Beberapa hari lalu, saya membaca
curhatan senior dan yunior dalam waktu berdekatan.
Senior: “Pengen ikut lomba-lomba
nulis itu, tapi kok malu ya… padahal sih cuek aja.”
Yunior: “Sebaiknya lomba-lomba nulis
itu dipisahkan pesertanya antara penulis senior dengan penulis yunior seperti
saya. Jelas saja saya kalah, lawannya senior. Yang menang dia lagi-dia lagi.
Gak seimbang nih.”
Hihihi… saya ketawa-ketiwi
sendiri membaca dua status yang bertolak belakang itu. Yang senior pengen ikut
lomba, tapi malu. Malu itu bisa karena dua hal: Pertama, malu kalau kalah.
Kedua, malu kalau menang. Lhooo… menang kok malu? Ya itu, kalau jadi dicibirin
peserta lain, “yaaah jelas dia menang, kan senioooor… harusnya klo udah senior
ya jangan ikut lomba lagi, dong!”
Sedangkan status si yunior di
atas itu lebih menggelikan. Mana bisa lomba diatur hanya untuk yunior? Sponsor
lomba tentunya menginginkan tulisan yang terbaik sebagai kompensasi hadiah
lomba yang sudah mereka berikan. Kalau tulisan yang masuk jelek-jelek, rugi
dong.
Sejujurnya, saya juga pernah
gemes pas ikut lomba, eh yang menang dia lagi-dia lagi. Tapi setelah saya
pikir-pikir, ajang lomba ini bisa untuk mengasah kreativitas dan kualitas
tulisan. Saya pelajari tulisan pemenang, dan menyadari kelemahan-kelemahan
tulisan saya. Coba kalau yang menang itu juga jelek tulisannya, kan saya jadi
gak belajar. Berpikir bahwa kemenangan itu hanya hoki. Hmm… ada juga sih lomba
nulis yang setelah dibaca tulisan pemenangnya, eh kok ga layak menang ya? Ada
yang bilang sih itu tergantung subyektivitas juri. Kalau sudah soal
subyektivitas juri, saya nyerah deh.
Intinya, ikut lomba ya ikut lomba
saja. Kalau belum menang juga, berarti
harus lebih banyak belajar. Kalau yang menang ternyata tulisannya biasa saja,
berarti peluang untuk yunior juga terbuka lebar. Artinya, gak selalu senior itu
menang terus. Kesempatan terbuka untuk siapa saja, yang penting usaha, usaha,
dan usaha. Masa karena sudah senior, terus kita melarang mereka ikut serta?
Sehubungan dengan senioritas, saya cukup sering memperhatikan pemenang-pemenang lomba. Memang ada yang seriiing menang, tapi setelah diperhatikan, ternyata dia pernah kalah juga. Malah pernah saya lihat penulis yang belum pernah kelihatan sepak terjangnya, tahu-tahu menang hadiah utama. Kesempatan untuk menjadi pemenang, terbuka untuk siapa saja, terutama untuk yang mau belajar. Kalau sudah ikut terus dan masih belum menang, berarti masih harus banyak belajar. Ada hubungannya juga dengan rahasia rezeki. Kalau belum menang, berarti belum rezeki kita. Masih banyak lomba lain yang bisa dikejar.
Prinsip saya, jadikan menulis sebagai kesenangan, bukan obsesi mendapatkan sesuatu, terlebih lagi materi. Kalau sudah obsesi ke materi, jadinya hitung-hitungan. "Sudah banyak buang waktu untuk nulis, tapi belum ada hasilnya juga, huh!" Pernah berpikir begitu? Berarti kita masih menjadikan materi sebagai tujuan menulis. Memang sih, mau dapat materi dari menulis sah-sah saja, tapi kalau dijadikan tujuan utama, bakal tertekan. Mending pindah profesi saja, deh. Nah, ternyata saya tidak bisa pindah profesi, karena memang sudah suka menulis. Mau menang atau kalah, tetap nulis. Tapi kalau menang, semangat nulis lebih tinggi. Wajarlah, setiap orang kan butuh apresiasi.
So, ayo nulis, nulis, nulis. Hasilnya, serahkan saja pada Allah. Selamat menulis dan... ikut lomba! :-)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....