Duo ganteng yang bossy ^^ |
Orang yang sombong adalah orang yang tidak mau menerima kebenaran dan
suka meremehkan orang lain (HR. Muslim)
Kejadiannya setahun lalu waktu
saya belum melahirkan anak ketiga. Dua anak saya, baru berumur 4 dan 3 tahun. Keduanya
laki-laki dan sangat aktif, sampai saya kesal dibuatnya. Namanya juga masih
balita, apa-apa minta diladeni, seperti minta susu, minta makan, ditemani main,
nonton teve, dan lain-lain. Berhubung saya sedang banyak proyek menulis, saya
jadi kesal karena sedikit-sedikit si kakak dan dede berteriak, “Mama, susuu…
Mama, jajaaaan… Mama, e-ee….” Pusing rasanya kepala saya. Mana kalau minta itu
mesti dua-duanya barengan. Kompak banget, deh.
Namanya perempuan itu kan suka
curhat, iya gak sih? Gitu juga dengan saya. Berhubung saya nih jarang gaul sama
ibu-ibu tetangga di sekitar rumah, jadi teman curhat saya kebanyakan ada di
dunia maya. Saya bergabung dengan grup FB untuk ibu-ibu muda (yang suka curhat
:D), grupnya tertutup kok, jadi curhatannya gak bisa dibaca oleh nonmember. Membernya
juga hanya sekitar 40 orang, dan hanya sekitar 15 orang yang aktif.
Dulu, saya pernah baca di sebuah
majalah, kalau perempuan itu lebih sering stress daripada laki-laki, tapi
perempuan juga lebih panjang umur daripada laki-laki. Lho, kok sering stress malah
panjang umur? Soalnya, perempuan suka curhat! Rupanya, curhat itu bisa
meringankan beban, meskipun belum tentu dapat mengatasi masalah. Kenyataannya
memang terbukti pada saya. Kalau saya sedang stress, terus curhat, stressnya
bisa hilang. Jadilah saya sering curhat di grup itu, dan seneeeng deh kalau
banyak yang memberi komentar di status curhat saya, merasa terhibur dengan
komen-komen yang masuk, yang rata-rata menyejukkan hati.
Berkaitan dengan kekesalan saya
terhadap anak-anak yang masih harus dilayani ini-itu (bossy), curhatlah saya di
grup itu. Komentar pun berdatangan, seperti “sabar aja ya, anakku juga gitu. Emang
repot, deh, tapi nanti kita kangen klo mereka udah gede.” Atau, “sabar ya, emak
hebat, salut deh bisa ngasuh anak kecil-kecil gitu. Aku yang cuma satu aja,
repotnya bukan main.” Dan
komentar-komentar bernada empati dan simpatik lainnya, sampai ada komentar yang
gak enak banget.
“Masa anak dibilang “bos,” sih,
Bu? Anakku malah tiga lho, tapi aku enjoy
saja melayani mereka. Harusnya tuh bersyukur, dikasih anak yang sehat dan
ganteng-ganteng. Dikasih kesempatan mengasuh, merawat, dan mendidik mereka,
pahalanya kan gede lho….”
Jleb. Seperti ada panah yang
menusuk jantung saya, padahal komentarnya pendek saja, tapi saya gak suka
dengan komentarnya. Menurut saya, komentarnya itu sok tahu banget deh, bukannya
bersikap empati dan simpati, malah seperti menghakimi, mengatakan kalau saya
gak bersyukur (emang bener, sih!). Emang dia tahu apa penderitaan saya
(halaaaah, kayak menderita aja hihihi….).
Ndalalaaah… gak cukup dengan
meninggalkan komentar yang gak enak, dia juga menulis curhatan saya di status
FB-nya! Idiiih… gemaaas, deh! Untung aja yah gak ada yang komen di statusnya
itu. Bayangkan kalau banyak yang komen, trus ikut-ikutan menyudutkan saya,
padahal mereka gak tau permasalahannya dan siapa yang sedang disinggung.
Namanya juga orang lagi kesel,
trus dikasih nasihat yang gak enak di hati, bukannya masuk ke hati malah mental
dah tuh nasihat. Setelah itu, saya gak mau curhat di grup itu lagi. Kalau
curhat pun, saya pilih-pilih. Jangan sampai malah jadi boomerang buat saya, di
mana ada orang yang justru menari-nari kesenangan dengan penderitaan saya
(halaaaaah). Tapi, setelah saya pikir-pikir, ya nasihatnya itu memang ada
benarnya juga sih. Apalagi setelah masalahnya diperjelas, dengan adanya
postingan baru dari member lain mengenai keakraban member grup yang semakin
berkurang. Si dia muncul lagi dan minta maaf kalau komentar-komentarnya
terkesan sok tahu, menyudutkan, menghakimi, atau tidak enak diterima hati. Dia
sih gak berniat untuk menyakiti, hanya ingin menasihati, tapi mungkin caranya
yang kurang bisa diterima.
