Menyempatkan diri untuk posting pengumuman ini, mumpung dede bayi sedang tidur. Mohon maaf kepada semua peserta, jika pengumumannya agak lama, karena saya baru saja melahirkan putra ketiga.
Pertama-tama (kayak pidato ajah), terima kasih atas keikutsertaannya. Semua ceritanya bagus, sampai bingung milihnya. Kayaknya bisa dibuat novel sendiri tuh, hehehe.... Tapi... bagaimanapun, harus dipilih tiga pemenang, karena saya hanya punya tiga hadiah.
Bismillah, berikut ini adalah ketiga orang pemenang berdasarkan hasil perenungan saya:
1. Yati Rahmat, http://goodcrab-personal.blogspot.com/2012/09/giveaway-novel-cinderella-syndrome.html
3. Rima Ria Lestari, http://gudangkatakataku.blogspot.com/2012/09/giveaway-novel-cinderella-syndrome.html
Buat yang lain, berikut cuplikan novelnya....
Erika
“Jadi benar dia melamarmu?”
“Iya, dong...! Akhirnya, aku berhasil
memintanya untuk menikahiku. Capek juga pacaran bertahun-tahun.”
“Wah... asyik, banget...! Kapan
tunangannya?”
“Minggu depan. Aku tidak mau menundanya lagi. Aku takut dia diambil
orang. Kira-kira, toko perhiasan yang koleksinya paling lengkap di mana, ya?
Aku mau beli cincin tunangannya.”
“Di Jewel saja. Lengkap banget!
Bagus-bagus lagi!”
“Kalau wedding organizernya? Aku kurang
referensi, nih. Maklum, aku agak kurang menyangka saja kalau Dio akan langsung
mengiyakan permintaanku.”
Pff... aku senyum-senyum saja mendengar
obrolan dua orang gadis di depan mejaku itu. Sejenak, cappucinoku terlupakan.
Lagi-lagi soal pernikahan. Selalu saja tema itu mencuat dari bibir para gadis
yang asyik mengobrol. Bukan hanya mereka. Hampir semua gadis yang datang
bergerombol, minimal dua orang, ke kafe ini, pasti mengobrolkan tema itu.
Pernikahan. Apa pentingnya?
Untunglah aku tak pernah punya teman yang
menemaniku menghirup cappucino di kafe ini, yang berada tepat di depan
kantorku, setiap pagi. Bukan berarti kantorku tidak memiliki coffe maker
sendiri, tapi berada di kafe ini lebih memberikan kepuasan tersendiri.
Suasananya tenang, meski berada di depan jalan Kebayoran Baru yang padat.
Mungkin karena musik klasiknya, atau dekorasi ruangannya yang temaram. Yang
pasti, aku suka.
Bukan pula aku tak punya teman kalau selalu
sendirian berada di sini. Aku punya banyak teman dan sangat terbuka menerima
hubungan pertemanan itu. Hanya saja, aku memang lebih suka sendirian dalam
menikmati suasana begini. Bahkan sering aku mengerjakan pekerjaanku di sini.
Melihat grafik penjualan perusahaanku yang selalu menurun. Apalagi menghadapi
tahun-tahun berikutnya. Aku harus memikirkan bagaimana agar bisa survive.
Kembali lagi kepada dua orang gadis di
depanku yang masih cuap-cuap tentang pernikahan. Jam di tangan menunjukkan
pukul delapan kurang lima menit. Masih ada waktu lima menit lagi untuk berdiam
di kafe ini sebelum berpindah tempat duduk ke kantorku. Aku heran. Kenapa
gadis-gadis itu begitu bersemangatnya membicarakan soal pernikahan? Aku, bahkan
meskipun usiaku sudah melebihi tiga puluh tahun, sama sekali tidak memikirkan
soal pernikahan. Kalau boleh jujur, jatuh cinta saja aku belum pernah. Mungkin
Anda pikir, aneh betul. Tapi, itu benar. Aku memang belum pernah jatuh cinta.
Rasanya aku tak punya waktu untuk memikirkan hal remeh itu. Dan pernikahan,
bagiku juga termasuk hal yang remeh.
