Kenangan manis di Kebun Binatang Ragunan |
“Sendiri aja, Neng…? Kagak sama lakinya?”
“Kagak, kan udah cerai gua….”
“Lah emang ngapah?”
“Ribet punya laki. Mending kayak gini, enak ke mana-mana,
gak cape.”
“Bukannya enak punya laki? Ke mana-mana kan ada yang
nganterin?”
“Gak enak. Capek. Banyak maunya….”
“Kagak kawin lagi?”
“Gak ah. Enakan sendiri, bebas….”
“Ama supir angkot aja, bakalan dianterin ke mana-mana.”
“Ogah, ah… gua gak level sama sopir…. Lagian gua bisa kok
sendiri ke mana-mana, gak perlu punya laki.”
Percakapan itu terjadi antara supir
angkot dan seorang penumpangnya yang duduk di depan. Seorang penumpang wanita
yang langsung menarik perhatianku ketika menaiki angkot, usai mengurus KTP di
Kantor Kecamatan. Wanita itu berpotongan rambut pendek seperti laki-laki, dengan
kacamata hitam di atas rambutnya. Beberapa jerawat menghiasi kulit wajahnya
yang putih. Lumayan cantik, tapi juga menakutkan. Terlebih dengan
komentar-komentarnya mengenai pernikahan. Dari kesimpulanku, agaknya ia baru
saja bercerai dari suaminya karena lelah “bersuami.”
Ketika aku duduk di dalam angkot,
dia menengok ke belakang dan melirik bayiku sekilas. Lalu, dia meminta rokok
kepada supir angkot, yang dijawab dengan gelengan kepala karena Pak Supir tidak
merokok. Syukurlah, Pak Supir tidak merokok, jadi bayiku tak terganggu asap
rokok. Tapi, aku geram mengingat niat si wanita untuk merokok, padahal dia
sudah melihat bayiku. Apa yang membuatku teringat terus percakapannya dengan si
supir? Tak lain dan tak bukan, percakapan itu kebetulan sesuai dengan
perasaanku saat itu yang sedang kesal bukan main dengan suamiku. Wah, kenapa
bisa kebetulan begitu ya?
Bukannya enak punya laki? Ke mana-mana ada yang nganterin?
Ucapan si supir angkot
terngiang-ngiang di kepalaku. Pertanyaan yang juga baru saja berputar-putar di
kepalaku. Punya suami kok gak membantu… mesti urus KTP sendiri… mana jauh… bawa
bayi dua bulan, pula…. Dan ucapan si penumpang wanita tentang, “Gue bisa kok
sendiri ke mana-mana, gak perlu punya laki,” seakan menyindirku yang bergantung
kepada suamiku.
Huuufff….
Anganku melayang, pada
status-status sinis seorang penulis wanita yang baru saja bercerai dari
suaminya. Bunyinya kira-kira begini, “Hai, kalian, istri yang punya suami baik…
apa kalian pernah terpikir suami kalian akan menendang kalian ketika kalian
sedang sakit?!”
Aku jengah membaca status-status
facebook penulis wanita itu, yang belakangan bernada sinis, bukan hanya kepada
“mantan suaminya,” tetapi juga kepada wanita lain yang beruntung dikaruniai
suami baik. Pernikahan yang dijalaninya seakan neraka, dan tak ada satu hal pun
yang perlu disyukuri dari ikatan suci di depan Tuhan yang pernah dijalaninya
itu. Tentu saja ada… ya, ada… bukankah pernikahannya tidak dipaksa? Setidaknya,
dia pernah mencintai suaminya… dia pernah merasakan mahligai kasih sayang yang
menyemburatkan rona merah pada malam-malam pengantin baru…..
Pernikahan, di mata para lajang
yang belum teracuni trauma pernikahan, terlihat indah. Sehari menjelma Ratu, dan
selamanya mendampingi Sang Raja dalam mengarungi hidup. Menjadi pengantin baru,
adalah momen paling indah dalam hidup pasangan suami istri. Sebuah perayaan
cinta, baik itu mewah maupun sederhana, menerbitkan aura bahagia yang terpancar
dari wajah keduanya. Begitu juga denganku, enam tahun lalu. Meski tak selalu berjalan
sesuai impian, segalanya terasa indah. Bersanding dengan lelaki paling
tampan—menurutku—yang melamarku setelah bertemu satu kali.
Saat dilamar
Lamaran impian: dia mengatakan
sendiri dengan bibirnya, “Maukah kamu menjadi istriku?”
Kenyataannya: Ustadznya yang
menanyakan, “Jadi, anti mau gak sama
dia?”
Saat menanyakan mahar
Mahar yang kumau: tidak usah mahal-mahal,
10 gram emas sajah. Mudah-mudahan barakah.
Kenyataannya: 17 gram emas sesuai
tanggal pernikahan, kalau hanya 10 gram, terlalu sedikit (kata ibunya).