Sehubungan dengan
nasihat-menasihati, sebagai sesama muslim, kita memang harus saling menasihati
kalau ada yang salah. Permasalahannya hanya cara menasihatinya itu, bagaimana
supaya bisa diterima dengan lapang dada oleh penerima nasihat. Orang yang tidak
mau menerima nasihat, tergolong orang yang sombong, padahal sombong itu
selendang kebesaran Allah Swt, artinya hanya Allah yang boleh sombong.
Astaghfirullah! Saya menyadari
bahwa saya lebih suka menerima nasihat yang enak di hati, atau berpihak kepada
saya. Saya tidak suka nasihat yang terkesan menyalahkan, menghakimi, dan
menyudutkan. Manusiawi sih, tapi setelah waktu berselang, saya jadi memikirkan
omongannya. Menatap anak-anak saya yang memang sehat-sehat dan ganteng-ganteng.
Lalu, membandingkan mereka dengan anak-anak lain yang diuji dengan kekurangan
fisik ataupun mental. Astaghfirullah! Saya memang tidak bersyukur!
Apalah arti permintaan mereka,
dibandingkan bila saya harus merawat anak yang mengalami penyakit berat, cacat
fisik, atau cacat mental? Anak-anak saya cuma minta susu, makan, ditemani main,
dan permintaan remeh temeh lainnya. Hanya karena saya sok sibuk, jadi merasa terganggu
dengan permintaan mereka. Ya, teman FB saya itu benar. Nasihatnya itu 100%
benar, hanya penyampaiannya yang salah. Lama-lama, dia juga memperbaiki caranya
memberi nasihat. Dan hubungan pun jadi adem.
Walaupun begitu, sekarang saya
juga pilih-pilih tema kalau mau curhat (jiyaaah… curhat kok pilih-pilih). Manusia itu memang tempatnya keluh kesah, tapi banyak bersyukur bakal lebih
banyak mendatangkan nikmat. So, selama
kesulitan saya itu masih diatasi sendiri (apalagi cuma karena anak-anak yang bossy), saya coba atasi sendiri. Atau,
curhatnya ke suami, karena suami kan lebih tahu kondisi di rumah. Dulu itu,
saya agak malas curhat ke suami karena suka gak dijawab (haghaghag….). Dan
ternyata yang lebih adem memang curhat ke Allah Swt. Ini serius! Rupanya kalau
yakin Allah akan membantu, bantuan itu memang datang. Dulu saya berargumen,
bahwa curhat itu butuh feedback, atau
lawan bicara yang menanggapi curhat kita. Sedangkan Tuhan kan hanya mendengar. Ternyata
setelah saya yakin, curhat sama Allah, sehabis salat, doa saya hanya: “Ya
Allah, mudahkan semua urusanku.” Kun fa
ya kun. Allah kabulkan.
Contohnya hari ini. Di saat
setrikaan menumpuk, belum harus ngurus anak-anak, masak, nyuapin, termasuk
menuangkan isi kepala ke dalam tulisan. Rasanya 24 jam gak cukup. Saya
membatin, “duh, setrikaan kok gak kelar-kelar ya?” Sehabis salat, saya mohon
sama Allah. “Ya Allah, mudahkan semua urusanku. Semoga setrikaan cepet kelar
dan saya bisa nulis.” Alhamdulillah! Setrikaan bisa selesai! Allahu akbar. Rasanya
gak percaya, padahal itu setrikaan udah menggunung, dan sekarang saya bisa
nuliiiisss…..
hadeuuhh saya jadi ikut melirik setrikaan habis baca tulisanmu, mba ley. btw, join ah jadi bubil hihihi
ReplyDeleteTerima kasih ya, Leyla. Eh aku panggil nama aja nggak apa-apa, ya? Soalnya tadi pas kepoin fesbukmu, kita seumur, lho. Aku juga dipanggil Della aja, ya, nggak usah ada embel-embel :)
ReplyDeleteTerima kasih partisipasinya, sudah aku catat, yaa.. :)
sama mbak, kadang sy juga suka kesel kl ada yg nasihatin sy tp caranya gak kena buat sy.. pdhl maksudnya baik ya.. sy juga ikutan labil ah :D
ReplyDeleteHihihih... rasanya wajar mak sesekali kita menemukan titik jenuh dalam lingkungan rumah, dan mak leyla sendiri udah tau persis bagaiman keluar dari itu. Seep, tetap semangat dan tetap ikhtiar ya mak *peluuk
ReplyDeletewanita itu suka curhat. atau mengeluh? hihihi...
ReplyDeletembbaaa aku mau dong kalo mba leyla bikin grup curhat, xixixi hasrat curhat ku kurang tergali akhir2 ini
ReplyDeletesaya sendiri juga seperti itu., sebenarnya nasehatnya baik, namun ego menang dan pada akhirnya menjadi bersikap defensif. Indahnya curhat pada Yang Maha Mendengar dan Maha Kuasa, Maha Mengetahui ya.. Curhat lah malam ini.. :-D
ReplyDelete