Monday, October 1, 2012

Pemenang Giveaway Novel Cinderella Syndrome

Menyempatkan diri untuk posting pengumuman ini, mumpung dede bayi sedang tidur. Mohon maaf kepada semua peserta, jika pengumumannya agak lama, karena saya baru saja melahirkan putra ketiga.

Pertama-tama (kayak pidato ajah), terima kasih atas keikutsertaannya. Semua ceritanya bagus, sampai bingung milihnya. Kayaknya bisa dibuat novel sendiri tuh, hehehe.... Tapi... bagaimanapun, harus dipilih tiga pemenang, karena saya hanya punya tiga hadiah. 


Bismillah, berikut ini adalah ketiga orang pemenang berdasarkan hasil perenungan saya: 





Buat yang lain, berikut cuplikan novelnya.... 

Erika

“Jadi benar dia melamarmu?”
“Iya, dong...! Akhirnya, aku berhasil memintanya untuk menikahiku. Capek juga pacaran bertahun-tahun.”
“Wah... asyik, banget...! Kapan tunangannya?”
“Minggu depan. Aku tidak mau menundanya lagi. Aku takut dia diambil orang. Kira-kira, toko perhiasan yang koleksinya paling lengkap di mana, ya? Aku mau beli cincin tunangannya.”
“Di Jewel saja. Lengkap banget! Bagus-bagus lagi!”
“Kalau wedding organizernya? Aku kurang referensi, nih. Maklum, aku agak kurang menyangka saja kalau Dio akan langsung mengiyakan permintaanku.”
Pff... aku senyum-senyum saja mendengar obrolan dua orang gadis di depan mejaku itu. Sejenak, cappucinoku terlupakan. Lagi-lagi soal pernikahan. Selalu saja tema itu mencuat dari bibir para gadis yang asyik mengobrol. Bukan hanya mereka. Hampir semua gadis yang datang bergerombol, minimal dua orang, ke kafe ini, pasti mengobrolkan tema itu. Pernikahan. Apa pentingnya?
Untunglah aku tak pernah punya teman yang menemaniku menghirup cappucino di kafe ini, yang berada tepat di depan kantorku, setiap pagi. Bukan berarti kantorku tidak memiliki coffe maker sendiri, tapi berada di kafe ini lebih memberikan kepuasan tersendiri. Suasananya tenang, meski berada di depan jalan Kebayoran Baru yang padat. Mungkin karena musik klasiknya, atau dekorasi ruangannya yang temaram. Yang pasti, aku suka.
Bukan pula aku tak punya teman kalau selalu sendirian berada di sini. Aku punya banyak teman dan sangat terbuka menerima hubungan pertemanan itu. Hanya saja, aku memang lebih suka sendirian dalam menikmati suasana begini. Bahkan sering aku mengerjakan pekerjaanku di sini. Melihat grafik penjualan perusahaanku yang selalu menurun. Apalagi menghadapi tahun-tahun berikutnya. Aku harus memikirkan bagaimana agar bisa survive.
Kembali lagi kepada dua orang gadis di depanku yang masih cuap-cuap tentang pernikahan. Jam di tangan menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Masih ada waktu lima menit lagi untuk berdiam di kafe ini sebelum berpindah tempat duduk ke kantorku. Aku heran. Kenapa gadis-gadis itu begitu bersemangatnya membicarakan soal pernikahan? Aku, bahkan meskipun usiaku sudah melebihi tiga puluh tahun, sama sekali tidak memikirkan soal pernikahan. Kalau boleh jujur, jatuh cinta saja aku belum pernah. Mungkin Anda pikir, aneh betul. Tapi, itu benar. Aku memang belum pernah jatuh cinta. Rasanya aku tak punya waktu untuk memikirkan hal remeh itu. Dan pernikahan, bagiku juga termasuk hal yang remeh.
“Aku bingung, Ka. Aku bingung hendak ke mana selepas kuliah,” ucapan  Devi kembali terngiang di telingaku. Kira-kira delapan tahun lalu, sewaktu kami baru diwisuda dari UI, fakultas ekonomi, jurusan manajemen.
“Ya, kerjalah. Mau apa lagi?”
Devi menggeleng. “Aku... aku ingin menikah.”
Aku terpana. “Apa?”
“Aku ingin menikah, Ka. Aku ingin jadi ibu rumah tangga saja. Entahlah. Entahlah kenapa aku bisa berpikir begitu. Kupikir lucu juga.”
Tentu saja itu lucu. Sangat-sangat lucu. Bagaimana mungkin Devi berpikir untuk menikah ketika usianya baru dua puluh dua tahun? Baru lulus dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia? Ya, ampun! Apa apa dengan anak itu?
“Kamu tidak main-main kan, Dev?” aku meyakinkan.
“Tidak. Sungguh. Entahlah. Ah, sudahlah.” Devi berlalu dari hadapanku, meninggalkan tanya yang tak terjawab. Mengapa dia ingin menikah ketika banyak gadis lain memimpikan bisa berkarier di tempat yang bergengsi? Aku tidak yakin karier bisa berjalan penuh setelah menikah. Oke, bukannya aku melarang seseorang untuk menikah. Tentu saja perempuan lain (bukan aku) boleh menikah, tapi tidak secepat itu, bukan? Kami baru saja lulus kuliah dan Devi sudah membicarakan pernikahan?
Hem, ada beberapa perempuan lain yang lebih gila; menikah saat masih kuliah. Aku tidak mau memikirkan mereka, terserah saja. Tapi, Devi sahabatku dan aku peduli kepadanya!
Dan sekarang, aku menemukan gadis-gadis lain yang juga begitu bersemangat membicarakan pernikahan.
“Aku akan menikah, Sya...! Menikah...! Unbelievable!” gadis di depanku itu, kembali berbicara.
Ya, unbelievable. Apa mereka pikir akan bahagia dengan menikah? Aku rasa tidak.

