar dari cerita orang-orang, jadi tidak bisa dipastikan kebenarannya ya,
soal wanita-wanita penghibur itu.
Selain di Simpang Lima, di dekat
tempat kos saya, Jalan Raden Saleh, Semarang, juga ada warung tenda Tempe
Penyet yang sambalnya maknyuuus. Katanya sih, tempe penyet itu asalnya dari
Surabaya. Warung tenda yang letaknya bersebelahan dengan Perpustakaan Jawa
Tengah, Raden Saleh itu, selalu penuh dengan pembeli. Mulai buka di sore
hari, antriannya sudah panjang. Perlu
menghabiskan waktu sejam untuk mendapatkan pesanan. Ada tempe dan tahu penyet,
ati ayam penyet, dan ayam penyet. Harganya sangat terjangkau. Dulu sih sekitar
7 tahun lalu saat masih kuliah, harga tempe penyetnya seporsi hanya Rp 2.000.
Resep sambalnya itu yang bikin penasaran, benar-benar bikin ketagihan. Seorang
teman saya sangat suka masakan itu, padahal dia punya gangguan pencernaan yang
cukup mengkhawatirkan. Setiap memakan tempe penyet dengan sambalnya yang
membakar itu, dia pasti bakal buang-buang air terus. Duh, kasihan. Ya, namanya
juga tobat sambal. Kami pernah melirik apa saja bahan-bahan untuk membuat
sambal itu, karena dibuat di depan mata kami. Penjualnya menguleknya langsung
di depan mata kami. Hanya bawang putih, sambal jawa yang pueeedeeesnya mantap, terasi,
tomat, gula, dan garam. Tapi kalau kami membuatnya sendiri, gak bisa
benar-benar mirip dengan aslinya.
Tragisnya, pas hamil anak
pertama, saya ngidam tempe penyet Raden Saleh. Wuaddduh… gak mungkin kan ke
Semarang hanya untuk beli tempe penyet? Saya dan suami pun mencarinya di
sekitar Depok (setelah menikah, saya tinggal di Citayam, Bogor), dan menemukan
tempe penyet di sebuah rumah makan di Jalan Margonda. Sayang, sambalnya gak
semantap tempe penyet Raden Saleh. Ngidam saya gak terpenuhi. Saya coba bikin
sendiri di rumah, tetap saja gak bisa menggantikan kenikmatan tempe penyet
Raden Saleh. Entah kapan saya bisa menikmatinya lagi. Belum ada kesempatan ke
Semarang.
Di Garut, makanan pinggir jalan
juga membludak, terutama di trotoar di Kota Garut. Pas sekali rumah mertua
masih masuk Kota Garut, jadi saya sering jalan-jalan ke Kota Garut dengan
angkot atau delman. Makanan pinggir jalan yang biasa saya temui di sana adalah
nasi kuning, bubur ayam, bakso, mie ayam, es goyobod, lotek, gorengan, banyak
lagi. Nasi kuning dan bubur ayam itu banyak sekali, mungkin setiap 100 meter,
ada penjualnya. Suami saya suka sekali nasi kuningnya. Kalau sudah pulang ke Bogor, pasti minta dibuatkan.
Kalau di Citayam sini, makanan
pinggir jalan yang favorit adalah nasi uduk, lontong sayur, lontong padang,
nasi goreng, bakmi goreng, gado-gado, ketoprak, dan banyak lagi. Semuanya saya
suka, asalkan enak. Dan tentu saja makanan pinggir jalan itu harganya
terjangkau dibandingkan makanan-makanan di restoran yang bukan saja mahal, tapi
juga kena pajak.
para pecinta makanan pinggir jalan foto dari sini |
Memang, kita harus berhati-hati
dalam memilih makanan pinggir jalan, soalnya gak semuanya higinis dan sehat.
Belakangan saya mendengar ada bubur ayam dan lontong sayur yang pakai boraks
dan pengawet. Cirinya adalah bubur dan lontongnya kenyal dan gak cepat basi.
Wah, padahal saya suka banget bubur ayam dan lontongnya, hiks. Sebelumnya juga
marak terdengar bakso daging babi di sekitar Depok dan Jakarta. Berhubung saya
muslim dan gak makan babi, tentu saja itu amat mengganggu.
Selain itu, kehadiran penjual
makanan pinggir jalan di trotoar-trotoar sangat mengganggu pejalan kaki. Saya
sering kebingungan mau jalan lewat mana, karena trotoar dipakai oleh pedagang
makanan dengan mendirikan tenda dan meletakkan bangku-bangku konsumen. Sering kali memang diperlukan ketegasan petugas Tramtib untuk mengatur keberadaan mereka. Bukannya tega, tapi memang keberadaan mereka di trotoar itu bisa sangat mengganggu para pejalan kaki. Jika arus lalu lintas sangat padat, akan menyulitkan para pejalan kaki untuk berjalan di trotoar bila ditambah dengan keberadaan pedagang kaki lima yang tak beraturan.
Namun, jangan lupa bahwa bisnis
makanan pinggir jalan ini sangat baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dan
mengasah mental wirausaha. Daripada jadi pengangguran kan lebih baik menjual
makanan. Apalagi di kota-kota besar, prospeknya sangat bagus. Asalkan jangan
karena bisnis, lalu “meracuni” pembeli dengan kandungan makanan yang gak baik. Baiklah,
mari kita dukung perkembangan bisnis makanan pinggir jalan ini sebagai salah
satu pilar ekonomi Indonesia. Bayangkan apa yang ada di belakang koki-koki
jalanan itu? Anak-anak mereka, tentu saja. Bagaimana makanan-makanan pinggir
jalan yang dihasilkan melalui tangan telaten mereka, dapat menghidupi dan
menyekolahkan anak-anak itu.
bener banget mba harus hati2 beli makanan yg murah dan dipinggir jalan untuk waspada juga, walaupun ngak semua penjual jajanan di pinggir jalan itu curang..sukses ya mba contesnya :)
ReplyDeleteaku juga seneng makan pinggir jalan, mbak. murah, ramai, enak, tapi masih terasa hangat. soalnya makannya duduknya mepet-mepet. kalau di resto, kudu duduk sendiri2 di meja masing2 :)
ReplyDeleteAku suka pecel yg di simpang lima itu mba ela, yu apa ya namanya, enaaaaaak, jd pengen lg ke semarang :D
ReplyDeleteWaah.. kalo nanti ke jalan-jalan ke Semarang, mau ke Simpang Lima aahh.. :D *Backpacker sejati*
ReplyDeleteRasa makanan pinggir jalan kadang ga kalah dg resto, cuma kalah tempat aja. klo jalan2 atau sepedaan Minggu pagi jajan pinggir jalan ga pernah terlewatkan :D
ReplyDeletesarapan nasi uduk hampir tiap hari mbak aku disini :)
ReplyDeletedi simpang lima emang banyak banget makanan enak :D dulu sama temen sering ke sana, hehe. tapi ya memang jajanan pinggir jalan kadang bikin kolesterol naik, bun :D
ReplyDeleteBahan sama, tapi beda orang hasilnya memang bisa beda ya mbak. Jadi pingin nyoba sambal itu ... :)
ReplyDeleteayoook mbak maen lagi ke semarang :D ketemu aku #eh hehehe :D
ReplyDelete