Wednesday, December 5, 2012

Mengapa Aku Tak Boleh Sekolah, Bu?


Tapak kakinya menimbulkan cekungan pada tanah basah yang diinjaknya. Hujan belumlah reda, ketika ia paksakan diri untuk berangkat ke sekolah. Masih teringat pesan ibunya, agar tidak mendatangi gedung yang pernah menjadi tempatnya menuntut ilmu, lima tahun lalu. Tinggal setahun lagi… ah, seandainya rahasia itu tidak terbongkar…..


Tetes-tetes air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Bibirnya membiru karena dingin, baju hangat tak lagi mampu melindunginya. Matanya nanar menatap gerbang sekolah yang telah menutup. Nyalinya surut, saat langkahnya tinggal sekian meter. Ia tak lagi sanggup melawan arogansi pihak sekolah yang melarangnya menginjakkan kakinya di sana.

Hujatan, makian, dan cemooh, seketika menodai keluguannya… sekejap saja, saat semua orang mengetahui di dalam darahnya ada virus mematikan. HIV/AIDS. Ia tak tahu, virus apa itu. Mereka hanya bilang, virus itu menular… mematikan… dan hasil dari perbuatan dosa kedua orang tuanya. Ia hanya tahu, sejak itu, kakinya tak boleh lagi menginjak lantai sekolahnya. Bahkan hanya sekadar berdiri di depan pintu gerbang. Ia harus menjauh. Pergi, pergi sejauh mungkin. Sudah lepaskan saja cita-citanya, toh sebentar lagi ia mati….

“Bu, benarkah aku mengidap AIDS?” mata bulatnya berkaca-kaca, menatap wajah ibunya yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya.  Sang Ibu menengadah, menatap wajah putrinya yang tak berdosa. Kedua matanya pun mengalirkan air mata. Sedih tak terkira. Akhirnya, rahasia itu terbongkar. Entah siapa yang membongkar. Kini, semua orang tahu, keluarga kecilnya telah ternodai penyakit mematikan. Namun, putri kecilnya ini, tak patut disalahkan. Sebab, virus itu mengendap di dalam tubuhnya karena kekurangtahuan. Jika saja ia tahu di dalam darahnya mengandung virus mematikan, tak akan ia biarkan janinnya keluar dari rahimnya dan mengisap ASI-nya. Keduanya menjadi perantara penularan virus HIV/AIDS kepada putrinya.

Dibelainya rambut sang putri, dikatakannya dengan lembut, “kamu tidak menanggung dosa Ibu, Nak… di mata Tuhan, kamu adalah makhluk kesayangan-Nya….”

Mungkin, ia memang salah, ketika membiarkan dirinya terbawa arus pergaulan. Menyuntikkan narkoba ke dalam aliran darahnya, yang sekaligus menularkan virus HIV dan berkembang menjadi penyakit AIDS. Lalu, ia menikah dan hamil. Membiarkan bayinya lahir tanpa pencegahan terhadap penularan virus HIV. Sebab, ia baru tahu dirinya terinfeksi setelah suaminya lebih dulu divonis mengidap HIV/AIDS.

Dunianya goncang. Masa lalunya telah berlalu. Masa depannya ada pada seraut wajah mungil yang lahir dari rahimnya. Susah payah dirahasiakannya kenyataan yang menikam. Bayinya harus tetap memiliki masa depan yang cerah.

Namun, ketika rahasia itu terbongkar… ketika semua orang mulai mengucilkan putrinya… ketika vonis dari sekolah dijatuhkan…. Gelap dan suram membayang di depan sana. Tapak-tapak kecil itu akan terhenti oleh hukuman sosial yang tidak semestinya dijatuhkan kepada putrinya. Mungkin bukan HIV/ AIDS yang menghancurkan masa depannya, tapi hukuman masyarakat yang tak pada tempatnya.
Dan tetes-tetes air mata itu kembali turun, bersamaan dengan rinai hujan di luar jendela rumah mungil mereka….

*********
Tulisan di atas terinspirasi oleh berita yang saya baca di sini. Tentang seorang anak yang dikeluarkan dari sekolah karena mengidap virus HIV/ AIDS. Ketidaktahuan pihak sekolah dan masyarakat, yang mengira bahwa virus HIV/ AIDS dapat ditularkan melalui kontak sosial yang lazim, membuat masa depan anak itu terancam. Virus HIV/ AIDS tidak ditularkan melalui kontak sosial, semacam berjabat tangan, keringat, udara, dan lainnya. Jadi, jangan khawatir berteman dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) selama kontak dengan mereka tidak melibatkan pertukaran cairan darah, air mani, dan cairan vagina.

Saya kutip sedikit pesan dari sini:

Para pasien AIDS layak untuk hidup normal dan merasakan hidup sebagaimana mestinya, bukan faktor umur yang menjadikan mereka sulit bergaul, namun dikarenakan faktor lingkungan yang selalu beranggapan miring tentang mereka. Maka dari itu, mulai gerakan STOP mengucilkan ODHA, karena mereka adalah manusia yang sama seperti kita.




10 comments:

  1. emang kasihan banget ya kalo kita samapi punya putri seperti Ntu.
    peran orang tua harusselalu menemani setiap saat.
    remaja musti dapat dukungan dari orang tua, agar nggak gelap mata

    ReplyDelete
  2. kasihan :(. trus gimana mba, apa dia tetep dikeluarkan sama sekolahnya setelah beritanya masuk media?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, gak jadi dikeluarkan setelah diberikan pengertian oleh LSM HIV/ AIDS.. beritanya ada di link di atas.

      Delete
    2. syukurlah. memang perlu penyebaran info dari media agar masyarakat semakin tahu ya mba.
      sukses mba ;)

      Delete
  3. tulisan yang ini lebih makjleb dihati mba.....aku gerimis membacanya:(
    yg paling kasian adalah mereka ODHA yang terkucil tanpa tau apa salah mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mba Sara.. aku nulis lagi jg setelah baca berita itu.

      Delete
  4. ya ampun..ga tega bgt. T_T.sedih bacanya

    ReplyDelete
  5. stop mengucilkan Odha...
    aku juga ikut nulis tema ini

    ReplyDelete
  6. :'(Sering di lingkungan kita langsung menjauhi dan "menghukum" penderita penyakit tsb karena lahir dari pergaulan Ɣªήğ salah.Tapi bukan alasan sebetulnya,karena setiap orang berhak untuk meneruskan memperbaiki "hidupnya".

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....