Bayiku, Muhammad Salim Luthfi,
kini usianya sudah 3,5 bulan. Lihatlah tingkahnya semakin menggemaskan. Dia
sudah mencoba miring-miring ke kiri, dan bahkan berhasil tengkurap. Semula aku
merasa tak siap menerima kehadirannya, karena kedua kakaknya masih balita.
Tetapi kini aku tak siap bila ditinggalkannya. Sebentar saja kutinggalkan, sudah
rindu tak kepalang. Ingin terus kucium dan kepeluk dirinya. Membaui tubuhnya
menimbulkan sensasi tak terlukiskan, meskipun dia belum dimandikan. Kadang aku
kesal dengan tangisannya yang tak berhenti, terutama bila sedang capai atau
masuk angin. Namun, kucoba bersabar dan syukuri kehadirannya. Naluriku sebagai
ibu, cenderung mengasihinya dan selalu ingin melindunginya.
Aku dan putra ketigaku |
Kuhapus air mata yang jatuh tanpa
bisa ditahan, kala memandang foto temanku sedang mencium jenazah bayinya. Ya,
bayinya yang baru berumur 5 bulan, sudah diambil kembali oleh pemilik-Nya. Seakan
Dejavu, mengingatkanku pada kejadian hampir empat tahun silam, saat bayi
sahabatku juga diambil oleh Allah di usia 5 bulan. Ah, mengapa aku harus dekat
dengan tangis kedua bunda itu, yang notabene sahabatku?
Euis Cholisoh, demikian nama
lengkap saudariku, sahabatku selama di kampus Ekonomi, Undip. Kami nyaris
selalu bersama-sama, di kos maupun di kampus. Aku menikah lebih dulu, dia
menyusul setahun kemudian. Saat dia baru hamil anak pertama, aku sudah hamil
anak kedua. Aku mengikuti perkembangan kehamilannya, karena kami masih sering
menelepon. Putra sulungnya lahir dengan mudah, namanya hampir mirip dengan nama
anak sulungku, Hani. Anak sulungku, Ismail Haniyya.
Aku dan Euis, berfoto saat masih kuliah |
Hani, demikian sulungnya
dipanggil. Tampan dan menggemaskan. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba
Hani sakit! Aku tak berpikir bahwa sakit Hani akan parah. Hanya dua minggu
kemudian, suami Euis mengirim sms bahwa Hani meninggal dunia! Innalillahi wa
inna lillahi rojiuuun…. Airmataku menderas. Kutelepon Euis, mencoba berbicara,
tapi tak bisa. Suaminya memberi kabar bahwa Euis drop, bahkan hilang ingatan.
Kami diminta untuk mengirim doa. Ah, ingin rasanya aku memeluk Euis, tapi
tempat tinggalnya sangat jauh dengan tempat tinggalku. Dia tinggal di Surabaya,
sedangkan aku di Bogor. Dari suaminyalah aku mengetahui kabar Euis. Euis butuh
waktu dua bulan untuk memulihkan ingatannya. Dia pula yang meneleponku setelah
kesadarannya pulih dan menceritakan kronologisnya.
Hani, rupanya telah menderita
penyakit kelainan jantung bawaan sejak dalam kandungan. Penyebabnya tak bisa
diprediksikan. Mungkin karena Euis pernah jatuh waktu hamil tiga bulan, mungkin
juga karena kelainan genetik.
“Pantas, Hani gampang kedinginan
dan tubuhnya membiru kalau mandi kelamaan. Aku gak tau… aku baru tau, tapi
sudah terlambat….” Euis berucap dalam isaknya.
Suara putra keduaku terdengar
menangis. Euis pun berkata, “aku jadi ingat Hani…. Kalau masih hidup, dia
pasti….”
Dan, tiga tahun kemudian,
kejadian yang sama terulang kepada sahabat mayaku, Mba Eni Martini. Putra
ketiganya, Gibran, juga diambil kembali oleh Allah di usia 5 bulan. Tak sanggup
kubayangkan bila kejadian itu menimpaku. Sungguh, mereka adalah bunda yang kuat
dan tegar. Euis memang sempat hilang ingatan sepeninggal Hani, tapi dia segera
pulih dan memiliki buah hati lagi. Putra keduanya menjadi pelipur lara. Mba Eni
lebih cepat bangkit, meski kuamati status-status facebooknya masih kerap
bernada sedih, terutama bila teringat Gibran. Ya Allah, sungguh, bagi seorang
ibu, kehilangan buah hati adalah musibah yang sangat berat. Teringat saat berat
mengandung dan melahirkannya. Teringat kejapan matanya. Teringat celotehannya.
Mba Eni Martini, ketegarannya membuatku berkaca |
Hanya sebuah janji dari Allah
yang menguatkan mereka, bahwa buah hati yang diambil saat masih bayi dan
anak-anak, kelak akan menjadi tabungan di akhirat. Penyelamat orang tuanya dari
siksa api neraka. Aaamiin…. Ya, kedekatannya dengan Allah SWT yang membuat
kedua sahabatku dapat bangkit dari keterpurukan sepeninggal buah hati mereka.
