Tapak kakinya menimbulkan
cekungan pada tanah basah yang diinjaknya. Hujan belumlah reda, ketika ia
paksakan diri untuk berangkat ke sekolah. Masih teringat pesan ibunya, agar tidak
mendatangi gedung yang pernah menjadi tempatnya menuntut ilmu, lima tahun lalu.
Tinggal setahun lagi… ah, seandainya rahasia itu tidak terbongkar…..
Tetes-tetes air hujan membasahi
seluruh tubuhnya. Bibirnya membiru karena dingin, baju hangat tak lagi mampu
melindunginya. Matanya nanar menatap gerbang sekolah yang telah menutup. Nyalinya
surut, saat langkahnya tinggal sekian meter. Ia tak lagi sanggup melawan
arogansi pihak sekolah yang melarangnya menginjakkan kakinya di sana.
Hujatan, makian, dan cemooh,
seketika menodai keluguannya… sekejap saja, saat semua orang mengetahui di
dalam darahnya ada virus mematikan. HIV/AIDS. Ia tak tahu, virus apa itu.
Mereka hanya bilang, virus itu menular… mematikan… dan hasil dari perbuatan
dosa kedua orang tuanya. Ia hanya tahu, sejak itu, kakinya tak boleh lagi
menginjak lantai sekolahnya. Bahkan hanya sekadar berdiri di depan pintu
gerbang. Ia harus menjauh. Pergi, pergi sejauh mungkin. Sudah lepaskan saja
cita-citanya, toh sebentar lagi ia mati….
“Bu, benarkah aku mengidap AIDS?”
mata bulatnya berkaca-kaca, menatap wajah ibunya yang tampak lebih tua dari
usia sebenarnya. Sang Ibu menengadah,
menatap wajah putrinya yang tak berdosa. Kedua matanya pun mengalirkan air
mata. Sedih tak terkira. Akhirnya, rahasia itu terbongkar. Entah siapa yang
membongkar. Kini, semua orang tahu, keluarga kecilnya telah ternodai penyakit
mematikan. Namun, putri kecilnya ini, tak patut disalahkan. Sebab, virus itu
mengendap di dalam tubuhnya karena kekurangtahuan. Jika saja ia tahu di dalam
darahnya mengandung virus mematikan, tak akan ia biarkan janinnya keluar dari
rahimnya dan mengisap ASI-nya. Keduanya menjadi perantara penularan virus HIV/AIDS kepada putrinya.
Dibelainya rambut sang putri,
dikatakannya dengan lembut, “kamu tidak menanggung dosa Ibu, Nak… di mata
Tuhan, kamu adalah makhluk kesayangan-Nya….”
Mungkin, ia memang salah, ketika
membiarkan dirinya terbawa arus pergaulan. Menyuntikkan narkoba ke dalam aliran
darahnya, yang sekaligus menularkan virus HIV dan berkembang menjadi penyakit AIDS.
Lalu, ia menikah dan hamil. Membiarkan bayinya lahir tanpa pencegahan terhadap
penularan virus HIV. Sebab, ia baru tahu dirinya terinfeksi setelah suaminya
lebih dulu divonis mengidap HIV/AIDS.
Dunianya goncang. Masa lalunya
telah berlalu. Masa depannya ada pada seraut wajah mungil yang lahir dari
rahimnya. Susah payah dirahasiakannya kenyataan yang menikam. Bayinya harus
tetap memiliki masa depan yang cerah.
Namun, ketika rahasia itu
terbongkar… ketika semua orang mulai mengucilkan putrinya… ketika vonis dari
sekolah dijatuhkan…. Gelap dan suram membayang di depan sana. Tapak-tapak kecil
itu akan terhenti oleh hukuman sosial yang tidak semestinya dijatuhkan kepada
putrinya. Mungkin bukan HIV/ AIDS yang menghancurkan masa depannya, tapi
hukuman masyarakat yang tak pada tempatnya.
Dan tetes-tetes air mata itu
kembali turun, bersamaan dengan rinai hujan di luar jendela rumah mungil mereka….
*********
Tulisan di atas terinspirasi oleh
berita yang saya baca di sini. Tentang seorang anak yang dikeluarkan dari
sekolah karena mengidap virus HIV/ AIDS. Ketidaktahuan pihak sekolah dan
masyarakat, yang mengira bahwa virus HIV/ AIDS dapat ditularkan melalui kontak
sosial yang lazim, membuat masa depan anak itu terancam. Virus HIV/ AIDS tidak
ditularkan melalui kontak sosial, semacam berjabat tangan, keringat, udara, dan
lainnya. Jadi, jangan khawatir berteman dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) selama
kontak dengan mereka tidak melibatkan pertukaran cairan darah, air mani, dan
cairan vagina.
Saya kutip sedikit pesan dari
sini:
Para pasien AIDS layak untuk hidup normal dan merasakan hidup sebagaimana mestinya, bukan faktor umur yang menjadikan mereka sulit bergaul, namun dikarenakan faktor lingkungan yang selalu beranggapan miring tentang mereka. Maka dari itu, mulai gerakan STOP mengucilkan ODHA, karena mereka adalah manusia yang sama seperti kita.
emang kasihan banget ya kalo kita samapi punya putri seperti Ntu.
ReplyDeleteperan orang tua harusselalu menemani setiap saat.
remaja musti dapat dukungan dari orang tua, agar nggak gelap mata
masya allah .. :(
ReplyDeletekasihan :(. trus gimana mba, apa dia tetep dikeluarkan sama sekolahnya setelah beritanya masuk media?
ReplyDeleteAlhamdulillah, gak jadi dikeluarkan setelah diberikan pengertian oleh LSM HIV/ AIDS.. beritanya ada di link di atas.
Deletesyukurlah. memang perlu penyebaran info dari media agar masyarakat semakin tahu ya mba.
Deletesukses mba ;)
tulisan yang ini lebih makjleb dihati mba.....aku gerimis membacanya:(
ReplyDeleteyg paling kasian adalah mereka ODHA yang terkucil tanpa tau apa salah mereka
Iya, Mba Sara.. aku nulis lagi jg setelah baca berita itu.
Deleteya ampun..ga tega bgt. T_T.sedih bacanya
ReplyDeletestop mengucilkan Odha...
ReplyDeleteaku juga ikut nulis tema ini
:'(Sering di lingkungan kita langsung menjauhi dan "menghukum" penderita penyakit tsb karena lahir dari pergaulan Ɣªήğ salah.Tapi bukan alasan sebetulnya,karena setiap orang berhak untuk meneruskan memperbaiki "hidupnya".
ReplyDelete