Monday, October 15, 2012

Lawan Korupsi dari Yang Terkecil


“Ya Allah, berilah kesempatan untuk ayahku agar bisa naik haji….”

Doa itu selalu kuucapkan setiap usai menunaikan salat.  Sebuah doa sederhana untuk ayahku, yang sampai pensiun dari Kementerian Agama, belum juga menunaikan ibadah haji.  Sedangkan nyaris semua teman kantornya, sudah menunaikan ibadah haji, dengan biaya dari negara.


Ayah sudah pernah beberapa kali mengikuti tes berangkat haji, tapi tidak pernah lulus. Para pegawai Kementerian Agama yang ingin naik haji dengan biaya negara, tentu dengan embel-embel “perjalanan dinas” sebagai petugas haji, harus mengikuti tes. Entah kenapa Ayah tidak pernah lulus tes. Teman-teman kantornya banyak yang bisa berangkat haji lebih dari sekali.  Apakah karena Ayah pernah berkata bahwa beliau tidak mau berangkat haji dengan biaya negara?

Setiap menjelang tes, Ayah selalu ogah-ogahan menjalaninya. Bahkan pernah absen karena sakit. Ayah malas “belajar” agar bisa menjawab soal-soal ujian. Akibatnya, beliau tidak pernah lulus ujian agar bisa berangkat haji dengan biaya negara. Sampai pensiun pun, beliau tak menyesali ketidakmampuannya lulus tes berangkat haji. Beliau lebih senang bila bisa berangkat haji dengan biaya sendiri, bukan dibiayai oleh negara. Maka, kini, aku hanya bisa mendoakan agar beliau bisa naik haji. Tentu aku juga terbersit niat untuk menghajikan Ayah, tapi belum mampu.

Memutar ulang memori, ketika aku baru lulus Sarjana Ekonomi Undip. Pembukaan tes CPNS Kementerian Agama, sungguh menggoda. Aha… kedua orang tuaku bekerja di Kementerian Agama. Bahkan, saudara-saudaraku banyak yang bekerja di instansi yang sama. Tentu mudah bagiku untuk menjadi CPNS Kemenag dengan bantuan mereka. Tapi, apa kata ayahku?

“Ayah tidak mau membantu. Kamu harus berusaha sendiri. Ayah tidak mau “minta-minta” sama atasan, supaya anak Ayah bisa jadi CPNS….”

Semua saudara mempertanyakan keputusan Ayah. Kenapa Ayah tak mau membantu anak-anaknya menjadi PNS Kemenag? Seandainya mau, tentu beliau bisa. Ya, caranya dengan “meminta” kepada bosnya. Sudah banyak orang tua yang bekerja di Kemenag, yang berhasil memasukkan anak atau keponakannya bekerja di Kemenag.

Akhirnya, aku harus melalui jalan “biasa” sebagaimana yang dilewati para CPNS lain yang tidak punya koneksi di Kemenag. Aku mendaftar seperti biasa, dan rencananya mengikuti tes CPNS. Di kesempatan pertama itu, rupanya jadwal tesnya berbenturan dengan jadwal tes di Sekretariat Negara, dan ibuku menyuruhku untuk ikut tes di Sekneg.

“Kalau kamu keterima yang di Sekneg, Mamah lebih bangga, karena gak ada koneksi di sana. Orang-orang tau kalau kamu masuk tanpa koneksi. Kalau keterima di Depag (Kemenag), pasti orang-orang nyangka kamu dimasukin sama Mamah dan Ayah,” kata almarhumah Mamah, kala itu.

Aku pun mengikuti tes di Sekneg, dan melepas kesempatan di Kemenag. Ternyata memang bukan takdirku menjadi CPNS. Aku tidak lolos di Sekneg.

Setelah menikah dan  punya dua anak, tetiba ada kesempatan ikut tes CPNS Kemenag lagi. Aku kembali mengikutinya dengan jalan biasa. Aku ikut tes bersama salah seorang anak PNS Kemenag juga. Dalam perjalanan ke Gelora Bung Karno, tempat tes diselenggarakan, dia berkata,

“Ngapain Mba Ela susah-susah ikut tes? Sediain aja uang 5 juta, nanti pasti dibantu sama Mamah,” katanya.

