Para penulis berjilbab: Sita Sidharta-Aku- Rahmadiyanti-Asma Nadia. Jilbab tak menghalangi aktivitas |
Mengenang kembali ketika aku
mendapatkan hidayah untuk memakai hijab. Saat itu, di akhir kelas dua SMA, aku
sedang berjalan-jalan dengan teman-temanku ke sebuah mall besar di Serpong,
yang dekat dengan sekolahku. Biasanya, kami ke mall untuk nonton film terbaru
di bioskop, sekadar cuci mata, kongkow-kongkow, atau makan Pizza. Di antara
kami bertiga, ada satu teman yang sudah memakai hijab sejak masuk SMA. Aku dan
seorang teman lain, belum berhijab. Temanku yang berhijab itu tak memberikan
alasan masuk akal mengapa dia berhijab, selain bahwa dia mengikuti tradisi di
keluarganya. Jadi, aku pun tak tergerak untuk berhijab.
Di keluargaku dulu, tidak ada
yang memakai hijab. Ibuku juga tidak. Zaman aku sekolah dulu, perempuan yang
berhijab masih langka. Kalau ada teman perempuan yang memakai hijab, pasti
langsung menjadi pusat perhatian. Aku, yang semula cuek bebek dengan hijab,
mendadak tersadarkan saat membaca buku tentang muslimah. Aku sudah lupa
judulnya, tetapi itulah buku Islam pertama yang menginspirasiku. Buku yang
memberikan banyak ilmu mengenai bagaimana seorang muslimah bersikap,
berpakaian, dan beribadah. Buku itu kubeli di toko buku yang ada di dalam mall
tempatku hendak menonton bersama teman-teman. Sambil menunggu loket pembelian
tiket dibuka, kami jalan-jalan dulu ke toko buku. Entah mengapa, aku tertarik
untuk mendatangi rak-rak yang memajang buku-buku islami, sedangkan temanku
menyasar ke rak komik Jepang. Dan, di rak buku islami itulah kutemukan buku
yang menjadi pembuka jalanku mengenal Islam. Aku pun membeli buku itu, padahal
uangku pas-pasan. Kurasa, itulah cara Allah untuk memberiku petunjuk.
Di rumah, kubaca pelan-pelan buku
yang ditulis dengan bahasa mengesankan dan menggugah, membuat dadaku berkobar
dan bergetar. Aku, yang dilahirkan dalam keadaan Islam, tapi tak banyak
mengenal Islam, terutama disadarkan mengenai kewajiban memakai hijab. Aku
terguncang saat membaca hadits berikut, yang ada di dalam buku itu:
Rasulullah Saw bersabda, “Ada
dua golongan yang penduduk neraka yang aku belum pernah lihat sebelumnya: Kaum
yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia (maksudnya
penguasa yang zalim), dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi
telanjang, cenderung kepada kemaksiatan,
dan membuat orang lain cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka
seperti punuk unta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak masuk surga dan tidak
mencium bau wanginya. Padahal, bau wangi surga itu tercium dari jarak
perjalanan sekian dan sekian waktu (jarak jauh sekali).” (HR. Muslim)
Buku itu menjelaskan keterangan
hadist di atas, yang intinya salah satu dari penghuni neraka yang tidak akan
masuk surga (bahkan mencium baunya pun tidak bisa), adalah wanita yang
berpakaian tetapi telanjang. Seperti apakah wanita yang berpakaian tetapi
telanjang? Yaitu, wanita yang berpakaian tidak menutup aurat yang disyariatkan
oleh Al Quran dan Hadist Rasulullah Saw, berpakaian tipis sehingga
memperlihatkan lekuk tubuh, berpakaian tertutup
tetapi ketat sehingga bentuk tubuh masih terlihat. Dengan pakaian
semacam itu, wanita tersebut mendorong orang lain (para lelaki) untuk berbuat
kemaksiatan.
Disebutkan pula bahwa Allah Swt
berfirman, “Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka tidak dikenal, dan demikian
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS:
Al Ahzab: 59).
Sebatas apakah aurat wanita dapat
dilihat? Dari hadist riwayat Aisyah ra, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai
Rasulullah dengan pakaian tipis. Lantas Rasulullah berpaling darinya dan
berkata, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid, maka
tak ada yang layak terlihat kecuali ini dan ini,” sambil beliau
menunjuk wajah dan telapak tangan.
Cukuplah dalil-dalil yang
mewajibkan memakai hijab, di mana kita hanya boleh memperlihatkan muka dan tangan
kepada orang yang bukan mahram. Subhanallah, aku tak perlu berpikir panjang
untuk mengenakan hijab. Hidayah Allah begitu mudah memasuki diriku, setelah
datangnya pengetahuan tentang hijab. Aku tak perlu berpikir bahwa yang penting
menjilbabi hati dulu, atau menjadi baik dulu, dan sebagainya, seperti yang
menjadi alasan banyak wanita yang enggan berjilbab.
Setelah mendapatkan ilmu tentang
hijab itu, aku mengutarakan keinginan berjilbab di depan ibuku. Ibuku terkejut,
“kamu yakin?” tanyanya. Tanpa ragu, aku mengangguk semangat. Ibuku bertanya
lagi, “tapi, kalau kamu sudah pakai jilbab, kamu tidak bisa melepasnya lagi.
Kamu harus terus memakai jilbab.”