Violet


Jalan Rasamala....
Jalan Jambu....
Jalan Melati....
Selanjutnya? Ya, bagus. Aku tahu sekarang. Aku tersesat! Oh my God! Kenapa ini selalu terjadi kepadaku? Rasanya aku sudah paham benar rute ke sini, meskipun belum pernah ke sini. Tapi... kenapa? Kenapa aku tersesat lagi?
Oke, tarik napas, embuskan. Tenang... aku harus tenang. Yah, meskipun... tidak ada seorang pun di sini! Halo... every body...! Where are you...?! Sepi. Kompleks perumahan ini benar-benar sepi. Suasana yang khas di seluruh kompleks perumahan elit di Jakarta.
Oke, tarik napas, embuskan. Ini hanya sebuah kompleks perumahan dan aku hanya harus mencari sebuah SMA. Ya, sebuah sekolah menengah atas. Aku seorang penulis miskin. Tenang dulu. Kepada Anda yang juga berprofesi penulis, kutegaskan bahwa penulis itu ada dua kategori: kaya dan miskin. Penulis kaya, adalah para penulis yang penjualan bukunya mencapai best seller, naskahnya difilmkan, dan dibeli hak lisensinya, dan tentu saja... mendapat uang yang tidak ada habis-habisnya. Penulis miskin, adalah para penulis yang penjualan bukunya paling hanya mencapai dua ribu eksemplar (itu saja sudah bagus kalau bisa terjual semua), tidak mungkin difilmkan kecuali kalau mau filmnya bangkrut, dan harus berjalan kaki untuk mempromosikan bukunya sendiri!
Jadi, Anda sudah bisa menangkap kan apa yang sedang kulakukan di sini? Aku sedang berjalan kaki mencari sebuah SMA, tempat buku terbaruku di-launching. SMA itu terletak di sebuah kompleks perumahan di wilayah Tangerang. Aku sudah mendapatkan rute lengkapnya dari bagian promosi penerbit yang menerbitkan bukuku. Aku sudah mendapatkan rutenya selengkap-lengkapnya termasuk harus naik apa, turun di mana, bahkan sampai tikungan-tikungan yang harus kulalui. Aku yakin, aku sudah melalui semuanya, tapi kenapa sekolah itu tidak juga kutemukan? Ini aneh. Benar-benar aneh.
Oh, tentu saja tidak. Tidak pernah ada yang aneh. Tersesat adalah suatu kejadian yang pasti (dalam arti: tidak terlewatkan) akan kualami setiap kali aku bepergian. Bahkan ke tempat yang sudah pernah kudatangi sebelumnya!
Konsentrasi. Aku harus menemukan sekolah itu. Apa yang harus kulakukan? Mengitari kompleks perumahan ini lagi? Oh, tidak. Aku sudah terlambat. Padahal, aku sudah sengaja datang lebih awal dengan pertimbangan, mungkin aku tersesat sehingga butuh waktu lebih lama untuk menemukan jalan. Ternyata benar. Mau bertanya kepada orang-orang? Percaya atau tidak, tidak ada satu orang pun yang melintas di jalan ini sejak aku mencari sekolah itu, dua jam lalu. Oh, my God! Ke mana orang-orang?
Aku menatap sebuah rumah yang kelihatannya agak open. Semua rumah di sini berpagar tinggi dan tertutup, tapi rumah yang satu itu agak lumayan. Pagarnya tidak terlalu tinggi, meskipun tingginya tetap melewati tinggi tubuhku. Sebaiknya aku bertanya kepada orang yang ada di dalam rumah itu (kalau ada). Aku berjalan menuju ke sana dengan penuh harap, dan memencet bel rumah itu. Anda tahu apa yang kudapat?
Guk! Guk!
Anjing! Maaf, aku bukan sedang mengumpat. Beberapa anjing herder langsung menyambutku ketika aku menghampiri pagar rumah itu dan memencet bel. Oh, ya, aku langsung paranoid, dan... lari...!
Kenapa aku bisa sebodoh ini? Satu-satunya yang membuatku tampak bodoh adalah, aku tidak punya nomor telepon panitia launching! Aku tidak punya nomor telepon siapa pun yang berhubungan dengan acara launching ini! Kenapa? Karena aku lupa membawa ponselku. Tertinggal di rumah. Oh... aku mengutuk diriku sendiri yang sangat pelupa. Mungkin lebih tepatnya, ceroboh. Tidak mandiri. Tidak mandiri? Usiaku sudah dua puluh lima tahun dan aku masih saja tidak mandiri...?!
