“Buat apa anak perempuan sekolah
tinggi-tinggi? Paling juga nanti baliknya ke dapur,” begitu kata ayahku, sesaat
setelah kutunjukkan surat pemberitahuan bahwa aku lolos masuk Perguruan Tinggi
Negeri di Semarang tanpa tes.
“Gak apa-apa. Kalau Ayah gak mau
biayain, Mamah yang akan biayain kamu. Kamu harus jadi Sarjana, supaya di
keluarga kita ada yang jadi sarjana,” mamahku menguatkan tekadku.
Ya, meskipun ayahku sempat
meragukan kepergianku untuk menuntut ilmu ke Semarang, kulangkahkan kakiku ke
sana. Kesempatan untuk masuk PTN tanpa tes itu tidak boleh disia-siakan. Kapan
lagi aku bisa mendapatkannya? Aku berhasil mendapatkan tiket masuk itu karena selalu rangking satu di kelas tiga
SMA.
Saat itu, di keluarga besarku
memang belum ada yang menjadi sarjana, apalagi sarjana dari Perguruan Tinggi
Negeri. Orang tuaku bukan orang berada, hanya Pegawai Negeri Sipil golongan
tiga A dengan gaji masing-masing di bawah satu juta. Mereka juga bukan sarjana,
sehingga mamahku bersikeras agar anak-anaknya menjadi sarjana, meskipun
semuanya perempuan dan kondisi ekonomi keluarga kami pas-pasan. Aku tak ingin
menyia-nyiakan kerja keras Mama, yang sudah bekerja siang malam demi bisa
menyekolahkanku dan adik-adikku. Biaya kuliah di PTN memang relatif terjangkau
karena ada subsidi pemerintah, tapi juga ada biaya hidup sehari-hari yang harus
ditanggung sendiri; biaya kos dan makan. Aku harus berhemat agar semua biaya
tertutupi dengan kiriman orang tuaku yang pas-pasan. Saking hematnya, aku sampai
terkena penyakit thypus, akibat mengirit makan dan makan sembarangan (beli
makan di pinggir jalan yang murah meriah).
Sedihnya waktu itu, karena Mamah
harus mengeluarkan biaya rawat inap di rumah sakit. Tak ada tanggungan dari
kantor, semua murni uang Mamah. Aku tak boleh mengecewakan Mamah. Belajar
dengan giat dan tak menyiakan waktu. Aku juga mulai cari uang sendiri dengan
menulis cerpen di majalah dan mengikuti lomba menulis novel. Honornya bisa
kugunakan untuk sekadar fotokopi tugas kuliah atau biaya makan sehari-hari.
Kerja kerasku menampakkan hasil, ketika IPK-ku selalu di atas 3.
Demi kuliahku, tubuh Mamah kurus
kering. Masih kuingat saat aku ketinggalan kereta dan Mamah membelikanku kereta
eksekutif dengan harga dua kali lipat dari kereta bisnis. Mamah juga masih
harus mengganti uang tiket yang telah dikeluarkan oleh temanku, karena aku
memesan tiket lewat temanku.
Akhirnya, aku diwisuda setelah
kuliah selama 3,5 tahun (termasuk cepat untuk ukuran Sarjana S1) dan mendapat
IPK dengan predikat cumlaude, 3,62. Mamah dan Ayah datang mendampingiku wisuda,
terlihat senyum terkembang di bibir mereka. Selalu ada kebanggaan di bibir
Mamah kala menceritakan tentangku kepada teman-teman kantornya.
Subhanallah, kerja keras bunda yang satu ini luar biasa pastinya utk mengejar senyum orang tua.... semoga yg baca bisa mengambil ibrah ya, Bund...
ReplyDeleteSalam dari http://faridwajdi.com