Wednesday, October 10, 2012

Meneladani Pemimpin Antikorupsi: Umar bin Abdul Aziz



Gambar dari sini
Suatu malam, datang seorang utusan gubernur suatu daerah ke kediaman Umar bin Abdul Aziz yang kala itu menjabat sebagai Amirul Mukminin. Umar menanyakan soal keadaan penduduk  daerah tersebut, kepemimpinan gubernurnya, fakir miskin, harga-harga, dan segala yang berhubungan dengan daerah yang didiami sang utusan gubernur, yang lalu dijawab oleh utusan gubernur itu tanpa ada yang disembunyikan. Selanjutnya, ganti si utusan gubernur yang bertanya kepada Umar, bagaimana keadaan Umar dan keluarganya. Sebelum menjawab, Umar menyuruh pelayannya untuk mengganti lilin yang digunakan sebagai penerang ruangan, dengan lilin lain yang  lebih kecil. Si utusan gubernur kebingungan. Umar pun menjawab kebingungan itu. Bahwasanya, lilin kecil yang digunakannya itu adalah miliknya sendiri, sedangkan lilin besar yang baru saja dimatikan adalah milik negara. Pertanyaan yang diajukan oleh utusan gubernur itu tidak ada kaitannya dengan negara, maka Umar mematikan lilin negara dan menggantinya dengan lilin miliknya sendiri.
Kisah di atas hanya sebagian kecil dari sikap kepemimpinan antikorupsi yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz, salah seorang pemimpin Islam, yang dianggap sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5. Kesederhanaan dan sikap hati-hatinya, patut dijadikan teladan oleh kita. Jangankan mengkorupsi harta negara yang jumlahnya trilyunan, mengkorupsi sebatang lilin pun beliau tak mau. Bahkan, ketika diangkat sebagai Khalifah (pemimpin negara), Umar sempat menolak. Namun, rakyat tetap memilihnya sebagai pemimpin, sehingga beliau menjalankan amanahnya.
Umar bin Abdul Aziz, menolak kendaraan dinas dan memilih menggunakan kendaraannya sendiri. Sesaat setelah diangkat menjadi khalifah, para pengawal datang mengantarkan kendaraan khusus kekhalifahan. Umar berkata: “Bawalah kendaraan ini ke pasar, dan juallah. Hasilnya disimpan di Baitul Maal. Saya cukup menggunakan kendaraan sendiri.” Baitul Maal adalah lembaga zakat tempat menyimpan harta negara yang kemudian digunakan untuk keperluan rakyat.
Umar amat berhati-hati menggunakan uang negara, bahkan ia memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali. Hidupnya sangat sederhana, meskipun telah menjadi pemimpin negara. Sebelum diangkat menjadi Khalifah, kekayaannya berjumlah 40 ribu dinar. Setelah wafat, kekayaannya justru berkurang sehingga hanya menjadi 400 dinar. Bandingkan dengan para pejabat kita yang justru bertambah banyak sekali kekayaannya setelah menjabat sebagai pemimpin atau wakil rakyat. Seakan tak cukup gaji yang diambil dari pajak rakyat, masih juga mengkorupsi uang rakyat.
Membaca dan melihat berita tentang korupsi di media massa dan televisi, membuat kita muak dan geram. Di tengah penderitaan bayi-bayi yang terkena busung lapar, anak-anak sekolah yang tak dapat sekolah karena sekolahnya rusak, anak-anak yang tak tertolong karena biaya rumah sakit yang mencekik, rakyat yang kelaparan, dan penderitaan-penderitaan lainnya, para wakil rakyat justru sibuk mengkorupsi uang rakyat. Secercah harapan muncul ketika Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk memberantas korupsi dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, harapan mulai terkikis manakala proses pemberantasan korupsi itu tidak berjalan mulus. Ada saja hambatan yang dihadapi oleh KPK dalam melakukan tugasnya, ditambah hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor yang lebih ringan dibandingkan kerugian yang diakibatkan.

Korupsi, Dimulai dari Kecil
Bagaimana awalnya seseorang bisa melakukan tindakan korupsi? Korupsi besar sesungguhnya dimulai dari korupsi kecil. Diawali oleh sebuah pemakluman, “ah, hanya mengambil sedikit kok…” Lama-lama, perbuatan itu menjadi biasa. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Umar bin Abdul Aziz, menghindari korupsi, meskipun sedikit. Misalnya seperti kisah di atas. Beliau tidak mau memakai lilin negara, padahal berapakah harga lilin? Tidak mahal. Apakah kita sudah meneladaninya? Mungkin kita lupa, korupsi kecil-kecilan yang kita lakukan dengan pemakluman, “ah, hanya sedikit….” Karyawan yang bekerja di kantor, sesekali menggunakan kertas kantor untuk keperluan pribadi, internet kantor untuk keperluan pribadi, bahkan listrik kantor untuk keperluan pribadi. Tanpa izin  pemilik kantor, sekecil apa pun, dapat disebut dengan korupsi. Dan yang sedikit itu, lama-lama menjadi bukit.
Kendaraan dinas, misalnya. Semestinya kendaraan dinas hanya digunakan untuk urusan dinas, tetapi sering sekali kendaraan berplat merah itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Itu dari sisi koruptor. Jangan-jangan kita sendiri juga telah memberikan peluang terselenggaranya perbuatan korupsi para koruptor. Misalnya dalam urusan surat-menyurat yang berkaitan dengan birokrasi. Mau mengurus SIM, supaya cepat, kita pilih lewat “jalan belakang.” Harganya memang lebih mahal, tapi prosesnya lebih cepat.