Belum-belum dia sudah lupa tanggal pernikahan kami. Yang benar, tanggal 18,
jadi seharusnya kurang 1 gram lagi….
Saat resepsi
Resepsi impian: kami duduk di
pelaminan dengan rona wajah bahagia
Kenyataannya: dia cemberut terus,
bahkan saat difoto pun cemberut dan dimarahi fotografer. Alasannya, “aku belum
makan sejak dari Garut…. Lagian, baju pink ini bikin malu….”
Saat malam pengantin baru
Impianku: kami duduk bersisian di
tempat tidur, lalu dia memegang tanganku, mencium keningku, dan mengobrol
sepanjang malam, sebab kami belum banyak mengenal.
Kenyataannya: dia berkata, “capek
yah?” dan tak lama yang terdengar adalah suara dengkurannya yang keras dan
membuatku tak bisa tidur semalaman.
Saat menikah
Aku ingin selalu bersama-sama
dengannya, dan memimpikan hal-hal standar semacam diantar ke mana-mana.
Kenyatannya, ya tidak mungkin lah…. Dia punya jam kerja yang padat. Pagi
berangkat ke kantor, pulang menjelang tengah malam. Seperti halnya saat membuat
KTP. Dia tak bisa mengantarku ke Kecamatan, meskipun hanya satu jam. Suamiku
seorang karyawan yang berdedikasi tinggi, melebihi bawahannya. Sering kudapati
sms dari bawahannya yang izin atau cuti demi mengantar istrinya ke rumah sakit
atau bahkan sekadar menengok mertua yang sedang sakit. Suamiku? Dia sama sekali
tidak mau mengajukan izin atau cuti demi hal-hal remeh semacam mengantar
istrinya membuat KTP. Bahkan, dua kali aku melahirkan tanpa didampinginya,
karena dia masih di kantor. Dia selalu bilang, “mandiri, dong… biasakan
bepergian ke mana-mana tanpa aku, karena aku gak akan bisa selamanya
bersamamu….”
Maka, saat menaiki angkot itu, di
antara tangis yang tertahan (karena sudah dua kali bolak-balik mengurus KTP,
pertama meninggalkan bayi berusia dua bulan yang menangis minta ASI, kedua
membawa si bayi yang terus menyusu sepanjang jalan), aku memikirkannya. Mengapa
dia tak mau meluangkan waktu satu jam saja menemaniku mengurus KTP? Atau,
hal-hal lain? Sementara beberapa suami (aku terpikir bawahan suamiku yang
begitu setia kepada istrinya dan suami temanku yang selalu mengantar temanku ke
mana-mana berhubung pekerjaannya tidak mengikat), mau meluangkan sedikit
waktunya untuk sang istri.
Lalu, seketika itu juga, aku
dipertemukan oleh si penumpang wanita yang menyindirku melalui kata-kata yang
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyindirku (dia kan tidak tahu aku lagi
kesal sama suamiku).
Gue bisa kok sendiri ke mana-mana.. gak perlu punya laki….
Ups, itu bukan berarti aku juga
mau melepaskan lelakiku.
Lalu, aku teringat lagi kisah si
penulis wanita yang juga baru bercerai dari suaminya karena sering mengalami
kekerasan fisik dan tidak diberi nafkah.
Suamiku?
Dia seorang lelaki yang
bertanggung jawab. Dedikasinya kepada pekerjaan (sampai tidak mau izin atau
cuti untuk hal remeh-temeh), adalah agar pekerjaannya berjalan lancar dan tidak
sampai dipecat (apalagi di kantornya sedang gencar pengurangan pegawai). Semua
itu demi memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anak istrinya. Suamiku tak
pernah melakukan kekerasan fisik. Suamiku sayang kepada istri dan anak-anaknya.
Dan suamiku benar, aku perlu juga mandiri karena aku tak selalu terus
bersamanya (amplop saja tak selalu berperangko).
Dan begitulah…. Hal-hal kecil
remeh-temeh itu akan terus ada menjadi ujian dalam pernikahan kami, dan
penguatnya adalah konsisten memegang komitmen pernikahan. Ada tiga anak
laki-laki, buah cinta kami, yang harus menjadi bahan pertimbangan setiap kali
kami ambil keputusan. Kalau sedang kesal kepada suami, maka yang kupikirkan
adalah hal-hal manis yang kami jalani bersama. Meskipun kemarin dia tidak
sempat mengantarku mengurus KTP, banyak kenangan manis yang dia lakukan
untukku. Salah satunya adalah menungguiku di rumah sakit, saat aku hampir
melahirkan prematur. Dalam keadaan sedang berpuasa ramadan, suamiku rela menyuapiku
makan. Dia tertidur di samping tempat tidurku karena kelelahan, dan hanya
berbuka dengan sisa makananku, saking tak ingin meninggalkanku sendiri. Ketika
dia terpaksa meninggalkanku karena harus kembali bekerja keesokan harinya, dia
menatapku lama seakan tak ingin pergi (sebenarnya aku tidak tahu juga sih isi
hatinya). Semoga dengan terus mengingat kenangan manis yang kami lakukan, yang
aku lakukan untuknya dan dia lakukan untukku, pernikahan kami akan terus terasa
manis hingga akhir hayat. Aamiin….