“Aku bingung, Ka. Aku bingung hendak ke
mana selepas kuliah,” ucapan Devi
kembali terngiang di telingaku. Kira-kira delapan tahun lalu, sewaktu kami baru
diwisuda dari UI, fakultas ekonomi, jurusan manajemen.
“Ya, kerjalah. Mau apa lagi?”
Devi menggeleng. “Aku... aku ingin
menikah.”
Aku terpana. “Apa?”
“Aku ingin menikah, Ka. Aku ingin jadi ibu
rumah tangga saja. Entahlah. Entahlah kenapa aku bisa berpikir begitu. Kupikir
lucu juga.”
Tentu saja itu lucu. Sangat-sangat lucu.
Bagaimana mungkin Devi berpikir untuk menikah ketika usianya baru dua puluh dua tahun? Baru lulus dari
sebuah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia? Ya, ampun! Apa apa dengan anak
itu?
“Kamu tidak main-main kan, Dev?” aku meyakinkan.
“Tidak. Sungguh. Entahlah. Ah, sudahlah.”
Devi berlalu dari hadapanku, meninggalkan tanya yang tak terjawab. Mengapa
dia ingin menikah ketika banyak
gadis lain memimpikan bisa berkarier di tempat yang bergengsi? Aku tidak
yakin karier bisa berjalan penuh setelah menikah. Oke, bukannya aku melarang
seseorang untuk menikah. Tentu saja perempuan lain (bukan aku) boleh menikah,
tapi tidak secepat itu, bukan? Kami baru saja lulus kuliah dan Devi sudah
membicarakan pernikahan?
Hem,
ada beberapa perempuan lain yang lebih gila; menikah saat masih kuliah. Aku
tidak mau memikirkan mereka, terserah saja. Tapi, Devi sahabatku dan aku peduli
kepadanya!
Dan sekarang, aku menemukan gadis-gadis
lain yang juga begitu bersemangat membicarakan pernikahan.
“Aku akan menikah, Sya...! Menikah...! Unbelievable!”
gadis di depanku itu, kembali berbicara.
Ya, unbelievable. Apa mereka pikir
akan bahagia dengan menikah? Aku rasa tidak.
Violet
Jalan Rasamala....
Jalan Jambu....
Jalan Melati....
Selanjutnya? Ya, bagus. Aku tahu sekarang.
Aku tersesat! Oh my God! Kenapa ini
selalu terjadi kepadaku? Rasanya aku sudah paham benar rute ke sini, meskipun
belum pernah ke sini. Tapi... kenapa? Kenapa aku tersesat lagi?
Oke, tarik napas, embuskan. Tenang... aku
harus tenang. Yah, meskipun... tidak ada seorang pun di sini! Halo... every body...! Where are you...?! Sepi. Kompleks perumahan ini benar-benar sepi.
Suasana yang khas di seluruh kompleks perumahan elit di Jakarta.
Oke, tarik napas, embuskan. Ini hanya
sebuah kompleks perumahan dan aku hanya harus mencari sebuah SMA. Ya, sebuah
sekolah menengah atas. Aku seorang penulis miskin. Tenang dulu. Kepada Anda
yang juga berprofesi penulis, kutegaskan bahwa penulis itu ada dua kategori:
kaya dan miskin. Penulis kaya, adalah para penulis yang penjualan bukunya
mencapai best seller, naskahnya
difilmkan, dan dibeli hak lisensinya, dan tentu saja... mendapat uang yang
tidak ada habis-habisnya. Penulis miskin, adalah para penulis yang penjualan
bukunya paling hanya mencapai dua ribu eksemplar (itu saja sudah bagus kalau
bisa terjual semua), tidak mungkin difilmkan kecuali kalau mau filmnya bangkrut,
dan harus berjalan kaki untuk mempromosikan bukunya sendiri!
Jadi, Anda sudah bisa menangkap kan apa
yang sedang kulakukan di sini? Aku sedang berjalan kaki mencari sebuah SMA,
tempat buku terbaruku di-launching.
SMA itu terletak di sebuah kompleks perumahan di wilayah Tangerang. Aku sudah
mendapatkan rute lengkapnya dari bagian promosi penerbit yang menerbitkan
bukuku. Aku sudah mendapatkan rutenya selengkap-lengkapnya termasuk harus naik
apa, turun di mana, bahkan sampai tikungan-tikungan yang harus kulalui. Aku
yakin, aku sudah melalui semuanya, tapi kenapa sekolah itu tidak juga
kutemukan? Ini aneh. Benar-benar aneh.