Mereka yakin bahwa Allah lebih sayang kepada buah hati mereka. Tiadalah
berputus asa semua insan yang dekat dengan Allah SWT. Setiap ujian dan musibah
telah diukur menurut kadar kesanggupan kita.
Maka, sebelum kita merasa problem kita amat berat, berkacalah dahulu
dari kisah-kisah orang lain, barangkali mereka memiliki problem yang lebih
berat dari kita, dan kemudian membuat kita tersungkur, mengucap syukur karena ujian yang kita terima tidak lebih berat
daripada orang lain. Kalaupun iya, yakinlah bahwa di balik kesulitan selalu ada
kemudahan, dan setiap ujian adalah peningkatan derajat ketakwaan kita bila kita
dapat memaknainya dengan benar.
SAya pernah dalam kondisi nyaris. Ah, rasanya seperti nyaris mbak Leyla, karena suami saya sempat mimpi Athifah "pergi", ada juga satu orang mimpi hal yang sama. Ia diare sampai dirawat di RS (kisahnya itu yang saya tulis di antologi Ketika Buah Hati Sakit).
ReplyDeleteDuh, campur aduk rasanya. Alhamdulillah Allah masih menakdirkan dia ada di antara kami. Sekarang dia makin kritis dan ceriwis (waktu sakit itu 2 tahun lalu, di usia 4 tahun)
Alhamdulillah, mba Mugniar masih diberikan kepercayaan oleh Allah untuk menjaga Athifah. Anak sakit saja sudah panik ya..
DeleteMasya Alloh...menggetarkan hati, Bunda..
ReplyDeleterasa kehilangan itu memang berat,
hanya keikhlasan yang bisa mengobatinya..
Aku udah baca..dari pertama mba ela posting...tapi memang komennya kupending karena hari yg sama jg baca postingan yg bikin nyesekk..nangisss
ReplyDeleteNggak tahu mo bilang apa Mbak, rasanya kata "sabar" gitu nggak cukup ya, krn tak semudah yg diucapkan.
ReplyDeletedulu, aja pas Urfa baru lahir, dan baru dibawa pulang, semalam di rumah eeeh dia muntah darah buanyaaaaak...sampai tubuhnya penuh. gemetaran...langsung boyong bw ke UGD, dan hrs membiarkan dia opname selama seminggu di RS. di ruang kusus bayi kan gak boleh ditunggui hanya boleh ngintip dari jendela luar sambil nangis.
Alhamdulillah, semua tesnya negatif.
Eh...btw..mba ela cantik banget waktu kuliah hihihi...
ReplyDeletesaya baru mau komen mba Ela cakep di foto itu.. :)
ReplyDeletebaca ini saya teringat sahabat saya yang kehilangan buah hatinya krn lahir sblm wktnya. Bahkan dia belum sempat menggendongnya.. :|
*nyesek..
komen ...
ReplyDeleteaku juga ikutan event-nya mbk +Aida kok (ngandeng di belakang mbk Windi yang lagi maen kereta-keretaan ama Bunda Leyla... ituuud , yaaaa...)
betewe, belum dapet kesempatan menjalani tugas mulia itu pun aku udah merasa kehilangan, Bund...
Makasih untuk semua komentarnya. Duh, gak bisa komen satu-satu karena internetnya dudul.
ReplyDeleteUtk komen OOT semacam penulisnya cakep, alhamdulillah memang demikian adanya :)
Salam kenal mba, saya pun baru saja ditinggal anakku, sama seperti Hani anakku pun sakit jantung, dia hanya bertahan 2 minggu dari kelahiran dan wafat 18 sept kemarin, berat sangat..terutama aku belum sempat menggendongnya..tapi mungkin ini yang terbaik, jagoanku azkha sudah di surga sekarang
ReplyDeleteSaya jg kehilangan putri pertama saya dan msh satu2nya, Keenan Kirana Ar Razi. Ktk berumur 18 bulan. dia tiba2 sakit pas Uda kerusakan ah sakit sdh gak ketolong lagi. 06-11-2016, 23.50 WIB RSAL Surabaya . Kadang saya. Menggila. Gak menerima kenyataan ini lalu q sibukkan dg aktifitas dan pekerjaan yg melelahkan. Smg anak anak kita sll diberikan tempat yg terbaik disisiNya. Amin
ReplyDeleteSediihh
ReplyDeleteSaya jg 2 bln yg lalu kehilangan ank saya, di usia 31 hari jagoan kecilku diambil oleh Allah krn lahir sebelum waktunya. Sebulan dia berjuang di ruang nicu dg segala obt2andan alat dtubuh kecilnya. Sampai saat inipun saya msh sering menangis, sedih, menyalakan diri sendiri. Kadang sampai gk ada semangat hdup. Saya menanti 3 thn untuk dpt mengandung. Namun Allah lebih sayang kpd ank saya. Saya baru bisa menggendong ank saya ketika dia telah meninggal. Ujian ini sangat berat buat saya. Saya jg sdh berjuang untuk bangkit, tapi air mata ini sering tak bisa ditahan. Selalu teringat dg alm. Ank saya. Ketika lht bayi digendong ibunya, hati ini ingin memeluk dan menggendong ank sendiri.
ReplyDelete