Oleh: Dwi Rahmawati
Begitu memasuki rumah (20/12) sehabis keluyuran 10 hari di Jawa, Ririn (sulung saya) langsung teriak "ada kadoooo!!!". Antusias dia buka dan kontan merajuk, "selalu buku buat Mama. Mama terus, mama terus."
Begitu saya bujuk kalau Minggu besok kita mau ke toko buku (sekalian kopdar dg Mb Lyta) dia baru tenang. Tepatnya memaksa diri untuk tenang setelah beberapa kali meneror saya, "bener, ya, Ma?! Suer?! Awas loh kalok boong!"
Dari 4 buku yang dikirim Mba Leyla, Cinderella Syndrom yang pertama kali minta dibaca. Dan memang pas, letih sehabis berpergian seolah terhibur dengan novel ringan baik tema, alur juga diksinya.
Cinderella Syndrom pada sebagian isinya (Violet yang beranggapan menikah sebagai jalan keluar dari keleletannya memahami peta, dan Annisa yang ingin menikah agar segera keluar dari stigma perawan tua plus motif ekonomi di belakangnya) melempar saya pada suasana batin sekitar kurleb 8 th lalu.
Pikir saya dahulu, menikah akan otomatis menyelesaikan segala perkara. sebuah pikiran dangkal dari seorang yang tak kuat menghadapi aral. Menyelesaikan masalah dengan masalah. Karena sesungguhnya pernikahan bukanlah pintu gerbang ajaib yang akan menyedot lalu menggiling, melebur dan melenyapkan setiap problem.
Membaca bagian itu, saya setidaknya jadi tahu, bahwa bukan saya seorang yang pernah berpikir naif seperti itu. Setidaknya, 2 dari 3 tokoh Cinderella Syndrom secara tersirat mengabarkan, inilah realitas dari para perempuan lajang dengan serentet masalah yang dihadapi. Berpikir masalah akan purna dengan menikah. Tak peduli dengan pondasi, landas pacu, niat lurus, apalagi visi misi. Menikah, selesai. Tak ada lagi gosip perawan tua, nggak laku-laku, dan seterusnya. Dan saya jadi mikir, realitas ini juga yang mungkin mendasari tingginya angka perceraian. Mungkin.
Untungnya, penulis novel ini seorang yang cerdas. Tokoh-tokohnya selalu menggunakan akal dan hati secara berimbang, padu, sepaket. Walau awalnya saya rada geram dengan sikap tokoh Annisa (guru TK) yang bisa-bisanya bertamu ke rumah Norma (murid yg ortunya sudah bercerai). Rasanya, sedesperate apapun, kok nggak ada pantes-pantesnya, ibu guru, perempuan 28 th, dateng k rumah nemuin Norma yang nyata-nyata cuma kedok untuk ketemu Papanya Norma. Itu....itu.... Sungguh tidak bisa saya bayangkan. Walau sudah sedekat apapun, rasanya piye ya...ah susah bilangnya, kecuali kl bu Nisa ini dijemput sama Norma n Papanya untuk datang ke rumah. Atau, saya terlalu kuno ya?!
Pun ketika ibunya Nisa 'nggerogoti' duitnya Papanya Norma untuk modal kawin. Mungkin penulis mau nggambarin betapa papanya Norma seorang yang kaya, tetapi justru buat saya di sinilah slilitnya. Papanya Norma ini hanya seorang Manajer di perusahaan furnitur (mdh2an ga salah, kl salah ampuuuun deh bu kepsek), tapi bisa ngeluarin duit buat bakal baju pengantinnya Annisa seharga 10 juta. Itu masih bajunya doang. Belum gedung, catering n tetek bengeknya. Apa iya sih duitnya manajer furnitur bisa segitu banyak?
Nah, pas lagi geram-geramnya ini, penulis lihai dengan cepat memotong cerita. Buat yang penasaran silahkan baca sendiri, ya gimana kelanjutan kisah Annisa n papanya Norma juga kisah 2 tokoh lainnya hahaha.
Buat saya novel Cinderella Syndrom layak baca buat para jomblowers. Ringan, sangat membumi, sisipan pesannya halus.
Kalau boleh tanya, kenapa 3 tokoh yang gak ketemu satu sama lain kecuali kesamaan tema ini disatukan dalam 1 novel? Saya malah mikir, ini novelet yang dipecah-pecah n disatukan dalam frame novel. Karena masing2 tokoh berdiri utuh dalam 1 cerita. Malah (nurut saya) 1 tokoh bisa jadi 1 novel sendiri. Pasti akan lebih cetar membahana badai halilintar deh.....
Oke deh, sekian tulisan bukan review apalagi resensi ini. Yang belum baca silahkan dibeli n dibaca ya...
Bisa diperoleh di www.kautsar.co.id |
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....