Thursday, December 6, 2012

Saat Dia Tertidur di Sampingku

Kenangan manis di Kebun Binatang Ragunan

“Sendiri aja, Neng…? Kagak sama lakinya?”
“Kagak, kan udah cerai gua….”
“Lah emang ngapah?”
“Ribet punya laki. Mending kayak gini, enak ke mana-mana, gak cape.”
“Bukannya enak punya laki? Ke mana-mana kan ada yang nganterin?”
“Gak enak. Capek. Banyak maunya….”
“Kagak kawin lagi?”
“Gak ah. Enakan sendiri, bebas….”
“Ama supir angkot aja, bakalan dianterin ke mana-mana.”
“Ogah, ah… gua gak level sama sopir…. Lagian gua bisa kok sendiri ke mana-mana, gak perlu punya laki.”


Percakapan itu terjadi antara supir angkot dan seorang penumpangnya yang duduk di depan. Seorang penumpang wanita yang langsung menarik perhatianku ketika menaiki angkot, usai mengurus KTP di Kantor Kecamatan. Wanita itu berpotongan rambut pendek seperti laki-laki, dengan kacamata hitam di atas rambutnya. Beberapa jerawat menghiasi kulit wajahnya yang putih. Lumayan cantik, tapi juga menakutkan. Terlebih dengan komentar-komentarnya mengenai pernikahan. Dari kesimpulanku, agaknya ia baru saja bercerai dari suaminya karena lelah “bersuami.”

Ketika aku duduk di dalam angkot, dia menengok ke belakang dan melirik bayiku sekilas. Lalu, dia meminta rokok kepada supir angkot, yang dijawab dengan gelengan kepala karena Pak Supir tidak merokok. Syukurlah, Pak Supir tidak merokok, jadi bayiku tak terganggu asap rokok. Tapi, aku geram mengingat niat si wanita untuk merokok, padahal dia sudah melihat bayiku. Apa yang membuatku teringat terus percakapannya dengan si supir? Tak lain dan tak bukan, percakapan itu kebetulan sesuai dengan perasaanku saat itu yang sedang kesal bukan main dengan suamiku. Wah, kenapa bisa kebetulan begitu ya?

Bukannya enak punya laki? Ke mana-mana ada yang nganterin?

Ucapan si supir angkot terngiang-ngiang di kepalaku. Pertanyaan yang juga baru saja berputar-putar di kepalaku. Punya suami kok gak membantu… mesti urus KTP sendiri… mana jauh… bawa bayi dua bulan, pula…. Dan ucapan si penumpang wanita tentang, “Gue bisa kok sendiri ke mana-mana, gak perlu punya laki,” seakan menyindirku yang bergantung kepada suamiku.

Huuufff….
Anganku melayang, pada status-status sinis seorang penulis wanita yang baru saja bercerai dari suaminya. Bunyinya kira-kira begini, “Hai, kalian, istri yang punya suami baik… apa kalian pernah terpikir suami kalian akan menendang kalian ketika kalian sedang sakit?!”

Aku jengah membaca status-status facebook penulis wanita itu, yang belakangan bernada sinis, bukan hanya kepada “mantan suaminya,” tetapi juga kepada wanita lain yang beruntung dikaruniai suami baik. Pernikahan yang dijalaninya seakan neraka, dan tak ada satu hal pun yang perlu disyukuri dari ikatan suci di depan Tuhan yang pernah dijalaninya itu. Tentu saja ada… ya, ada… bukankah pernikahannya tidak dipaksa? Setidaknya, dia pernah mencintai suaminya… dia pernah merasakan mahligai kasih sayang yang menyemburatkan rona merah pada malam-malam pengantin baru…..

Pernikahan, di mata para lajang yang belum teracuni trauma pernikahan, terlihat indah. Sehari menjelma Ratu, dan selamanya mendampingi Sang Raja dalam mengarungi hidup. Menjadi pengantin baru, adalah momen paling indah dalam hidup pasangan suami istri. Sebuah perayaan cinta, baik itu mewah maupun sederhana, menerbitkan aura bahagia yang terpancar dari wajah keduanya. Begitu juga denganku, enam tahun lalu. Meski tak selalu berjalan sesuai impian, segalanya terasa indah. Bersanding dengan lelaki paling tampan—menurutku—yang melamarku setelah bertemu satu kali.

Saat dilamar
Lamaran impian: dia mengatakan sendiri dengan bibirnya, “Maukah kamu menjadi istriku?”
Kenyataannya: Ustadznya yang menanyakan, “Jadi, anti mau gak sama dia?”

Saat menanyakan mahar
Mahar yang kumau: tidak usah mahal-mahal, 10 gram emas sajah. Mudah-mudahan barakah.
Kenyataannya: 17 gram emas sesuai tanggal pernikahan, kalau hanya 10 gram, terlalu sedikit (kata ibunya). Belum-belum dia sudah lupa tanggal pernikahan kami. Yang benar, tanggal 18, jadi seharusnya kurang 1 gram lagi….

