Friday, October 19, 2012

Seandainya Tidak Ada Bahasa Indonesia

Gambar dari sini

Tindak pundi, Mbak?” tanya seorang wanita muda yang duduk di sampingku, ketika kami sedang sama-sama menaiki bus Solo-Semarang.

Aku bingung menjawabnya. Sejujurnya, aku tidak tahu Mbak itu bertanya apa. Benakku sibuk menerka-nerka, sampai akhirnya aku menjawab, “35 ribu….”

Mbak itu mengerutkan kening, seperti bingung dengan jawabanku. Ia pun mengulangi pertanyaannya, dan dengan sangat terpaksa aku mengaku bahwa aku tak tahu apa yang ia tanyakan.

“Oooh… dari Jakarta, to….” Mbak itu tertawa.

Anda tahu apa yang ia tanyakan kepadaku? Ia bertanya dalam Bahasa Jawa halus, “Mau ke mana, Mbak?” Sedangkan aku menjawab ongkos bus yang kami naiki itu. Kupikir Mbak itu bertanya berapa ongkos busnya. Padahal, ia sedang ingin mengajakku berrcakap-cakap dengan menanyakan tujuan kepergianku. Berhubung ternyata aku tak mengerti Bahasa Jawa, kami pun tak jadi berbincang-bincang panjang lebar. Entah kenapa si Mbak tak lagi menanyakan sesuatu kepadaku.

Itu adalah pengalaman lucuku saat pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, sepuluh tahun silam. Meskipun lahir di Solo, almarhumah Ibu juga berasal dari Solo, aku tak bisa berbahasa Jawa karena besar di Jakarta. Lulus SMA, aku mendaftar ke Universitas Diponegoro, Semarang. Otomatis, aku banyak berinteraksi dengan penduduk asli yang berbahasa Jawa dan rekan-rekan mahasiswa lainnya yang berasal dari daerah-daerah di Propinsi Jawa Tengah. Untunglah, kami dipersatukan oleh Bahasa Indonesia, sehingga kami tetap bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia.

Ya, apa jadinya seandainya kita tak mengenal Bahasa Indonesia? Indonesia terdiri atas banyak suku dengan bermacam-macam bahasa. Ibu dan Ayahku saja menikah beda suku. Ibuku dari Suku Jawa, ayahku dari Suku Betawi.  Ibuku mencari kerja di Jakarta, lalu menikah dengan ayahku yang asli Jakarta. Jika tidak ada Bahasa Indonesia, mungkin mereka akan bicara dengan bahasa isyarat, karena tidak mengerti apa yang dibicarakan pasangannya. Kalaupun bicara, bisa terjadi banyak kesalahpahaman. Ya, seperti pengalamanku di atas.

Sayangnya, almarhumah ibuku dulu jarang berbicara dengan Bahasa Jawa. Kalau di rumah selalu menggunakan Bahasa Indonesia. Akibatnya, tidak ada anaknya yang bisa berbahasa Jawa. Sebagai orang Betawi, ayahku juga tidak banyak menggunakan kosa kata Betawi dalam perbincangannya. Beliau memakai Bahasa Indonesia sehari-hari. Jadi, banyak juga kosa kata Betawi yang tidak kukuasai.

Kini, aku juga menikah dengan lelaki beda suku. Suamiku berasal dari Suku Sunda. Kalau sedang pulang kampung, lebih sering aku hanya terbengong-bengong mendengarkan percakapan keluarga dari suamiku. Mereka berbincang-bincang dengan Bahasa Sunda, karena sudah terbiasa dengan Bahasa Sunda. Hanya sesekali saja bicara dengan Bahasa Indonesia, ya kalau sedang berbicara denganku.

Memang, pada kenyataannya, Bahasa Indonesia digunakan hanya dalam perbincangan antarsuku. Sedangkan bila sesama suku, lebih suka menggunakan bahasa daerahnya. Saat aku kuliah di Semarang, rekan-rekan mahasiswa yang berasal dari suku yang sama, misalnya Suku Sunda, akan berbicara dengan Bahasa Sunda. Rekan-rekan dari Suku Jawa pun demikian pula. Mereka lebih nyaman berbicara dengan bahasa daerahnya jika berhadapan dengan sesama suku. Aku sendiri, berhubung hanya bisa berbicara Bahasa Indonesia, jadi hanya menggunakan Bahasa Indonesia.

Alasannya, lebih enak berbicara dengan bahasa daerah daripada Bahasa Indonesia. Lagipula, kalau berbicara dengan Bahasa Indonesia di hadapan orang yang sama sukunya, sering diejek “sombong,” tidak kenal dengan akarnya sendiri. Itu tak menjadi masalah, asalkan jangan berbicara dengan bahasa sukunya bila di dekatnya ada rekan dari lain suku.  Sang rekan yang tak mengerti, kemungkinan bisa tersinggung atau  merasa diperbincangkan diam-diam, berhubung ia tak mengerti apa yang sedang diperbincangkan.

Aku juga sering merasa tersinggung kalau ada rekan yang berbicara dengan bahasa daerahnya saat berada di dekatku. Memang dia sedang bicara dengan temannya yang satu suku, tapi aku jadi merasa diabaikan. Alangkah baiknya bila kita tetap menggunakan Bahasa Indonesia apabila ada rekan lain suku di dekat kita.

Bahasa Indonesia pertama kali dicetuskan menjadi bahasa persatuan, dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Namun, baru diresmikan pada 18 Agustus tahun 1945. Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, pokoknya adalah Melayu Riau, yang di kemudian hari mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia.

Agak aneh sebenarnya, mengapa Bahasa Melayu Riau yang menjadi dasar pembentukan Bahasa Indonesia? Mengapa bukan Bahasa Jawa? Padahal, saat itu Presiden Soekarno berasal dari Suku Jawa, dan orang Jawa juga banyak menduduki posisi penting di pemerintahan. Bahkan, bahasa yang banyak digunakan sehari-hari adalah juga Bahasa Jawa. Alasannya: Pertama, kalau Bahasa Jawa yang digunakan, suku—suku lain akan merasa dijajah oleh orang Jawa. Kedua, Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dengan adanya tingkatan bahasa; halus, sedang, kasar. Ketiga, Bahasa Melayu Riau digunakan karena Suku Melayu yang pertama berasal dari Riau, dan Keempat, Bahasa Melayu Riau tidak banyak mendapatkan pengaruh dari bahasa lain, misalnya Bahasa Tionghoa.

Dan akhirnya, kini Bahasa Indonesia benar-benar membantu kita semua, yang berbeda suku, untuk saling berinteraksi. Bayangkan seandainya tidak ada Bahasa Indonesia, kita harus mempelajari bahasa rekan bicara kita dulu bila ingin berkomunikasi dengan benar. Atau, jangan-jangan kita harus bicara dengan bahasa isyarat?


3 comments:

  1. ya kayak aku di asrama mahasiswa ne... mahasiswanya dari semua daerah di Indonesia...

    ReplyDelete
  2. lha, alumni Undip ya Mbak Leyla? sama donk... :D

    ReplyDelete
  3. Hehe.. lucu juga ya pengalaman di bisnya. Salam kenal. Kunjung balik ya bit.ly/XIpS1f

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....