Akhirnya, aku terduduk di bawah tiang listrik. Kepalaku pusing dan aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk berjalan. Acara launching bukuku gagal, karena kompleks perumahan yang tidak bersahabat ini. Di bawah terik matahari, aku memejamkan mata sampai sebuah suara mengejutkanku. Suara motor.
Panitia launching itu datang bersama seorang anak SMA, mungkin panitia dari sekolah yang bersangkutan. Mereka datang untuk menjemputku setelah dua jam mengitari kompleks perumahan ini untuk mencariku.
Ini bukan sekali saja terjadi kepadaku. Terlambat datang ke sebuah acara karena tersesat. Ya, aku masih bisa meminimalisirnya kok. Apa lagi kalau bukan mengajak orang lain bersamaku? Biasanya kalau pergi bersama orang lain, aku bisa lebih tenang. Dan biasanya memang tidak tersesat karena orang itu lebih cerdas mencari jalan. Sayangnya, hari ini tidak ada yang bisa kuajak untuk menemaniku, karena acara launching ini jatuh pada hari kerja di mana semua temanku sedang bekerja.
Kenapa ini bisa terjadi kepadaku? Ketika melihat wujud SMA itu, aku yakin telah melewatinya. Aku pernah melewati tempat ini tadi. Aku yakin! Tapi... kok bisa terlewat? Astaga! Aku pasti sudah gila. Aneh! Aneh! Selalu saja begitu. Ketika sedang mencari jalan atau tempat, otakku pasti langsung kacau. Aku seharusnya sudah menemukan tempat ini sejak tadi!
Aku ingat kejadian tiga tahun lalu ketika baru lulus kuliah dan mencari pekerjaan. Aku berangkat bersama papaku (memang selalu begitu), ke perusahaan yang memanggilku untuk wawancara. Ada beberapa tahap seleksi. Hari pertama, aku memang diantar ayahku, tapi di hari kedua, papaku tidak bisa karena dia harus cepat sampai di kantornya. Kupikir, itu hal yang gampang. Toh, aku sudah pernah ke tempat itu seminggu yang lalu. Aku masih ingat harus naik bus apa dan turun di mana. Sayangnya, ternyata aku turun di tempat salah (sebelumnya aku yakin itu benar). Aku berjalan lurus dengan perasaan tak menentu. Dan frustasi karena tidak juga sampai ke tempat yang kutuju. Aku bertanya kepada orang yang kutemui di jalan dan mereka menunjuk ke sebelah kanan dari tempatku berdiri.
“Itu gedungnya,” katanya.
Aneh. Kenapa kejadian itu selalu terjadi kepadaku?
Aku hanya mendapatkan honor sebesar seratus ribu rupiah untuk acara launching yang hanya dihadiri lima puluh orang siswa SMA (aku penulis novel remaja). Aku tidak mungkin naik taksi, dan aku tidak punya kendaraan pribadi. Aku bahkan tidak bisa mengendarai motor atau menyetir mobil. Teman-temanku mengatakan, aku memang seratus persen orang rumahan. Aku berkarier di rumah. Small home, small office. Isn’t right? Pekerjaan menulis tidak perlu pergi ke mana-mana, kan? Apalagi kalau hanya menulis cerita remaja yang settingnya hanya di sekolah.
Aku memang selalu tersesat, tapi hanya sesekali kok. Sebab, aku kan jarang keluar rumah dan sekalinya keluar rumah, aku tersesat. Ha-ha. Itu juga yang menyebabkanku tidak bisa berkarier di luar rumah. Ketika wawancara pekerjaan, aku selalu jujur mengatakan bahwa aku tidak mobile. Rupanya itu kelemahan yang fatal. Aku selalu gagal mendapatkan pekerjaan. Aku rasa itu bukan masalah besar, toh aku memang lebih suka menulis. Pekerjaan itu cukup menjanjikan, setidaknya aku masih bisa mencari makan dan membeli pakaian sendiri. Aku bisa membiayai hidupku sendiri, meski pas-pasan.
Satu yang tidak aku bisa, aku membutuhkan orang lain untuk menemaniku pergi agar tidak tersesat.