Kenangan manis saat dia tertidur di samping ranjangku, di rumah sakit |
--------------------------
Alhamdulillah, tulisan ini menjadi salah satu pemenang dalam GA Manis-Manis dan mendapatkan buku tentang SEO.
duh suaminya..
ReplyDeletekadang yg terlihat g romantis tp manissss :D
Yang namanya jodoh itu bukan yang sama dalam banyak hal, tapi lebih kepada saling melengkapi. Kelebihan yang satu digunakan untuk melengkapi kekurangan pasangannya. Ketika ilmunya sama, maka tiap hari akan terjadi adu argumentasi, masing2 merasa benar sendiri.
ReplyDeleteSuatu ketika kita harus bisa menjadi rem manakala pasangan kita sedang meledak2 oleh suatu sebab, dan dikala lain kita harus bisa menjadi gas manakala pasangan kita lagi down atau patah semangat. Tapi meski berdampingan, rem dan gas tak boleh saling rebutan.
Terima kasih telah ikut GA manis2.
Salam
Saya kemana-mana selalu diantar suami tapi masih sering ngambek kalau kebetulan tidak bisa ngantar. Membaca tulisan ini saya jadi sadar kalao saya kurang bersyukur banget :)
ReplyDeleteSukses buat ngontesnya ya mbak :)
Saat sakit dan suami menemani... bener2 kenangan manis...
ReplyDeletekenangan idnah bersama suami. Mungkin si perempuan yg naik angkot terlalu apa yah? hehe..
ReplyDeletetapi saya setuju sama mbaklah. mbak kan asyik ceritainnya.
semoga menang,. MANIS Bgd ceritanya :D
Sukses buat GA nya yah ^-^
ReplyDeleteso sweeeeeeet
ReplyDeletenice... awal-awal tulisan membuat aku mikir... mikir apa ya? hmmm sesuatu lah. hehehehe
ReplyDelete#komen ga jelas... maaf :p
Selalu suka cara mba Leyla bercerita.. :)
ReplyDeleteIni maniss bangeet
huhuhu... gapunya kata-kata
ReplyDeleteBegitulah laki2, seringkali kita tak mengerti dengan kemauannya. Mirip sih mbak, dengan kasus berbeda. Kalo suami saya setia ngantar ke mana2 apalagi dia bukan orang kantoran.
ReplyDeleteTapi banyak hal yang sering saya tak mengerti di pikirannya (mungkin dia pun begitu ya). tapi beegitulah seninya menikah ya, bagaimana dua orang berbeda bisa harmonis berjalan di "jembatan perbedaan" (istilah suami saya)
Sukses ya GAnya :)
barakallahu buat mba ley dan suami :)
ReplyDeletewaaaah.... co cweetttt..... suit..suit... aku senyam senyum nih baca ini... merasa tersindir.. aku manja banget, tergantung sama orang lain buat kemana-mana hingga hasilnya gak tahu jalan.. hehehe... suamimu bener, cara dia sudah membuat Leyla jadi figur yang mandiri dan tegar.
ReplyDelete(*tapi tetep sih penasaran dan nebak2, siapa ya penulis yang baru cerai dengan suaminya itu? hohoho)
menikah itu seperti menyatukan 2 perbedaan, ada berbagai rasa di sana.. Tp kl di ramunya pintar akan berbuah manis ya mbak :)
ReplyDeletesuaminya mbak leyla miriiip adek iparku..
ReplyDeletesuka ceritanya :)
so sweet
ReplyDeleteSaya malah bayi baru berumur sepuluh hari sdh kelayapan bikin KTP baru, terus bikin akte. Bolak-balik RT RW kelurahan kecamatan hingga Dinas kependudukan dan itu sama sekali tidak diantar suami. Sendirian saja. Merasa sedih juga tapi ya bgmn suami jelas krja, yg pasti emang bener kata suami Mbak Ela perempuan itu hrs mandiri nggak usah terlalu bergantung kepada suami. Hingga saat ini kemana pun kalau suami nggak bisa anat Saya mah nggak masalah. Diantar syukur nggak diantar juga bisa jalan sendiri. Yang penting komunikasi terus.
ReplyDeleteMbak Leyla menjadi salah satu pemenang GA ini.
ReplyDeleteMohon kirim email ke saya
(bisa dilihat di blog)
Berarti saya termasuk beruntung ya Mbak. Selama periksa kehamilan selalu ditemani suami. Sering juga imunisasi anak di bidan ditemani suami. Dan suami saya masih mau mengerjakan tugas rumah tangga, termasuk menyetrika pakaian yang sudah menjadi bagian tugasnya sepanjang pernikahan kami..hihihi..
ReplyDelete