Tulisan ini disertakan dalam 8 Minggu Ngeblog yang diadakan oleh Anging Mammiri minggu keempat.
Belakangan ini saya baru
menyadari kalau saya sudah diblock dari hubungan pertemanan di facebook oleh
seorang teman facebook yang sudah beberapa kali kopi darat. Kami bergabung di
sebuah grup rahasia, dan sering curhat-curhatan bersama kurang lebih 49 anggota
lainnya. Jadi, bisa dibilang hubungan kami sudah dekat. Nah, saya baru sadar
kalau saya diblock olehnya, saat saya membaca status seorang teman, yang juga
temannya, dan dia mengomentari status itu tapi saya tak bisa membaca komentarnya.
Kejadian itu sudah beberapa kali berlangsung, sehingga sampailah saya pada
kesimpulan bahwa saya diblock. Kalau kita diblock oleh teman FB, otomatis kita
tak bisa melihat jejaknya lagi di FB, baik itu status maupun
komentar-komentarnya.
Subhanallah! Saya terkejut
menyadari bahwa saya diblock, mengingat kami pernah curhat-curhatan. Saya
memang suka bercanda, mungkin ada komen saya yang menyakitinya. Tapi setelah
saya telusuri, kata teman saya yang lain, teman saya itu memang sekarang jadi
suka memblock teman FB. Ada beda pendapat sedikit, langsung block. Eh, saya
juga pernah lho kesal sama seorang teman FB, tapi tak sampai memblock, hanya
meremove. Jadi kan bisa diadd lagi. Itupun saya menyesal sudah meremove, karena
sudah jatuh ke dalam sikap tidak dewasa. Iya memang, beda pendapat dikit saja
kok main remove, apalagi main block. Memblock itu sama saja dengan memutuskan
hubungan silaturahmi ya, karena kan sudah gak bisa kontak-kontakan lagi.
Di dunia sosmed ini, banyak
sekali perbedaan pendapat yang bisa bikin bertengkar. Di twitter ada istilah
twitwar. Seru sekali membaca twitwar dari dua tokoh yang berseberangan. Yang tidak
seru adalah membaca komentar-komentar penonton yang sering kelewat batas. Bisa jatuh
pada tindakan menghina dan mencacimaki. Perbedaan pendapat itu lumrah, wong
Allah SWT saja menciptakan manusia dengan berbagai warna: berbagai bangsa,
suku, ras, agama, perilaku, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Bayangkan
jika semuanya hanya berwarna putih, tentu dunia ini tak sedap dipandang, karena
yang terlihat hanya warna putih.
Kolaborasi warna di angkasa,
justru menciptakan pelangi yang indah tiada tara. Memaksakan warna kita kepada
orang lain, tak ada gunanya selama masing-masing memiliki warna idaman. Berdasarkan
pengalaman saya, saat melakukan debat, tak ada tuh yang akhirnya mengalah. Yang
ada malah bertengkar tak berkesudahan. Masing-masing tetap kukuh memegang
pendapatnya. Jadi, percuma saja melakukan perdebatan jika tak dimulai dengan
hati yang bersih dan menyingkirkan kesombongan.
Sebuah perdebatan, jika diniatkan
untuk mencari ilmu, akan diakhiri dengan sikap legawa menerima pendapat orang
lain. Namun, jika sudah diawali dengan niat untuk menunjukkan bahwa dirinyalah
yang benar, maka akan diakhiri dengan permusuhan tak berkesudahan. Sedih saya melihat
orang-orang yang ngakunya “beragama” tapi saling mencacimaki hanya karena ada
perbedaan pendapat. Bahkan ada yang saling mengkafirkan. Sebenarnya mudah saja.
Tugas kita hanya menyampaikan sebuah kebenaran yang kita yakini, itu saja. Selanjutnya,
terserah orang itu mau menerima atau tidak. Jadi, perdebatan itu tak perlu. Diam
lebih baik, jika orang yang mendebat kita terus mencecar tak karuan.
Apalagi kalau sampai memutus
hubungan silaturahmi hanya karena perbedaan pendapat. Sebuah tindakan tak
dewasa. Saya juga pernah melakukannya dan saya mengakui bahwa saat itu saya
masih kurang dewasa dalam menerima perbedaan pendapat. Toh, setelah meremove
teman, tak ada perubahan pada teman itu. Dia tetap pada pendapatnya. Jadi buat apa saya memaksakan pendapat? Hidup
dengan damai saja, nikmati warna yang ada di sekitar kita. Hitam, putih, merah,
hijau, biru, membentuk pelangi kehidupan yang sangat indah.
Indahnya pelangi di angkasa dengan berbagai warna gambar dari sini |
betul banget mba Leyla, tapi i2lah manusia beda2, perbedaan itu yang membuat indah sesungguhnya, kata urang Minang rambuik buliah samo hitamnyo tapi isi kapalo sia nan tahu 'rambut boleh sama hitam tapi pemikran siapa yang tahu'...
ReplyDeletemiss u mba Leyla :D
Hebat Mbak Ley, terharu bacanya. Ternyata dikau sangat berbesar hati.
ReplyDeletememang, kalau di sosmed itu.. yah siapa yang tahu mbak.. kadang2 orang gak ke tebak..
ReplyDeleteSETUJUUU Sama mba Leylaa...
ReplyDeleteHidup emang harus dinikmati, kalau gak dinikmati kapan lagi saya setuju dengan tulisan mba ini.. sangat setuju
ReplyDelete