Annisa

“Aku anak saleh... selalu gembira....”
Kepalaku pusing. Bukan. Bukan karena mendengar nyanyian anak-anak didikku. Aku pusing karena... karena... aku belum membayar uang arisan bulan ini!
Kepalaku pusing lagi. Selalu begitu kalau empat huruf itu tercetak di kepalaku: U-A-N-G. Kenapa aku selalu merasa kekurangan, ya? Tentu saja. Gajiku hanya beberapa ratus ribu sebulan. Bisa beli apa aku dengan uang segitu?
Seharusnya aku tidak ikut arisan. Aku pikir, dengan ikut arisan aku seperti sedang menabung. Ketika mendapat arisan, anggap saja sedang mengambil uang tabungan. Masalahnya, setelah mendapat arisan, aku sulit membayarnya lagi. Dan, aku pusing.
Bagaimana aku bisa membayarnya...?! Aku selalu saja kekurangan uang. Selalu. Rasanya tidak pernah tidak. Memang sih, aku tidak terbebani apa pun dan siapa pun. Keluargaku tidak pernah meminta uang dariku dan aku belum berkeluarga. Jadi?
Tentu saja. Aku punya kebutuhan dan uang dua ratus ribu tidak bisa memenuhinya. Ya, Allah... kenapa nasibku buruk sekali? Aku hanya kuliah D1, pendidikan guru TK, bekerja di sebuah TK kecil, dan... hanya memiliki uang dua ratus ribu setiap bulannya!
“Cari TK lain saja yang bisa membayarmu lebih banyak!” saran ayahku.
Sudah. Sudah kulakukan sejak satu bulan pertama bekerja. Aku tahu uang dua ratus ribu itu tidak cukup. Mencari kerja itu bukan hal yang mudah. Begitu banyak guru TK di dunia ini—minimal, Indonesia—dan tidak ada tempat untukku selain di TK Bintang Kecil ini. TK yang hanya membayarku sebesar dua ratus ribu rupiah.
“Kapan kamu bisa hidup mandiri? Masa tiap bulan masih minta sama Ibu? Usiamu itu sudah dua tujuh, lho,” suara ibuku.
Mandiri. Ya, aku memang masih merepotkan mereka. Sangat. Aku tidak tahu bagaimana bisa keluar dari kemelut ini. Aku sudah berusaha mencari tempat kerja yang lebih baik, tapi... nihil!
“Iya tuh, Bu. Bu Ani emang gituh. Sukanya bikin kesel ati orang!”
“Jangan bilang gitu atuh, Bu. Nggak baik.”
“Yee...! Ibu mah nggak tahu, sih. Emang gitu, sih. Kemarin aja, siapa coba yang mancing-mancing berantem? Ya, emang dia sih. Makanya punya anak juga nggak bener! Hobinya berantem.... melulu!”
Suara ibu-ibu itu membuat kepalaku semakin pusing. Alangkah enaknya menjadi mereka. Tidak perlu memikirkan kemelut hidup dan menjadi orang yang sia-sia sepertiku. Setidaknya, mereka telah memiliki seseorang yang menopang kehidupan mereka tanpa mempermasalahkannya. Seorang suami. Ya, seorang suami.
Suami-suami mereka pasti sadar bahwa memang sudah menjadi kewajiban para suami untuk menghidupi para istri. Suami-suami mereka pasti tidak mempertanyakan; kapan kamu bisa mandiri? Pernikahan memang sebuah lembaga tempat seorang perempuan bergantung. Dan para wanita itu, yang sudah menjabat sebagai istri, tidak perlu memikirkan bagaimana aku hidup besok, karena toh itu sudah menjadi tugas suami-suami mereka. Para wanita itu hanya perlu mengurus rumah tangga dengan baik dan... bergosip.
