Di setiap hari Kartini, entah mengapa, selalu
ada liputan tentang wanita-wanita
tangguh. Begitu juga pagi ini, 21
April 2011. Dan entah mengapa,
selalu saja yang disebut “tangguh” itu adalah wanita-wanita yang mengendarai
busway, truk, menjadi petinju, pembalap,
dan semua pekerjaan “laki-laki” lainnya. Terus terang, aku merasa
tersinggung. Seakan-akan seorang wanita itu dikatakan “tangguh” apabila melakukan pekerjaan laki-laki. Lalu, apa
artinya aku yang sehari-hari murni melakukan pekerjaan wanita? Apakah
itu berarti aku bukan seorang wanita yang tangguh?
Ya, pekerjaanku sehari-hari benar-benar
hanya pekerjaan wanita yang berkisar antara dapur, sumur, dan kasur. Oke,
sekarang ini aku memang tidak begitu berperan di dapur dan sumur, karena
mendapat bantuan dari asisten rumah tangga sejak beberapa bulan yang
lalu. Namun, aku juga tidak lepas tangan begitu saja. Aku tetap merawat
dan mengasuh anak-anakku sendirian,
karena aku tinggal jauh dari orang tua dan keluarga besar. Asisten rumah
tanggaku hanya membantuku dalam urusan pekerjaan rumah tangga.
Suami
memboyongku ke pelosok Bogor, tinggal berdua di rumah yang kecil, empat bulan
setelah menikah. Jauh dari orang tuaku, dan lebih jauh lagi dari mertua yang
tinggal di kampung. Satu per satu anak kami lahir, dengan rentang usia hanya
setahun. Tatkala si sulung baru berusia lima bulan, aku hamil lagi. Anak kedua
lahir ketika kakaknya berusia satu tahun. Masa-masa itu adalah masa-masa yang
melelahkan bagiku.
Beberapa
kali aku mengganti ART (Asisten Rumah Tangga) dengan beragam alasan. Intinya,
setiap kali jeda pergantian ART, meninggalkan kesan yang sulit dilupakan.
Bayangkan, mengasuh dua bayi sekaligus sendirian! Aku sempat stress, frustasi, hampir pingsan, dan mau
mati. Lho? Memangnya apa yang aku lakukan? Ah, bukan apa-apa. Aku hanya ibu
rumah tangga. Sumpah. Bukan pekerjaan laki-laki. Bukan pembalap. Bukan petinju.
Pagi-pagi, aku bangun seperti ibu-ibu
lainnya. Langsung mandi, karena badan bau ompol anak-anak yang sedang dilatih
tidak pakai diapers. Belum dua menit di kamar mandi, si dede sudah menyusul bangun. Menangis
meraung-raung, lalu mengompol
lagi. Kalau tidak segera digendong, bisa-bisa dia muntah. Keluar kamar mandi,
aku langsung mengepel pipis
dan muntahan. Menggendong dan mendiamkannya, sampai suamiku gentian
menggendong anak-anak.
Selesai salat, aku langsung mengerjakan
tugas rumah tangga, karena waktuku mepet. Suamiku hanya bisa membantu menjaga
anak-anak sampai jam 7 pagi, karena harus ke kantor. Aku
ngebut melakukan semuanya. Cuci piring, cuci baju, dan sering disambi dengan
memandikan anak-anak. Memasak makanan untuk sarapan, membuatkan susu, semua
seperti tidak ada hentinya. Aku bahkan tidak sempat
untuk duduk dan sering lupa makan. Padahal, aku harus menyusui si bungsu.
Masih lekat dalam ingatanku, ketika baru
selesai memandikan anak-anak. Belum sempat kupakaikan baju, karena disambi
dengan menjemur pakaian, anak-anak berbarengan BAB. Yang sulung, kotorannya
menempel di tembok. Yang bungsu, kotorannya ke mana-mana, karena ia berlarian. Tubuhku sudah sangat letih,
sementara jam di dinding baru menunjukkan pukul 8 pagi!