Oh, tentu saja tidak. Tidak pernah ada
yang aneh. Tersesat adalah suatu kejadian yang pasti (dalam arti: tidak
terlewatkan) akan kualami setiap kali aku bepergian. Bahkan ke tempat yang
sudah pernah kudatangi sebelumnya!
Konsentrasi. Aku harus menemukan sekolah
itu. Apa yang harus kulakukan? Mengitari kompleks perumahan ini lagi? Oh,
tidak. Aku sudah terlambat. Padahal, aku sudah sengaja datang lebih awal dengan
pertimbangan, mungkin aku tersesat sehingga butuh waktu lebih lama untuk
menemukan jalan. Ternyata benar. Mau bertanya kepada orang-orang? Percaya atau
tidak, tidak ada satu orang pun yang melintas di jalan ini sejak aku mencari
sekolah itu, dua jam lalu. Oh, my God!
Ke mana orang-orang?
Aku menatap sebuah rumah yang kelihatannya
agak open. Semua rumah di sini
berpagar tinggi dan tertutup, tapi rumah yang satu itu agak lumayan. Pagarnya
tidak terlalu tinggi, meskipun tingginya tetap melewati tinggi tubuhku.
Sebaiknya aku bertanya kepada orang yang ada di dalam rumah itu (kalau ada).
Aku berjalan menuju ke sana dengan penuh harap, dan memencet bel rumah itu.
Anda tahu apa yang kudapat?
Guk! Guk!
Anjing! Maaf, aku bukan sedang mengumpat. Beberapa
anjing herder langsung menyambutku ketika aku menghampiri pagar rumah itu dan
memencet bel. Oh, ya, aku langsung paranoid, dan... lari...!
Kenapa aku bisa sebodoh ini? Satu-satunya
yang membuatku tampak bodoh adalah, aku tidak punya nomor telepon panitia launching! Aku tidak punya nomor telepon
siapa pun yang berhubungan dengan acara launching
ini! Kenapa? Karena aku lupa membawa ponselku. Tertinggal di rumah. Oh...
aku mengutuk diriku sendiri yang sangat pelupa. Mungkin lebih tepatnya, ceroboh.
Tidak mandiri. Tidak mandiri? Usiaku sudah dua puluh lima tahun dan aku masih
saja tidak mandiri...?!
Akhirnya, aku terduduk di bawah tiang
listrik. Kepalaku pusing dan aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk
berjalan. Acara launching bukuku gagal,
karena kompleks perumahan yang tidak bersahabat ini. Di bawah terik matahari,
aku memejamkan mata sampai sebuah suara mengejutkanku. Suara motor.
Panitia launching itu datang
bersama seorang anak SMA, mungkin panitia dari sekolah yang bersangkutan. Mereka
datang untuk menjemputku setelah dua jam mengitari kompleks perumahan ini untuk
mencariku.
Ini bukan sekali saja terjadi kepadaku.
Terlambat datang ke sebuah acara karena tersesat. Ya, aku masih bisa
meminimalisirnya kok. Apa lagi kalau bukan mengajak orang lain bersamaku?
Biasanya kalau pergi bersama orang lain, aku bisa lebih tenang. Dan biasanya
memang tidak tersesat karena orang itu lebih cerdas mencari jalan. Sayangnya,
hari ini tidak ada yang bisa kuajak untuk menemaniku, karena acara launching
ini jatuh pada hari kerja di mana semua temanku sedang bekerja.
Kenapa ini bisa terjadi kepadaku? Ketika
melihat wujud SMA itu, aku yakin telah melewatinya. Aku pernah melewati tempat
ini tadi. Aku yakin! Tapi... kok bisa terlewat? Astaga! Aku pasti sudah gila.
Aneh! Aneh! Selalu saja begitu. Ketika sedang mencari jalan atau tempat, otakku
pasti langsung kacau. Aku seharusnya sudah menemukan tempat ini sejak tadi!