“Heh! Siapa yang lagi ngomongin saya, yah?!”
“Iih... siapa coba? Bu Ani aja yang sensitif wae!”
“Heh, Bu Sekar! Saya tahu, Ibu dari tadi gosipin saya, kan?!”
“Jangan kegeeran Bu Ani! Siapa juga yang ngerumpiin Bu Ani? Enak ajah!”
“Heh, Bu Sekar! Punya mulut teh dijaga!”
“Ibu tuh yang jaga!”
“Lho, Ibu yang ngomongin saya wae!”
“.....”
“Bu Nisa...! Tolong Bu Nisa...! Bu Ani jeung Bu Sekar berantem wae...!”
Teriakan salah seorang orang tua muridku di luar, membuatku bangkit dari duduk dan menghentikan lamunan, sementara anak-anak didikku sedang mengerjakan tugas menggambar.
Huh! Ibu-ibu itu. Selalu saja membuat masalah. Tidak mau kalah dengan anak-anak mereka.
“Ibu-ibu, ada apa ini?” tanyaku. Tanganku sibuk memegangi Bu Ani dan Bu Sekar yang sedang mengepalkan tangan. Kalau aku tidak datang, mungkin mereka sudah saling menonjok.
“Bu Nisa! Bu Ani, tuh! Mau nonjok sayah!” Bu Sekar menunjuk Bu Ani.
“Bohong! Bu Sekar yang gosipin saya, Bu!” Bu Ani menunjuk Bu Sekar.
“Tolong, Ibu-ibu, jangan bertengkar di sini, tidak enak dilihat anak-anak. Ibu-ibu tidak malu?” tanyaku, selembut mungkin, tapi tegas.
“Kalau begitu, hayoh atuh, kita berantem di mana gitu!” kata Bu Sekar.
“Tuh, kan, Bu, Bu Sekar yang ngajakin berantem!” tukas Bu Ani.
Aku menghela napas. Kepalaku benar-benar pusing. Sampai kapan aku begini terus?
“Bu! Apa tidak malu dilihat anak-anak?!” aku berkata, setengah berteriak.
Ibu-ibu itu terdiam. Mereka seperti sedang berpikir, tapi….
“Lho, kita kan berantem juga belain anak-anak….!” kata Bu Sekar. Entah otaknya ditaruh di mana.
“Iyah! Bu Sekar gosipin saya, katanya saya mukul anaknya, padahal anaknya yang nakal. Ngajak berantem anak sayah!” tuding Bu Ani.
“Bu, itu kan cuma perkelahian anak-anak, kenapa ibu-ibu ikut berkelahi?” aku tidak habis pikir.
“Ah… Bu Nisa mah belum punya anak saja, makanya bisa ngomong begitu!” ucapan Bu Sekar mulai menyinggung harga diriku.
“Eh, udah dari sononya atuh ibu-ibu mah belain anaknya!” sambung Bu Ani.
Sekarang mereka jadi menyerangku.
“Makanya Bu Nisa, buru atuh merrid, biar cepat punya anak,” kata Bu Sekar.
“Iyah, keburu jadi perawan tua nanti malah nggak laku!” cerocos Bu Ani.
Novel Cinderella Syndrome
Penerbit: Salsabila, Pustaka Al Kautsar
Harga: Rp 33.000
Sudah tersedia di seluruh toko buku di Indonesia
Aaaargh…. Ibu-ibu ini makin tidak keruan. Kutinggalkan saja mereka tanpa pamit, dan kembali masuk ke dalam ruang kelasku.  Memangnya kenapa kalau aku belum menikah? Memang sih laki-laki maunya menikah dengan perempuan-perempuan bodoh seperti mereka yang ikut berkelahi melihat anak-anaknya berkelahi. Aku kesaaal…. Sampai kapan aku harus menjalani kehidupan ini???