Berhubung kedua anakku masih batita dan
semuanya masih toilet training, maka
kesibukanku tidak lepas dari membersihkan pipis dan pup mereka. Sampai-sampai
aku berpikir, “masa lulusan sarjana kerjaannya cuma bersihin pipis dan ee?!”
Memang, kadang-kadang mereka dipakaikan diapers, tapi tidak sering. Sebab,
terlalu sering memakai diapers juga tidak baik. Anak-anak tidak dapat cepat
mengenali pipis dan pup, juga buruk untuk ekonomi keluarga. Anak sulungku
menyusu botolnya kuat, sebulan bisa habis empat kaleng ukuran 900 gram. Apabila
ditambah dengan pembelian diapers untuk dua batita, bisa dibayangkan berapa
biaya yang harus kami keluarkan.
Pengalaman
anak sulungku yang memakai diapers dari usia 3 bulan sampai setahun, tidak bisa
cepat mengenali pipis dan pupnya. Sampai umur 2,5 tahun, belum bisa bilang
kalau mau pipis. Kalau tidur pasti mengompol. Sedangkan adiknya sebaliknya.
Sejak bayi hanya sesekali dipakaikan diapers. Usia 1,5 tahun sudah bisa bilang
pipis dan kadang-kadang pipis sendiri di toilet. Kalau tidur juga tidak
mengompol, kecuali kalau cuaca dingin. Jadi, aku benar-benar harus bersabar
mengurusi pipis dan pup mereka.
Betapa sering anak-anakku terluka, karena
terjatuh ketika sedang bermain. Orang-orang menyalahkanku yang teledor, tidak
bisa menjaga anak-anak dengan baik. Bukannya tidak menjaga, tapi memang seluruh
badanku remuk tak berdaya karena mengerjakan semua tugas rumah tangga
sendirin dan mengasuh anak-anak.
Anak-anak berlarian ke sana ke mari. Pipis dan buang kotoran berganti-ganti.
Lantai belum kering, mereka sudah berlari-lari. Akibatnya… gedubrak! Si
kakak gigi tengahnya patah, gara-gara terjatuh dari mobil mainannya. Hanya
karena aku meleng sedikit. Setiap kali ingat itu, aku selalu menyalahkan diriku
yang tidak becus menjaga anak-anak. Juga keadaanku yang tanpa bantuan
siapa-siapa.
Mengurus
anak-anak saja sudah kewalahan, apalagi ditambah dengan pekerjaan rumah tangga yang berjibun. Dua kali
kakiku terkena setrikaan, menimbulkan luka berbekas yang tidak hilang. Gara-gara
aku nekat menyelesaikan tumpukan setrikaan yang menggunung, sambil
sesekali menyusui si dede yang masih sering terbangun di malam hari. Aku hanya
bisa menyetrika pakaian pada malam hari, karena siang hari anak-anak bisa
mengganggu pekerjaanku. Mereka sering ingin bermain-main dengan setrikaan.
Tentu aku tidak ingin celaka dua kali.
Setiap
malam menjelang tidur (upacara menidurkan anak-anak juga sebuah pekerjaan yang
melelahkan dan sering membuatku stress), aku merasa tulang-tulang persedianku
lepas semua. Tubuhku pegal-pegal dan seakan remuk. Sehari rasanya seabad. Yang
jelas, aku tidak mau berada di dalam kondisi itu selamanya. Setiap
hari aku berpikir, “mengapa pekerjaan rumah tangga tidak selesai-selesai?”
Bahkan, aku sempat mengkonsumsi vitamin penambah stamina, seakan-akan
pekerjaanku itu bagaikan pekerjaan seorang buruh bangunan. Aku tidak ingin
fisikku drop, karena nanti tidak ada yang mengurus anak-anakku.