Korupsi, Dimulai dari Keluarga
Siapakah orang tua Umar bin Abdul Aziz sehingga tercipta sosok pemimpin antikorupsi yang sederhana dan merakyat? Mari kita simak kisah berikut ini:
Suatu malam, Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, yang kala itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, sedang berjalan-jalan ke seluruh Kota Madinah untuk keadaan  rakyatnya dari dekat. Menjelang pagi, beliau merasa lelah dan beristirahat di sebuah rumah. Terdengar sebuah percakapan antara seorang ibu dengan anak gadisnya, dari rumah yang dekat dengan rumah tempatnya beristirahat. Rupanya itu adalah rumah seorang penjual susu. Sang ibu berniat mencampur susu jualannya dengan air, tetapi anak gadisnya melarang. Ibunya berdalih bahwa semua penjual susu  melakukannya dan lagipula Amirul Mukimin Umar bin Khattab tak mengetahuinya. Anak gadisnya menjawab, bahwa meskipun Umar tak melihat, tetapi Allah melihat.
Mendengar percakapan itu, Umar bin Khattab menangis. Ia lalu kembali ke rumahnya dan memanggil anaknya, Ashim bin Umar bin Khattab. Umar memerintahkan Ashim untuk mendatangi rumah si gadis dan menyelidiki keluarganya. Ashim menuruti perintah ayahnya. Setelah Ashim menyelidiki keluarga si gadis, Umar berkata; “Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya menjadi istrimu. Insya Allah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan ia dapat memberi keturunan seorang pemimpin bangsa.”
Ashim menuruti perintah ayahnya. Dari pernikahan itu, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang kelak dipanggil dengan sebutan Ummi Ashim. Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, Gubernur Mesir.  Dari pernikahan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Sehingga jelas, bagaimana garis keturunan Umar bin Abdul Aziz. Kakek buyutnya adalah Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, yang terkenal amanah dan tegas dalam kepemimpinannya. Neneknya adalah anak penjual susu yang jujur dan tidak mau mencampur susunya dengan air. Maka, alangkah wajarnya apabila Umar bin Abdul Aziz menjelma menjadi seorang pemimpin yang amanah, jujur, sederhana, dan antikorupsi.
Bagaimana dengan keluarga kita? Sudahkah kita menjauhkan keluarga kita dari tindakan korupsi sekecil apa pun? Sebab, harta yang berasal dari hasil korupsi, akan dimakan oleh anak keturunan kita, menjelma menjadi darah dan daging. Darah dan daging seperti apakah yang akan membentuk anak-anak yang diberi makan oleh harta hasil korupsi? Orang tua yang korupsi, pasti akan menghasilkan anak-anak berakhlak buruk karena diberi makan dari hasil korupsi.

Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
1.      Menjauhkan diri dari tindakan korupsi sekecil apa pun, karena dari yang kecil itu lama-lama menjadi besar.
2.      Menanamkan budaya antikorupsi sejak dari lini terkecil, alias keluarga. Orang tua harus menjauhkan diri dari perbuatan korupsi, tidak memberi makan anak-anaknya dari harta hasil korupsi, dan mengajarkan kejujuran kepada anak-anak sedari kecil.
3.      Tidak memberi kesempatan kepada koruptor untuk melakukan tindakan korupsi. Misalnya dalam pengurusan surat-surat yang membuka celah korupsi, gunakan jalan biasa, bukan jalan cepat dengan menambah biaya yang akan masuk ke kantong koruptor.
4.      Laporkan ke pihak berwenang, misalnya KPK atau LSM antikorupsi, apabila menemukan atau melihat adanya tindak pidana korupsi.
5.      Menjadikan pemimpin-pemimpin jujur sebagai suri teladan untuk dicontoh perilaku mereka dalam keseharian, contohnya Umar bin Abdul Aziz.

Semoga negara kita terbebas dari perilaku korupsi, baik oleh pejabat negara maupun masyarakatnya, menjadi negara yang diberkahi, makmur, dan sejahtera.
************* 

7 comments:

  1. Pendidikan dan pembentukan karakter pribadi, yg paling utama memang dr keluarga. Maka tak heran jk korupsi pun sebenarnya termulai [secara tak sengaja] dr unit trekecil sosial yaitu: rumah/ kleuarga

    ReplyDelete
  2. Pribadi Umar bin Abdul Aziz memang luar biasa. Demikianlah semestinya setiap orang yang mengaku beriman. Sungguh, hal ini menjadi teladan bagi kita semua. Dengan demikian, negara yang dasar negaranya Pancasila, dan sila pertamanya berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" ini benar-benar bisa menunjukkan bahwa warganya benar2 antikorupsi.

    ReplyDelete
  3. Semoga anak keturunan kita bisa meneladani beliau ya, Pak Akhmad. Terima kasih sudah mampir :)

    ReplyDelete
  4. Buanyak banget kisa teladan yang bisa kita ambil dari kisah2 toko Islam yang bisa diambil hikmahnya. Dan contoh itu sering juga sama dengan realita sekarng.

    ReplyDelete
  5. Salam Takzim
    Memang tak akan mampu para pemimpin masa kini jika menjadikan almukarom Umar bin Abdul Aziz, tetapi minimal untuk mencari pemimpin carilah yang terbiasa antikorupsi sedari dini.
    Salam sehat dan Takzim Batavusqu

    ReplyDelete
  6. Maha Suci Allah swt yg telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
    Ini adlh contoh pmimpin terbaik umat.
    Seharusnya setiap pemimpin bangsa kita bisa mempelajari kepemimpinan Umar.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....