Saat resepsi
Resepsi impian: kami duduk di pelaminan dengan rona wajah bahagia
Kenyataannya: dia cemberut terus, bahkan saat difoto pun cemberut dan dimarahi fotografer. Alasannya, “aku belum makan sejak dari Garut…. Lagian, baju pink ini bikin malu….”

Saat malam pengantin baru
Impianku: kami duduk bersisian di tempat tidur, lalu dia memegang tanganku, mencium keningku, dan mengobrol sepanjang malam, sebab kami belum banyak mengenal.
Kenyataannya: dia berkata, “capek yah?” dan tak lama yang terdengar adalah suara dengkurannya yang keras dan membuatku tak bisa tidur semalaman.

Saat menikah
Aku ingin selalu bersama-sama dengannya, dan memimpikan hal-hal standar semacam diantar ke mana-mana. Kenyatannya, ya tidak mungkin lah…. Dia punya jam kerja yang padat. Pagi berangkat ke kantor, pulang menjelang tengah malam. Seperti halnya saat membuat KTP. Dia tak bisa mengantarku ke Kecamatan, meskipun hanya satu jam. Suamiku seorang karyawan yang berdedikasi tinggi, melebihi bawahannya. Sering kudapati sms dari bawahannya yang izin atau cuti demi mengantar istrinya ke rumah sakit atau bahkan sekadar menengok mertua yang sedang sakit. Suamiku? Dia sama sekali tidak mau mengajukan izin atau cuti demi hal-hal remeh semacam mengantar istrinya membuat KTP. Bahkan, dua kali aku melahirkan tanpa didampinginya, karena dia masih di kantor. Dia selalu bilang, “mandiri, dong… biasakan bepergian ke mana-mana tanpa aku, karena aku gak akan bisa selamanya bersamamu….”

Maka, saat menaiki angkot itu, di antara tangis yang tertahan (karena sudah dua kali bolak-balik mengurus KTP, pertama meninggalkan bayi berusia dua bulan yang menangis minta ASI, kedua membawa si bayi yang terus menyusu sepanjang jalan), aku memikirkannya. Mengapa dia tak mau meluangkan waktu satu jam saja menemaniku mengurus KTP? Atau, hal-hal lain? Sementara beberapa suami (aku terpikir bawahan suamiku yang begitu setia kepada istrinya dan suami temanku yang selalu mengantar temanku ke mana-mana berhubung pekerjaannya tidak mengikat), mau meluangkan sedikit waktunya untuk sang istri.

Lalu, seketika itu juga, aku dipertemukan oleh si penumpang wanita yang menyindirku melalui kata-kata yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyindirku (dia kan tidak tahu aku lagi kesal sama suamiku).

Gue bisa kok sendiri ke mana-mana.. gak perlu punya laki….

Ups, itu bukan berarti aku juga mau melepaskan lelakiku.
Lalu, aku teringat lagi kisah si penulis wanita yang juga baru bercerai dari suaminya karena sering mengalami kekerasan fisik dan tidak diberi nafkah.
Suamiku?

Dia seorang lelaki yang bertanggung jawab. Dedikasinya kepada pekerjaan (sampai tidak mau izin atau cuti untuk hal remeh-temeh), adalah agar pekerjaannya berjalan lancar dan tidak sampai dipecat (apalagi di kantornya sedang gencar pengurangan pegawai). Semua itu demi memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anak istrinya. Suamiku tak pernah melakukan kekerasan fisik. Suamiku sayang kepada istri dan anak-anaknya. Dan suamiku benar, aku perlu juga mandiri karena aku tak selalu terus bersamanya (amplop saja tak selalu berperangko).

Dan begitulah…. Hal-hal kecil remeh-temeh itu akan terus ada menjadi ujian dalam pernikahan kami, dan penguatnya adalah konsisten memegang komitmen pernikahan. Ada tiga anak laki-laki, buah cinta kami, yang harus menjadi bahan pertimbangan setiap kali kami ambil keputusan. Kalau sedang kesal kepada suami, maka yang kupikirkan adalah hal-hal manis yang kami jalani bersama. Meskipun kemarin dia tidak sempat mengantarku mengurus KTP, banyak kenangan manis yang dia lakukan untukku. Salah satunya adalah menungguiku di rumah sakit, saat aku hampir melahirkan prematur. Dalam keadaan sedang berpuasa ramadan, suamiku rela menyuapiku makan. Dia tertidur di samping tempat tidurku karena kelelahan, dan hanya berbuka dengan sisa makananku, saking tak ingin meninggalkanku sendiri. Ketika dia terpaksa meninggalkanku karena harus kembali bekerja keesokan harinya, dia menatapku lama seakan tak ingin pergi (sebenarnya aku tidak tahu juga sih isi hatinya). Semoga dengan terus mengingat kenangan manis yang kami lakukan, yang aku lakukan untuknya dan dia lakukan untukku, pernikahan kami akan terus terasa manis hingga akhir hayat. Aamiin….