Mungkin memang aku ini orang yang
serba instan, pikirku, “memangnya kenapa harus lepas-lepas lagi?” Apa susahnya
sih pakai jilbab, sampai harus dilepas lagi? Aku tak berpikir soal godaan yang
mungkin akan datang, tak pernah terpikir bahwa ternyata memakai jilbab itu
berat. Saat itu yang penting sudah kutunaikan salah satu kewajiban seorang
muslimah bahwa memakai jilbab itu wajib. Ibuku pun mulai membuatkan seragam
sekolah yang baru untukku (di akhir kelas 2 SMA! Sebenarnya kan tanggung ya,
sebentar lagi aku lulus SMA), seragam panjang dan jilbab putih.
Aku begitu bersemangat memulai
hariku yang baru, memakai hijab. Pakaian panjang dan jilbab penutup kepala. Memang,
ketika itu belum banyak ilmu agama yang kuserap, jadi akhlakku pun masih belum
baik. Kalau sekarang banyak yang bilang, “Ih, udah pakai jilbab kok begitu ya?”
Silakan tunjuk jari telunjuk kalian ke arahku, sebab setelah memakai jilbab (di
kelas 3 SMA), aku justru pacaran! Lho? Yaaa… berilmu itu kan proses. Saat
berpacaran, aku belum tahu kalau pacaran itu dosa, biarpun aku sudah pakai
jilbab.
Lama-kelamaan, seiring dengan
konsistennya berjilbab, ilmu pengetahuanku bertambah. Allah Swt memasukkan
ilmu-Nya sedikit demi sedikit. Diberitahukannya kepadaku bahwa pacaran itu
haram, justru saat aku sudah duduk di semester satu kuliah. Setelah itu,
kuputuskan hubunganku dengan pacarku. Allah mengetahui setiap apa yang
tersembunyi di dalam hati seseorang, apakah orang itu benar-benar ingin menuju
kepada kebaikan atau tidak? Maka, diberinya jalan kepadaku untuk terus mendekat
kepada kebaikan. Didekatkannya aku dengan orang-orang baik, komunitas
pengajian, dunia dakwah, dan lain sebagainya, yang membuatku terus bertahan
dengan jilbabku meski dihadapkan pada
berbagai ujian. Misalnya, sulit mendapatkan pekerjaan gara-gara jilbab. Alhamdulillah,
aku dijauhkan dari lingkungan kerja yang buruk, justru karena memakai hijab.
Aku bekerja di institusi muslim, sehingga senantiasa berhubungan dengan
orang-orang yang konsisten dalam kebaikan.
Allah pun memberikan jodoh yang terbaik untukku, yang
diperoleh tidak melalui jalan pacaran. Jodoh yang juga instan—lewat taaruf—tapi
tidak asal-asalan. Jodoh yang mendukungku untuk terus berproses menjadi baik,
sebab tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sekalipun sudah memakai
hijab, tak akan terlepas dari kesalahan.
Seorang muslimah yang cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya, akan segera mengamalkan segala perintah Allah dan
tuntunan Rasul-Nya tanpa banyak alasan dan pengingkaran. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil Allah dan Rasul-Nya, adalah
ucapan, “kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan kemenangan.” (QS: An-Nur 51:52).
Memakai hijab, yaitu kain panjang
yang menutupi seluruh tubuh dan jilbab penutup kepala sampai ke dada, adalah
perintah Allah yang sudah termaktub di dalam ayat-ayat Al Quran, dan dijelaskan
dengan gamblang oleh Rasulullah mengenai batasannya (kecuali muka dan telapak
tangan). Perintah yang jelas dan tak bisa dibantah.
Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya wanita-wanita
Quraisy memiliki keutamaan. Dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang
lebih percaya kepada kitab Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya melebihi
wanita-wanita Anshar. Ketika turun kepada mereka ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya” (QS An-Nur:31), maka para suami segera mendatangi
istri-istrinya dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka
membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita, dan semua
kerabat wanita. Dan tidak seorang pun di antara wanita itu, kecuali segera
menyambar kain gorden (tirai) untuk menutupi kepala dan wajahnya, karena
percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya.”
Bagaimana dengan kita? Sudahkah
kita mencintai Rasulullah, meyakini dan menjalankan ajarannya, termasuk tentang
pemakaian hijab (termasuk jilbab) tanpa banyak berpikir, beralasan, dan
pengingkaran? Jika para wanita di zaman Rasulullah dulu, langsung menyambar
kain gorden untuk menutupi kepala dan tubuhnya,setelah mendengar perintah Allah
Swt agar berhijab, bagaimana dengan kita?
Subhanallah... Saya juga pakai jilbab sejak kelas 2 SMA mbak. Salah satu buku juga menjadi motivasi saya untuk semakin memantapkan diri ^_^
ReplyDeleteSubhanallah... semoga tulisan ini bisa berdampak untuk para muslimah yang belum berhijab... amin...
ReplyDeleteMasya Allah 4 bidadari aamiin.
ReplyDeleteLike post mb, Bukti cinta itu ya dari mulai yg kecil hingga yang terhijabi :)
seneng euy baca cerita2 postingan mbak leyla :)
ReplyDeletesemoga selalu istiqomah ya mbak :)
Senang bisa bertemu dan kenal denganmu, Teh. Dah lama ya gak ketemu lagi ^_^
ReplyDeleteKapan ya saya bisa bergabung (^_^)/
ReplyDelete