Aku ingat kejadian tiga tahun lalu ketika
baru lulus kuliah dan mencari pekerjaan. Aku berangkat bersama papaku (memang selalu begitu), ke perusahaan
yang memanggilku untuk wawancara. Ada beberapa tahap seleksi. Hari pertama, aku
memang diantar ayahku, tapi di hari kedua, papaku tidak bisa karena dia harus cepat sampai di
kantornya. Kupikir, itu hal yang gampang. Toh, aku sudah pernah ke tempat itu
seminggu yang lalu. Aku masih ingat harus naik bus apa dan turun di mana.
Sayangnya, ternyata aku turun di tempat salah (sebelumnya aku yakin itu benar).
Aku berjalan lurus dengan perasaan tak menentu. Dan frustasi karena tidak juga
sampai ke tempat yang kutuju. Aku bertanya kepada orang yang kutemui di jalan
dan mereka menunjuk ke sebelah kanan dari tempatku berdiri.
“Itu gedungnya,” katanya.
Aneh. Kenapa kejadian itu selalu terjadi
kepadaku?
Aku hanya mendapatkan honor sebesar
seratus ribu rupiah untuk acara launching
yang hanya dihadiri lima puluh orang siswa SMA (aku penulis novel remaja).
Aku tidak mungkin naik taksi, dan aku tidak punya kendaraan pribadi. Aku bahkan
tidak bisa mengendarai motor atau menyetir mobil. Teman-temanku mengatakan, aku
memang seratus persen orang rumahan. Aku berkarier di rumah. Small home, small office. Isn’t right?
Pekerjaan menulis tidak perlu pergi ke mana-mana, kan? Apalagi kalau hanya
menulis cerita remaja yang settingnya hanya di sekolah.
Aku memang selalu tersesat, tapi hanya
sesekali kok. Sebab, aku kan jarang keluar rumah dan sekalinya keluar rumah,
aku tersesat. Ha-ha. Itu juga yang menyebabkanku tidak bisa berkarier di luar
rumah. Ketika wawancara pekerjaan, aku selalu jujur mengatakan bahwa aku tidak mobile.
Rupanya itu kelemahan yang fatal. Aku selalu gagal mendapatkan pekerjaan. Aku
rasa itu bukan masalah besar, toh aku memang lebih suka menulis. Pekerjaan itu
cukup menjanjikan, setidaknya aku masih bisa mencari makan dan membeli pakaian
sendiri. Aku bisa membiayai hidupku sendiri, meski pas-pasan.
Satu yang tidak aku bisa, aku membutuhkan
orang lain untuk menemaniku pergi agar tidak tersesat.
Annisa
“Aku anak saleh... selalu gembira....”
Kepalaku pusing. Bukan. Bukan karena
mendengar nyanyian anak-anak didikku. Aku pusing karena... karena... aku belum
membayar uang arisan bulan ini!
Kepalaku pusing lagi. Selalu begitu kalau
empat huruf itu tercetak di kepalaku: U-A-N-G. Kenapa aku selalu merasa
kekurangan, ya? Tentu saja. Gajiku hanya beberapa ratus ribu sebulan. Bisa beli apa aku dengan uang
segitu?
Seharusnya aku tidak ikut arisan. Aku pikir,
dengan ikut arisan aku seperti sedang menabung. Ketika mendapat arisan, anggap
saja sedang mengambil uang tabungan. Masalahnya, setelah mendapat arisan, aku
sulit membayarnya lagi. Dan, aku pusing.
Bagaimana aku bisa membayarnya...?! Aku
selalu saja kekurangan uang. Selalu. Rasanya tidak pernah tidak. Memang sih,
aku tidak terbebani apa pun dan siapa pun. Keluargaku tidak pernah meminta uang
dariku dan aku belum berkeluarga. Jadi?
Tentu saja. Aku punya kebutuhan dan uang
dua ratus ribu tidak bisa memenuhinya. Ya, Allah... kenapa nasibku buruk
sekali? Aku hanya kuliah D1, pendidikan guru TK, bekerja di sebuah TK kecil,
dan... hanya memiliki uang dua ratus ribu setiap bulannya!
“Cari TK lain saja yang bisa membayarmu
lebih banyak!” saran ayahku.