Kenangan manis saat dia tertidur di samping ranjangku,
di rumah sakit

 Tulisan ini disertakan dalam "Kenangan Manis untuk Give Away Manis-Manis" 

--------------------------
Alhamdulillah, tulisan ini menjadi salah satu pemenang dalam GA Manis-Manis dan mendapatkan buku tentang SEO. 

19 comments:

  1. duh suaminya..
    kadang yg terlihat g romantis tp manissss :D

    ReplyDelete
  2. Yang namanya jodoh itu bukan yang sama dalam banyak hal, tapi lebih kepada saling melengkapi. Kelebihan yang satu digunakan untuk melengkapi kekurangan pasangannya. Ketika ilmunya sama, maka tiap hari akan terjadi adu argumentasi, masing2 merasa benar sendiri.

    Suatu ketika kita harus bisa menjadi rem manakala pasangan kita sedang meledak2 oleh suatu sebab, dan dikala lain kita harus bisa menjadi gas manakala pasangan kita lagi down atau patah semangat. Tapi meski berdampingan, rem dan gas tak boleh saling rebutan.

    Terima kasih telah ikut GA manis2.
    Salam

    ReplyDelete
  3. Saya kemana-mana selalu diantar suami tapi masih sering ngambek kalau kebetulan tidak bisa ngantar. Membaca tulisan ini saya jadi sadar kalao saya kurang bersyukur banget :)

    Sukses buat ngontesnya ya mbak :)

    ReplyDelete
  4. Saat sakit dan suami menemani... bener2 kenangan manis...

    ReplyDelete
  5. kenangan idnah bersama suami. Mungkin si perempuan yg naik angkot terlalu apa yah? hehe..

    tapi saya setuju sama mbaklah. mbak kan asyik ceritainnya.
    semoga menang,. MANIS Bgd ceritanya :D

    ReplyDelete
  6. nice... awal-awal tulisan membuat aku mikir... mikir apa ya? hmmm sesuatu lah. hehehehe

    #komen ga jelas... maaf :p

    ReplyDelete
  7. Selalu suka cara mba Leyla bercerita.. :)


    Ini maniss bangeet

    ReplyDelete
  8. Begitulah laki2, seringkali kita tak mengerti dengan kemauannya. Mirip sih mbak, dengan kasus berbeda. Kalo suami saya setia ngantar ke mana2 apalagi dia bukan orang kantoran.

    Tapi banyak hal yang sering saya tak mengerti di pikirannya (mungkin dia pun begitu ya). tapi beegitulah seninya menikah ya, bagaimana dua orang berbeda bisa harmonis berjalan di "jembatan perbedaan" (istilah suami saya)

    Sukses ya GAnya :)

    ReplyDelete
  9. barakallahu buat mba ley dan suami :)

    ReplyDelete
  10. waaaah.... co cweetttt..... suit..suit... aku senyam senyum nih baca ini... merasa tersindir.. aku manja banget, tergantung sama orang lain buat kemana-mana hingga hasilnya gak tahu jalan.. hehehe... suamimu bener, cara dia sudah membuat Leyla jadi figur yang mandiri dan tegar.
    (*tapi tetep sih penasaran dan nebak2, siapa ya penulis yang baru cerai dengan suaminya itu? hohoho)

    ReplyDelete
  11. menikah itu seperti menyatukan 2 perbedaan, ada berbagai rasa di sana.. Tp kl di ramunya pintar akan berbuah manis ya mbak :)

    ReplyDelete
  12. suaminya mbak leyla miriiip adek iparku..
    suka ceritanya :)

    ReplyDelete
  13. Saya malah bayi baru berumur sepuluh hari sdh kelayapan bikin KTP baru, terus bikin akte. Bolak-balik RT RW kelurahan kecamatan hingga Dinas kependudukan dan itu sama sekali tidak diantar suami. Sendirian saja. Merasa sedih juga tapi ya bgmn suami jelas krja, yg pasti emang bener kata suami Mbak Ela perempuan itu hrs mandiri nggak usah terlalu bergantung kepada suami. Hingga saat ini kemana pun kalau suami nggak bisa anat Saya mah nggak masalah. Diantar syukur nggak diantar juga bisa jalan sendiri. Yang penting komunikasi terus.

    ReplyDelete
  14. Mbak Leyla menjadi salah satu pemenang GA ini.
    Mohon kirim email ke saya
    (bisa dilihat di blog)

    ReplyDelete
  15. Berarti saya termasuk beruntung ya Mbak. Selama periksa kehamilan selalu ditemani suami. Sering juga imunisasi anak di bidan ditemani suami. Dan suami saya masih mau mengerjakan tugas rumah tangga, termasuk menyetrika pakaian yang sudah menjadi bagian tugasnya sepanjang pernikahan kami..hihihi..

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....