11 comments:

  1. Selamat buat para pemenang .... ^.^

    ReplyDelete
  2. Syukur alhamdulillah, mengena juga isi naskah bunda dihati mbak Leyla Hana. Ada sedikit kemiripan antara cerita bunda dan cerita Erika asli. Kalau Erika-nya Leyla Hana bimbang apakah pernikahan akan menyebabkan bahagia dengan menikah. Erika-bunda juga "gambling" untuk menemui s.o. yang dikenalnya via fb sekian tahun, pastinya Erika-ku juga punya tanya yang sama dengan Erika-nya Leyla Hana "apa akan bahagia dengan menikah?" hehehehehe.....minta di sama-sama-in ya? Makasih mbak Leyla Hana yang sudah menjatuhkan pilihan kepada cerita bunda. Mudah2an ini akan memacu semangat bunda kedepannya.
    Selamat juga kepada pemenang yang lain. Yuuk...kita memacu semangat menulis.
    Buat yang belum beruntung, tetap semangat ya. Selama anda memiliki passion dan purpose, pasti kesuksesan suatu saat akan berpihak kepada anda. Aamiin.

    ReplyDelete
  3. Selamat buat para pemenang .... ^.^

    ReplyDelete
  4. Selamat buat para pemenang .... ^.^

    ReplyDelete
  5. Mbak Leyla Hana, cucu bunda liat pengumuman ini terus liat nama bunda, dia berkomentar: "koq nama bunda gak pake "c", hehehehehe.....

    ReplyDelete
  6. yach..ga dapat cinderella deh... semoga ada putri lain yang sholehah datang deh...

    ReplyDelete
  7. Alahmdulillah.. ternyata, kenapa aku pilih Annisa untuk diimajinasikan, karena sedikit kisahnya cukup dekat dengan kehidupanku. aku juga pernah berada di posisinya: nggak mandiri dalam hal finansial. tapi trus pikirku, apa nikah aja yaa biar ada yang biayain? hahaha...

    makasih mba ela udah memilih ceritaku ^^

    ReplyDelete
  8. waah selamat buat para pemenangnya..
    selamat juga buat mba Leyla atas kelahiran putra ketiganya ^^

    ReplyDelete
  9. Assalamualaikum mba mau tanya kalau yang lomba antologi pengaruh fesbuk terhadap perempuan Indonesia kapan dibukukan ya, soalnya lomba itu sudah lama ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wa'alaikumsalam

      Naskahnya sedang proses di penerbit, Mba...

      Delete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....