Pekerjaan :
Mengurus Rumah Tangga
Profesi :
Penulis
Sayang, tulisan “profesi” itu
tidak tercantum dalam KTP-ku, hehe…. Apa pun, aku lega akhirnya aku menjalani
apa yang ingin kujalani sejak masih remaja. Ya, ibu rumah tangga yang penulis,
sebuah impian yang sudah kudambakan sejak masih remaja. Tak pernah aku berpikir
untuk bekerja kantoran karena sifatku yang tak suka dikekang. Aku lebih suka
bekerja sendiri, dengan waktu dan pekerjaan yang kutentukan sendiri. Dan yang
lebih kusukai adalah adanya jadwal tidur siang. Pikir punya pikir, menjadi
penulis lepas adalah profesi yang tepat untuk sifatku yang independen itu.
|
Novel pertamaku yang diterbitkan,
sekaligus menjadi juara kedua sayembara menulis novel |
Namun, tak mudah untuk mencapai
impian itu. Baiklah, aku ceritakan dulu prosesku meraih gelar sebagai
“penulis.” Dulu, aku belum mengenal blog. Aku belum tahu bahwa kita bisa mempublikasikan
tulisan kita di blog. Bahkan banyak kesempatan menulis di blog yang mendapatkan
hadiah. Aku hanya tahu media majalah dan buku. Targetku pertama kali adalah,
tulisanku dimuat di majalah, lalu diterbitkan menjadi buku. Prosesnya tidak
mudah. Aku harus mengalami berulangkali penolakan dari redaktur majalah dan
editor penerbit. Banyak alasan mengapa tulisanku ditolak. Jika aku mengirim 10
cerpen ke majalah, maka yang dimuat hanya satu. Menerbitkan buku jauh lebih
sulit. Padahal, saat itu prosesnya tak semudah sekarang. Naskah harus diprint
dulu dan dikirim melalui Pos. Sekarang, beberapa penerbit menerima naskah
melalui surel.
Perasaan kecewa ketika cerpen
tidak dimuat, tidak sebesar saat novel-novelku ditolak penerbit. Sebab,
mengirim novel membutuhkan biaya yang lebih banyak daripada mengirim cerpen.
Kalau cerpen hanya sekitar 6-10 halaman, novel bisa ratusan halaman. Biaya
pos-nya juga lebih besar. Coba hitung saja berapa modal yang harus kukeluarkan
untuk mengirim naskah:
Biaya rental komputer, karena
belum punya komputer: RP 2.500 per jam
Biaya print naskah, Rp 500/ lembar
Biaya Pos, dihitung per kg.
|
Waktuku kini lebih banyak
untuk anak-anak |
Sedangkan dulu aku hanya
mahasiswa yang masih meminta uang dari orang tua. Kalau novel ditolak, duh,
sedihnya. Tentu saja setiap penulis berpikir bahwa karyanya sudah bagus. Aku
sendiri baru sadar kalau naskahku ada kekurangan, setelah bertahun-tahun
kemudian, ketika kualitas tulisanku sudah meningkat, hehe… Tapi, pada waktu
tulisan baru ditulis, yang ada di pikiranku hanyalah bahwa aku sudah melakukan
yang terbaik, jadi tulisanku sudah yang terbaik.
Jalanku terbuka ketika aku
mengikuti lomba menulis novel yang diadakan sebuah penerbit. Aku menjadi
pemenang kedua, untuk naskah yang pernah ditolak sebuah penerbit. Bahkan,
novelku itu menjadi best seller. Sejak
itu, terasa mudah bagiku untuk mengirim naskah ke penerbit. Beberapa penerbit
dengan suka cita menerima naskahku. Dalam setahun, ada 3-4 bukuku yang
diterbitkan oleh penerbit yang berbeda-beda. Bisa dikatakan itu adalah masa
keemasanku.
Ketika aku sudah merasa puas
dengan dunia menulis, kuputuskan untuk membagi duniaku dengan seorang lelaki,
dan kelak tiga orang anak yang lahir dari rahimku. Saat itulah tercapai impian
yang telah ada sejak remaja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami dan
anak-anak, mengantar anak sekolah, mengurus rumah tangga, lalu menulis di saat
luang.
Tidak ada yang salah dengan
bermimpi, meskipun impian tak seindah kenyataan. Nyatanya, kegiatan menulis tak
dapat selalu lancar dan beriringan dengan kegiatan mengasuh anak. Terlebih
anak-anakku masih kecil-kecil. Ada saja godaan untuk tidak menulis, karena
harus melayani kebutuhan mereka. Kadang kala aku kesal karena keinginan menulis
tak dapat disalurkan, tetapi sering kali aku bahagia kala memandang wajah lelap
mereka dalam tidurnya.
Sungguh, tak mudah rupanya
bekerja dari rumah dengan tanpa seorang asisten pun yang membantu mengasuh
anak. Anak-anak benar-benar masih membutuhkan perhatian ibunya. Ada saja ulah
mereka untuk mencari perhatianku kala aku sedang memadu kasih dengan komputer
bututku. Yang minta dibuatkan susu, yang minta mainan, yang ngacak-ngacak
rumah, dan lain-lain. Di sinilah aku ditantang untuk menulis tanpa konsentrasi.
Aku tidak bisa benar-benar fokus pada
tulisanku, ada saja gangguannya.
Alhamdulillah, meskipun repot
dengan urusan mengasuh anak, aku masih bisa sesekali menulis. Bahkan mengikuti
lomba menulis novel lagi, saat anak keduaku baru berusia enam bulan. Tak
disangka, aku bisa menyabet juara ketiga. Kadang kala semangat menulis datang
dan pergi, seiring dengan adanya motivasi dan kekecewaan. Target-target
dipasang, dan beberapa harus diikhlaskan pergi karena ketiadaan waktu untuk
menulis. Toh, aku tetap di sini, di depan meja komputer bututku, berusaha untuk
tetap menulis, meski tak selalu bisa menulis.
|
Menjadi juara ketiga dalam lomba novel lagi,
saat sudah punya dua anak |
Sebaliknya, kerapkali aku merasa
bersalah ketika telah berjam-jam duduk di depan komputer, mengeluarkan semua
isi kepalaku, sementara anak-anakku bermain sendiri. Aku merasa telah
menelantarkan mereka. Jadi, seasyik apa pun aku menulis, aku harus bisa
menghentikannya tatkala sudah melampaui batas waktu. Aku harus kembali kepada
anak-anakku, meski masih banyak ide-ide di kepalaku yang ingin kutuangkan. Sebab,
inilah jalan yang sudah kupilih; menjadi ibu rumah tangga yang penulis.