“Lah, kamu sendiri kenapa ikut tes juga? Kamu kan bisa dimasukin sama mamahmu?” aku balik bertanya.

“Enggaklah, mamahku gak mau bantu anak sendiri, nanti ketauan deh KKN-nya. Tapi kalau bantu orang lain, ya mau. Untuk Mba Ela, 5 juta aja. Kalau orang lain mah bisa 60 juta-an,” dia tersenyum.

Aku juga tersenyum. Uang 5 juta? Keciiil…. Tapi, aku tidak akan menggadaikan prinsipku dengan “menyogok” untuk bisa menjadi PNS. Akhirnya, aku memang tidak lolos tes CPNS, dan sampai sekarang pun tidak berhasil menjadi PNS di Kemenag, meskipun orang tua dan saudara-saudaraku banyak yang bekerja di sana.

 Memutar ulang memori lagi, ketika aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan usai lulus kuliah. Seorang kerabat yang bekerja sebagai PNS, menghubungiku. Katanya, dia mau membuat perusahaan percetakan dan aku diminta menjadi direkturnya. Wah, tentu saja aku mau sekali. Bayangkan, baru lulus sudah jadi direktur. Ketika kuceritakan rencana itu kepada ayahku, beliau langsung tak setuju.
“Pasti itu buat korupsi!” kata ayahku.

Aku tidak langsung menerima tuduhan ayahku. Kudatangi dulu kerabatku itu untuk mendapatkan penjelasan soal “pekerjaanku.” Katanya, pekerjaanku nanti cuma tanda tangan kwitansi saja. Kwitansi percetakan buku. Kujelaskan hal itu kepada ayahku, dan ayahku sudah menduganya.

“Ya, memang begitu pekerjaannya, kan dia di instansi penyediaan buku. Jadi, nanti dia pesan ke percetakan berapa, tapi harga di kwitansinya gak sama dengan harga yang dia bayar. Kamu yang tanda tangan kwitansi palsunya. Dia dapat kelebihan harganya, deh. Itu namanya korupsi.”

Setelah mendapatkan penjelasan ayahku, aku langsung menolak tawaran menjadi “direktur” itu. Direktur bohongan, hanya untuk membohongi negara.
Ah, ternyata korupsi begitu dekat dengan keluarga kami. Syukurlah, Ayah mempunyai prinsip yang tegas. Beliau tak mau terlibat di dalamnya, meskipun memiliki banyak kesempatan. Bahkan, jabatan ayahku di Kemenag pun masuk wilayah “basah.” Sebagai auditor, ayahku punya peluang untuk mendapatkan uang suap, tapi beliau selalu menolak. Saudara-saudaraku tak ada yang percaya kalau ayahku bilang tidak punya uang. “masa Auditor gak punya uang?”

Percayalah. Di akhir pensiunnya, ayahku hanya punya satu rumah sederhana dan satu motor butut untuk mengantar adikku sekolah, dan belum naik haji. Sementara mantan teman-teman kantornya sudah memiliki mobil lebih dari satu, rumah dan tanah yang banyak, dan sudah naik haji lebih dari sekali. Untuk biaya hidup sehari-hari, tak dapat hanya mengandalkan uang gaji. Sering sekali ayahku hanya makan mi instan, kalau uang gaji sudah habis sebelum waktunya. Alhamdulillah, meskipun keempat anak ayahku semuanya perempuan, tiga anak telah berhasil lulus sarjana, dan dua anak dapat menikah tanpa mengeluarkan biaya yang berlebihan. Padahal, biasanya biaya pernikahan banyak dibebani pada keluarga perempuan. Kami memang tidak hidup bermewah-mewahan, tetapi cukup.