Rasanya, bekerja di kantor, biarpun
menghabiskan perjalanan 4 jam pulang pergi, tidak membuat tubuhku pegal-pegal
dan rontok, seperti saat melakukan pekerjaan rumah tangga. Aku pernah
kerja kantoran sebelum menikah. Biarpun sering dimarahi bos, menerobos
kemacetan Jakarta, lembur tiap weekend, aku tidak pernah merasa
se-stres saat melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak
sendirian.
Menjadi
ibu rumah tangga tidak ada berhentinya. Malam hari pun masih harus terbangun
melayani anak-anak yang minta susu atau rewel ketika sedang sakit. Kedua anakku masih menyusu, yang satu
sufor, lainnya ASI. Terkadang keduanya tidak mau berkmpromi. Si dede terus saja
menyusu ASI, tidak mau memberikan kesempatan kepadaku membuatkan sufor untuk
kakaknya. Sumpah. Lebih baik aku
menjadi wanita karir, bekerja di kantor atau apa pun, daripada menjadi ibu
rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga itu sangat berat. Secara psikis dan
ekonomi juga tidak kalah.
Seoang
ibu rumah tangga juga harus pintar menyiasati uang belanja yang dititipi oleh suami, sementara harga cabai dan
bumbu dapur melonjak jadi seratus ribu per kilo-nya. Jika punya
penghasilan tambahan, mungkin akan membantu. Tapi kalau tidak punya, harus bisa
berhemat. Jika dulu sewaktu masih kerja kantoran aku bisa membeli baju baru
setiap bulan, maka setelah mengundurkan diri, aku hanya membeli baju saat
lebaran. Tapi itu tidak masalah, yang penting makan anak-anak tercukupi.
Aku
sempat beberapa kali ikut tes seleksi calon pegawai. Ya, aku sempat ingin
bekerja lagi dan meninggalkan tugasku mengasuh anak, karena merasa tidak sanggup.
Aku sempat berpikir tega, lebih baik menitipkan anak-anak kepada pengasuh
daripada anak-anak diasuh oleh ibu yang stress. Aku merasa tidak sanggup
menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Aku merasa bosan bersama dengan anak-anak
terus. Terlebih saat belum punya penghasilan tambahan. Rasanya apa yang kulukan
itu tidak ada artinya, karena tidak diimbali materi.
Namun,
setiap kali melihat anak-anakku yang tumbuh sehat dan ceria, aku kembali
mundur. Rasanya aku tidak ingin menukar kebahagiaan mereka dengan sejumput
materi. Tak kubayangkan meninggalkan
mereka di tangan pengasuh atau ART yang akan memberikan bekas masa kecil yang
pahit, seperti yang terjadi padaku. Memang, tak semua pengasuh dan ART itu
jahat, tapi aku mengalami masa-masa dipukuli oleh ART ketika kecil. Itu
membekas dalam benakku.
Toh,
akhirnya memang aku tetap menyewa ART untuk membantu tugas-tugas rumah
tanggaku, tapi anak-anak tetap ada dalam genggamanku. Aku bersyukur masih hidup sampai hari ini dan bisa
melewati masa-masa sulit itu. Saat ini pun aku masih direpotkan dengan mengurus anak-anak yang sering
berantem, cakar-cakaran, rewel bersamaan. Mengatur keuangan rumah tangga.
Haduuh… pusing… tanggal gajian suami masih lama, tapi uang belanja sudah habis.
Menyiapkan menu makanan yang setiap hari berputar-putar itu-itu saja.
Dan aku yakin, banyak pula ibu rumah
tangga sepertiku. Sayangnya, mereka tidak dikategorikan ke dalam wanita-wanita
tangguh, karena tidak bisa menyopiri busway, truk gede, apalagi menjadi
pembalap. Phiuh…..
Selamat
Hari Kartini, ibu-ibu yang di rumah! Anda adalah para wanita tangguh terbaik di
dunia sejak sebelum Kartini lahir, sampai hari ini!
Menjadi Ibu Rumah Tangga nggak semudah yang aku kira...
ReplyDeleteaku harus banyak belajar nih sebelum ke jenjang itu... :)