Ibu Rumah Tangga pun Butuh Komunitas

Tulisan ini diikutsertakan dalam 8 Minggu Ngeblog oleh Anging Mammiri Minggu Kedelapan

Sering sekali kita mendengar ibu rumah tangga yang stress dan depresi, padahal sehari-hari ada di rumah. Kalau dipikir-pikir, di rumah itu kan enak ya? Bisa tidur dan makan sesukanya, tidak ada yang memerintah. Lain kalau bekerja di kantor, terikat peraturan kantor. Makan hanya bisa di jam makan siang. Kerja tidak boleh sambil mengobrol. Belum lagi kalau bos galaknya minta ampun. Tapi kenapa kok malah banyak ibu rumah tangga yang stress, bahkan depresi? Kadang saya juga bingung saat ada teman sesama ibu rumah tangga, yang hidup berkecukupan, suami mapan, anak-anak sehat, tapi kok depresi sampai dirawat di rumah sakit? Ada apa, hayo?

Setelah menjadi ibu rumah tangga, baru deh saya merasakan bahwa pekerjaan itu tidak ringan. Memang sih di rumah saja, tapi capeknya menyamai kuli bangunan. Lah iya, biarpun di rumah, tetap saja mondar-mandir kayak setrikaan. Kadang saya menatap semua pekerjaan rumah tangga dan tak habis pikir. Ternyata mereka punya deadline juga. Lantai harus disapu, kalau gak disapu-sapu ya kotor bukan main. Kasian kan anak-anak main di lantai yang kotor. Cucian piring juga harus dicuci, kalau gak ya numpuk dan gak ada piring lagi untuk dipakai sebagai wadah makan. Baju harus dicuci, dijemur, dan disetrika, kalau gak ya gak ada baju lagi untuk dipakai. Belum kamar mandi, tempat tidur, beres-beres rumah, dan sebagainya. Whoaaa… ternyata 24 jam tak cukup.

Ketika belum punya anak, memang masih nyantai. Saya bisa menghasilkan naskah buku, karena leluasa mengetik. Pekerjaan bisa disetting waktunya, yang penting selesai. Setelah punya anak? Nah ini dia yang bikin semuanya jadi deadline. Bermain dengan anak tidak bisa disambi-sambi. Apalagi kalau masih bayi di bawah setahun. Lengah sedikit, jatuh. Kepalanya terbentur atau tubuhnya memar. Sudah pasti ibunya yang disalahin. Memang sih semua pekerjaan itu bisa beres kalau ada PEMBANTU. Masalahnya, gak semua pembantu bisa bekerjasama dengan majikan, dan gak semua majikan bisa memperoleh jasa pembantu dengan mudah. Contohnya saya. Sulit sekali menemukan orang yang mau bekerja di rumah saya. Lagipula, kalau sudah keasyikan dengan pembantu, begitu mereka gak ada, justru terasa lebih capek saat memulai melakukan semuanya sendirian.

Ruang lingkup pekerjaan yang dibatasi oleh dinding rumah berukuran 90x100 meter persegi itu rupanya juga bikin tersiksa oleh rasa bosan. Letak rumah yang agak terpencil, dengan hanya memiliki satu tetangga yang ada di dekat rumah, membuat saya malas berjalan agak jauh untuk bergaul dengan tetangga. Pada awal punya anak satu dan masih digendong-gendong, saya memang masih suka kumpul-kumpul dengan ibu-ibu tetangga. Setelah anak tiga, kok waktu menjadi sangat terbatas, sehingga gak sempat lagi keluar di sore hari untuk bercengkrama dengan tetangga. Padahal, tak bisa dipungkiri bahwa ibu rumah tangga juga makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan manusia lain. Butuh ngobrol dan curhat, selama masih dalam batasan tidak membuka aib pribadi dan orang lain.Kadang-kadang sih kelepasan juga. Itu yang bikin saya malas bergaul dengan tetangga, khawatir tak bisa menjaga lisan.

Syukurlah, teknologi internet memudahkan persoalan gaul ini. Sambil mengerjakan tugas rumah tangga, saya bergabung dengan komunitas ibu rumah tangga di facebook. Wah, ada ya komunitas ibu rumah tangga? Ada, dong! Komunitas ini bertujuan untuk menyemangati para wanita yang memilih peran sebagai ibu rumah tangga penuh, alias full time mother. Istilah full time mother ini sering menjadi perdebatan, karena part time mother alias working mom tidak setuju kalau disebut “ibu setengah waktu.” Padahal, memang benar, karena mereka tidak sepanjang hari bersama anak-anak. Jadi, ya kita tak perlu terlalu sensi dengan istilah-istilah macam itu.