Sudah. Sudah kulakukan sejak satu bulan
pertama bekerja. Aku tahu uang dua ratus ribu itu tidak cukup. Mencari kerja
itu bukan hal yang mudah. Begitu banyak guru TK di dunia ini—minimal,
Indonesia—dan tidak ada tempat untukku selain di TK Bintang Kecil ini. TK yang
hanya membayarku sebesar dua ratus ribu rupiah.
“Kapan kamu bisa hidup mandiri? Masa tiap
bulan masih minta sama Ibu? Usiamu itu sudah dua tujuh, lho,” suara ibuku.
Mandiri. Ya, aku memang masih merepotkan
mereka. Sangat. Aku tidak tahu bagaimana bisa keluar dari kemelut ini. Aku
sudah berusaha mencari tempat kerja yang lebih baik, tapi... nihil!
“Iya tuh, Bu. Bu Ani emang gituh. Sukanya
bikin kesel ati orang!”
“Jangan bilang gitu atuh, Bu. Nggak baik.”
“Yee...! Ibu mah nggak tahu, sih. Emang
gitu, sih. Kemarin aja, siapa coba yang mancing-mancing berantem? Ya, emang dia
sih. Makanya punya anak juga nggak bener! Hobinya berantem.... melulu!”
Suara ibu-ibu itu membuat kepalaku semakin
pusing. Alangkah enaknya menjadi mereka. Tidak perlu memikirkan kemelut hidup
dan menjadi orang yang sia-sia sepertiku. Setidaknya, mereka telah memiliki
seseorang yang menopang kehidupan mereka tanpa mempermasalahkannya. Seorang
suami. Ya, seorang suami.
Suami-suami mereka pasti sadar bahwa
memang sudah menjadi kewajiban para suami untuk menghidupi para istri.
Suami-suami mereka pasti tidak mempertanyakan; kapan kamu bisa mandiri? Pernikahan memang sebuah lembaga tempat
seorang perempuan bergantung. Dan para wanita itu, yang sudah menjabat sebagai
istri, tidak perlu memikirkan bagaimana aku
hidup besok, karena toh itu sudah menjadi tugas suami-suami mereka. Para
wanita itu hanya perlu mengurus rumah tangga dengan baik dan... bergosip.
“Heh! Siapa yang lagi ngomongin saya,
yah?!”
“Iih... siapa coba? Bu Ani aja yang
sensitif wae!”
“Heh, Bu Sekar! Saya tahu, Ibu dari tadi
gosipin saya, kan?!”
“Jangan kegeeran Bu Ani! Siapa juga yang
ngerumpiin Bu Ani? Enak ajah!”
“Heh, Bu Sekar! Punya mulut teh dijaga!”
“Ibu tuh yang jaga!”
“Lho, Ibu yang ngomongin saya wae!”
“.....”
“Bu Nisa...! Tolong Bu Nisa...! Bu Ani
jeung Bu Sekar berantem wae...!”
Teriakan salah seorang orang tua muridku
di luar, membuatku bangkit dari duduk dan menghentikan lamunan, sementara
anak-anak didikku sedang mengerjakan tugas menggambar.
Huh! Ibu-ibu itu. Selalu saja membuat
masalah. Tidak mau kalah dengan anak-anak mereka.
“Ibu-ibu, ada apa ini?” tanyaku. Tanganku
sibuk memegangi Bu Ani dan Bu Sekar yang sedang mengepalkan tangan. Kalau aku
tidak datang, mungkin mereka sudah saling menonjok.
“Bu Nisa! Bu Ani, tuh! Mau nonjok sayah!”
Bu Sekar menunjuk Bu Ani.
“Bohong! Bu Sekar yang gosipin saya, Bu!”
Bu Ani menunjuk Bu Sekar.
“Tolong, Ibu-ibu, jangan bertengkar di
sini, tidak enak dilihat anak-anak. Ibu-ibu tidak malu?” tanyaku, selembut
mungkin, tapi tegas.
“Kalau begitu, hayoh atuh, kita berantem
di mana gitu!” kata Bu Sekar.
“Tuh, kan, Bu, Bu Sekar yang ngajakin
berantem!” tukas Bu Ani.
Aku menghela napas. Kepalaku benar-benar pusing.
Sampai kapan aku begini terus?
“Bu! Apa tidak malu dilihat anak-anak?!”
aku berkata, setengah berteriak.
