Gambar dari sini |
“Tindak pundi, Mbak?” tanya
seorang wanita muda yang duduk di sampingku, ketika kami sedang sama-sama
menaiki bus Solo-Semarang.
Aku bingung menjawabnya.
Sejujurnya, aku tidak tahu Mbak itu bertanya apa. Benakku sibuk menerka-nerka,
sampai akhirnya aku menjawab, “35 ribu….”
Mbak itu mengerutkan kening,
seperti bingung dengan jawabanku. Ia pun mengulangi pertanyaannya, dan dengan
sangat terpaksa aku mengaku bahwa aku tak tahu apa yang ia tanyakan.
“Oooh… dari Jakarta, to….” Mbak
itu tertawa.
Anda tahu apa yang ia tanyakan
kepadaku? Ia bertanya dalam Bahasa Jawa halus, “Mau ke mana, Mbak?” Sedangkan
aku menjawab ongkos bus yang kami naiki itu. Kupikir Mbak itu bertanya berapa
ongkos busnya. Padahal, ia sedang ingin mengajakku berrcakap-cakap dengan
menanyakan tujuan kepergianku. Berhubung ternyata aku tak mengerti Bahasa Jawa,
kami pun tak jadi berbincang-bincang panjang lebar. Entah kenapa si Mbak tak
lagi menanyakan sesuatu kepadaku.
Itu adalah pengalaman lucuku saat
pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, sepuluh tahun silam. Meskipun lahir
di Solo, almarhumah Ibu juga berasal dari Solo, aku tak bisa berbahasa Jawa
karena besar di Jakarta. Lulus SMA, aku mendaftar ke Universitas Diponegoro,
Semarang. Otomatis, aku banyak berinteraksi dengan penduduk asli yang berbahasa
Jawa dan rekan-rekan mahasiswa lainnya yang berasal dari daerah-daerah di
Propinsi Jawa Tengah. Untunglah, kami dipersatukan oleh Bahasa Indonesia,
sehingga kami tetap bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia.
Ya, apa jadinya seandainya kita
tak mengenal Bahasa Indonesia? Indonesia terdiri atas banyak suku dengan
bermacam-macam bahasa. Ibu dan Ayahku saja menikah beda suku. Ibuku dari Suku
Jawa, ayahku dari Suku Betawi. Ibuku
mencari kerja di Jakarta, lalu menikah dengan ayahku yang asli Jakarta. Jika
tidak ada Bahasa Indonesia, mungkin mereka akan bicara dengan bahasa isyarat,
karena tidak mengerti apa yang dibicarakan pasangannya. Kalaupun bicara, bisa
terjadi banyak kesalahpahaman. Ya, seperti pengalamanku di atas.
Sayangnya, almarhumah ibuku dulu
jarang berbicara dengan Bahasa Jawa. Kalau di rumah selalu menggunakan Bahasa
Indonesia. Akibatnya, tidak ada anaknya yang bisa berbahasa Jawa. Sebagai orang
Betawi, ayahku juga tidak banyak menggunakan kosa kata Betawi dalam
perbincangannya. Beliau memakai Bahasa Indonesia sehari-hari. Jadi, banyak juga
kosa kata Betawi yang tidak kukuasai.
Kini, aku juga menikah dengan
lelaki beda suku. Suamiku berasal dari Suku Sunda. Kalau sedang pulang kampung,
lebih sering aku hanya terbengong-bengong mendengarkan percakapan keluarga dari
suamiku. Mereka berbincang-bincang dengan Bahasa Sunda, karena sudah terbiasa
dengan Bahasa Sunda. Hanya sesekali saja bicara dengan Bahasa Indonesia, ya
kalau sedang berbicara denganku.
Memang, pada kenyataannya, Bahasa
Indonesia digunakan hanya dalam perbincangan antarsuku. Sedangkan bila sesama
suku, lebih suka menggunakan bahasa daerahnya. Saat aku kuliah di Semarang,
rekan-rekan mahasiswa yang berasal dari suku yang sama, misalnya Suku Sunda, akan
berbicara dengan Bahasa Sunda. Rekan-rekan dari Suku Jawa pun demikian pula.
Mereka lebih nyaman berbicara dengan bahasa daerahnya jika berhadapan dengan sesama
suku. Aku sendiri, berhubung hanya bisa berbicara Bahasa Indonesia, jadi hanya
menggunakan Bahasa Indonesia.
Alasannya, lebih enak berbicara
dengan bahasa daerah daripada Bahasa Indonesia. Lagipula, kalau berbicara
dengan Bahasa Indonesia di hadapan orang yang sama sukunya, sering diejek “sombong,”
tidak kenal dengan akarnya sendiri. Itu tak menjadi masalah, asalkan jangan
berbicara dengan bahasa sukunya bila di dekatnya ada rekan dari lain suku. Sang rekan yang tak mengerti, kemungkinan bisa
tersinggung atau merasa diperbincangkan
diam-diam, berhubung ia tak mengerti apa yang sedang diperbincangkan.
Aku juga sering merasa
tersinggung kalau ada rekan yang berbicara dengan bahasa daerahnya saat berada
di dekatku. Memang dia sedang bicara dengan temannya yang satu suku, tapi aku
jadi merasa diabaikan. Alangkah baiknya bila kita tetap menggunakan Bahasa
Indonesia apabila ada rekan lain suku di dekat kita.
Bahasa Indonesia pertama kali
dicetuskan menjadi bahasa persatuan, dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Namun, baru diresmikan pada 18 Agustus tahun 1945. Bahasa Indonesia adalah
Bahasa Melayu, pokoknya adalah Melayu Riau, yang di kemudian hari mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia.
Agak aneh sebenarnya, mengapa
Bahasa Melayu Riau yang menjadi dasar pembentukan Bahasa Indonesia? Mengapa
bukan Bahasa Jawa? Padahal, saat itu Presiden Soekarno berasal dari Suku Jawa,
dan orang Jawa juga banyak menduduki posisi penting di pemerintahan. Bahkan,
bahasa yang banyak digunakan sehari-hari adalah juga Bahasa Jawa. Alasannya:
Pertama, kalau Bahasa Jawa yang digunakan, suku—suku lain akan merasa dijajah
oleh orang Jawa. Kedua, Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dengan adanya
tingkatan bahasa; halus, sedang, kasar. Ketiga, Bahasa Melayu Riau digunakan
karena Suku Melayu yang pertama berasal dari Riau, dan Keempat, Bahasa Melayu
Riau tidak banyak mendapatkan pengaruh dari bahasa lain, misalnya Bahasa
Tionghoa.
Dan akhirnya, kini Bahasa
Indonesia benar-benar membantu kita semua, yang berbeda suku, untuk saling
berinteraksi. Bayangkan seandainya tidak ada Bahasa Indonesia, kita harus
mempelajari bahasa rekan bicara kita dulu bila ingin berkomunikasi dengan
benar. Atau, jangan-jangan kita harus bicara dengan bahasa isyarat?
ya kayak aku di asrama mahasiswa ne... mahasiswanya dari semua daerah di Indonesia...
ReplyDeletelha, alumni Undip ya Mbak Leyla? sama donk... :D
ReplyDeleteHehe.. lucu juga ya pengalaman di bisnya. Salam kenal. Kunjung balik ya bit.ly/XIpS1f
ReplyDelete