Ternyata berkumpul dengan ibu-ibu yang senasib sependeritaan memang mengasyikkan. Tema obrolannya nyari sama, tentang anak, pekerjaan rumah tangga, masakan, dan lain sebagainya. Saya bisa melepaskan beban stress setelah mengobrol bersama mereka, meski tak jarang ada konflik-konflik kecil karena perbedaan pendapat. Kami juga mengadakan kopi darat beberapa kali, dan isinya hanya mengobrol dan berkenalan saja. Ada juga ibu yang membawa barang dagangan, khas ibu rumah tangga. Banyak ibu rumah tangga yang mencoba berjualan dari rumah, agar tetap bisa mengawasi anak-anak. Banyak juga ibu yang  penulis, jadi obrolan kami juga diselipi tentang dunia tulis menulis.

Berkumpul dengan komunitas dengan idealisme yang sama, sangat membantu pencapaian diri kita. Selain menghilangkan kejenuhan, saya mendapatkan banyak dampak positif, misalnya jadi bisa lebh pandai memasak karena ada ibu yang jago masak dan berbagi resep masakan. Ilmu mengurus anak pun bertambah, karena kami berbagi mengenai perawatan anak, misalnya saat anak sakit. Ada juga ilmu berkomunikasi dengan suami. Kami bahkan membuat jadwal kuliah agama di hari Jumat, di mana ada anggota grup yang memposting tulisan tentang agama.

Kopi Darat Komunitas Ibu Rumah Tangga
23 oktober 2011

Sayangnya, komunitas ibu rumah tangga itu hanya aktif selama kurang lebih setahun. Semua bermula dari admin yang gaptek, gagap teknologi. Eh, ini sungguhan. Namanya juga ibu rumah tangga, memang sudah lazimnya gaptek. Nah, gara-gara gaptek, si admin tidak bisa menyetting grup menjadi close atau secret, paahal banyak obrolan ibu rumah tangga yang secret. Tiba-tiba ada anggota grup yang berjenis laki-laki, menulis thread di grup itu. Tercenganglah kami. Bagaimana bisa laki-laki masuk ke grup ibu rumah tangga? Saat ditanya, katanya diadd oleh anggota grup. Waduh! Jangan-jangan selama ini siapa saja bisa memasukkan anggota dan tidak ada seleksinya? Admin pun sulit dimintai penjelasan, karena sibuk mengurus anak, tidak bisa online setiap saat.

Admin juga kurang tanggap dengan situasi dan kondisi grup, sehingga tidak tahu kalau ibu bekerja pun masuk ke dalam grup. Ketika admin memposting pendapat-pendapatnya yang bertujuan untuk menguatkan ibu rumah tangga, ibu bekerja pun meradang karena dianggap menyindir mereka. Padahal, ibu bekerja itu yang salah masuk grup. Dan namanya juga ibu-ibu ya, sedikit-sedikit sensi. Wong maksudnya mau menyemangati ibu rumah tangga, ibu bekerja yang protes.Admin pun diprotes habis-habisan, sehingga tak mau lagi mampir ke grup. Bahkan menutup facebooknya selama-lamanya.

Sejak itu, komunitas yang saya cintai pun menjadi sepi. Saya pernah berusaha menghidupkannya kembali dengan memposting tema-tema kerumahtanggaan, lagi-lagi saya mendapatkan bombardir dari ibu bekerja yang tidak puas. Hadoh, susah juga ya kalau begitu. Saya tidak bisa mengendalikan grup karena kuncinya ada di admin. Lah iya, yang bikin grup kan si admin itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya saya tinggalkan juga grup itu, sebuah komunitas yang pernah menyalakan semangat di dada saya untuk menikmati peran sebagai ibu rumah tangga.

Jadi, sebuah komunitas akan bertahan lama dan tetap hangat, manakala pendiri komunitas bisa mengelola komunitasnya dengan baik dan memiliki pendamping yang membantu pekerjaannya. Anggota komunitas juga dapat bekerjasama, bersemangat dalam bekerja di komunitas itu, dan menghilangkan bibit-bibit perpecahan. Bahasa ini tentu berat kalau diterapkan di dalam komunitas ibu rumah tangga. Terakhir, seorang teman membuka komunitas serupa (setelah komunitas yang pertama bubar), tapi hanya bertahan sedikit lebih lama, yaitu dua tahun, dan kini mulai ditinggalkan anggotanya satu per satu. Kuncinya lagi-lagi ada di admin, karena adminnya tidak aktif ya komunitasnya bubar.

Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog oleh Anging Mammiri