Ibu-ibu itu terdiam. Mereka seperti sedang
berpikir, tapi….
“Lho, kita kan berantem juga belain
anak-anak….!” kata Bu Sekar. Entah otaknya ditaruh di mana.
“Iyah! Bu Sekar gosipin saya, katanya saya
mukul anaknya, padahal anaknya yang nakal. Ngajak berantem anak sayah!” tuding
Bu Ani.
“Bu, itu kan cuma perkelahian anak-anak,
kenapa ibu-ibu ikut berkelahi?” aku tidak habis pikir.
“Ah… Bu Nisa mah belum punya anak saja,
makanya bisa ngomong begitu!” ucapan Bu Sekar mulai menyinggung harga diriku.
“Eh, udah dari sononya atuh ibu-ibu mah
belain anaknya!” sambung Bu Ani.
Sekarang mereka jadi menyerangku.
“Makanya Bu Nisa, buru atuh merrid, biar
cepat punya anak,” kata Bu Sekar.
“Iyah, keburu jadi perawan tua nanti malah
nggak laku!” cerocos Bu Ani.
Novel Cinderella Syndrome Penerbit: Salsabila, Pustaka Al Kautsar Harga: Rp 33.000 Sudah tersedia di seluruh toko buku di Indonesia |
Aaaargh…. Ibu-ibu ini makin tidak keruan.
Kutinggalkan saja mereka tanpa pamit, dan kembali masuk ke dalam ruang kelasku.
Memangnya kenapa kalau aku belum
menikah? Memang sih laki-laki
maunya menikah dengan perempuan-perempuan bodoh seperti mereka yang ikut
berkelahi melihat anak-anaknya berkelahi. Aku kesaaal…. Sampai kapan aku harus
menjalani kehidupan ini???
Selamat buat para pemenang .... ^.^
ReplyDeleteSyukur alhamdulillah, mengena juga isi naskah bunda dihati mbak Leyla Hana. Ada sedikit kemiripan antara cerita bunda dan cerita Erika asli. Kalau Erika-nya Leyla Hana bimbang apakah pernikahan akan menyebabkan bahagia dengan menikah. Erika-bunda juga "gambling" untuk menemui s.o. yang dikenalnya via fb sekian tahun, pastinya Erika-ku juga punya tanya yang sama dengan Erika-nya Leyla Hana "apa akan bahagia dengan menikah?" hehehehehe.....minta di sama-sama-in ya? Makasih mbak Leyla Hana yang sudah menjatuhkan pilihan kepada cerita bunda. Mudah2an ini akan memacu semangat bunda kedepannya.
ReplyDeleteSelamat juga kepada pemenang yang lain. Yuuk...kita memacu semangat menulis.
Buat yang belum beruntung, tetap semangat ya. Selama anda memiliki passion dan purpose, pasti kesuksesan suatu saat akan berpihak kepada anda. Aamiin.
Selamat buat para pemenang .... ^.^
ReplyDeleteSelamat buat para pemenang .... ^.^
ReplyDeleteMbak Leyla Hana, cucu bunda liat pengumuman ini terus liat nama bunda, dia berkomentar: "koq nama bunda gak pake "c", hehehehehe.....
ReplyDeleteyach..ga dapat cinderella deh... semoga ada putri lain yang sholehah datang deh...
ReplyDeleteAlahmdulillah.. ternyata, kenapa aku pilih Annisa untuk diimajinasikan, karena sedikit kisahnya cukup dekat dengan kehidupanku. aku juga pernah berada di posisinya: nggak mandiri dalam hal finansial. tapi trus pikirku, apa nikah aja yaa biar ada yang biayain? hahaha...
ReplyDeletemakasih mba ela udah memilih ceritaku ^^
waah selamat buat para pemenangnya..
ReplyDeleteselamat juga buat mba Leyla atas kelahiran putra ketiganya ^^
Makasih, Mba Aisyah... :)
DeleteAssalamualaikum mba mau tanya kalau yang lomba antologi pengaruh fesbuk terhadap perempuan Indonesia kapan dibukukan ya, soalnya lomba itu sudah lama ^_^
ReplyDeleteWa'alaikumsalam
DeleteNaskahnya sedang proses di penerbit, Mba...