Tindakan “menyuap” juga pernah terlintas di benak suamiku ketika mobil yang dikendarainya melanggar lampu merah, ditambah lagi kami tidak mengenakan sabuk pengaman. Suamiku meminta uang 50 ribu dariku, katanya untuk “menyuap” polisi lalu lintas. Aku bilang, mana cukup 50 ribu? Tapi, uang yang ada di dompetku memang hanya 100 ribu. Benar dugaanku, polisi itu meminta uang 700 ribu! Gila! Seperti saranku, akhirnya suamiku memilih disidang, dengan konsekuensi STNK dan SIM ditahan sampai sidang, dua minggu kemudian. Ternyata setelah mengikuti sidang, kami hanya dimintai uang 40 Ribu untuk membayar denda. Oh, polisiiii.. polisiiii…. Alhamdulillah, kami tidak sempat menyuapnya.

Tidak perlu melakukan “hal besar” untuk mencegah korupsi, karena semuanya bisa dimulai dari yang kecil. Tanpa sadar, mungkin kita sudah melakukan “korupsi” kecil-kecilan, yang kita anggap biasa dan tidak apa-apa. Jangan berteriak-teriak “penjarakan para koruptor dan hukum seberat-beratnya,” bila kita sendiri turut ambil bagian dalam perbuatan korupsi, meski “kecil-kecilan.”

Film “Kita Vs Korupsi” juga menceritakan tindakan pencegahan terhadap korupsi, yang bisa dimulai dari yang kecil. Sejujurnya, aku belum menyaksikan film ini, tapi sudah membaca reviewnya di beberapa situs. Film ini terdiri atas empat film pendek, yang memiliki tema sama: pencegahan terhadap korupsi yang dimulai dari diri kita sendiri.

Salah satu film yang digagas oleh USAID, TTI (Transparancy International Indonesia), dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ini mengingatkanku kepada ayahku, yaitu film yang berjudul  “Selamat Siang, Risa,” yang disutradari oleh Ine Febriyanti. Sosok Arwoko (Tora Sudiro), seorang ayah yang memiliki sikap antikorupsi, meskipun rekan-rekan kantornya melakukan korupsi, tidak jauh berbeda dengan ayahku. Sikap antikorupsinya itu kemudian menurun kepada Raisa, putrinya. Begitulah, orang tua memberikan teladan yang baik kepada anaknya.

Sebaliknya, di film “Psst… Jangan Bilang Siapa-Siapa,” memperlihatkan seorang anak SMA, yang gemar melakukan korupsi kecil-kecilan. Ternyata, ibunya juga suka mengkorupsi uang ayahnya, dan ayahnya juga melakukan tindakan korupsi di kantornya. Lihatlah, betapa orang tua yang bersikap antikorupsi maka akan menurun kepada anaknya. Begitu juga orang tua yang gemar korupsi, anak-anaknya pun tak lepas dari perbuatan serupa.

Aku yakin, film ini adalah film yang bagus dan harus ditonton  oleh para orang tua dan generasi muda, agar kita terhindar dari tindakan korupsi sekecil apa pun. Semoga saja kelak aku punya kesempatan menontonnya.

-------------------------------------

Alhamdulillah, tulisan ini menjadi juara ke-2 dalam lomba Blog Melawan Korupsi Siapa Takut dan mendapatkan I Phone 3S

15 comments:

  1. ada banyak lomba ya mbak ternyata di bulan ini

    mari kita lawan korupsi mbak, mulai dari kebiasaan kita sendiri mbak ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, banyak banget ya lombanya.. yg penting nulisnya dulu..
      makasih dah mampir ya

      Delete
  2. yup hrs di mulai dr hal2 kecil dulu ya mbak.. :)

    ReplyDelete
  3. subhanallah, salut untuk mbak Leyla & kedua orangtua mbak Leyla :) jadi ingat dulu ketika saya baru diterima jd CPNS Kemenkes, banyak yang bertanya dua hal ini: "Punya kenalan 'orang dalam' ya?" "Bayar berapa supaya bisa diterima?" :p sedih banget, betapa korupsi sudah begitu mentradisi dan nggak lagi dianggap sesuatu yang salah, karena saking terbiasa :,(

    ReplyDelete
  4. Betul, Mba Ruri... padahal gak semua PNS itu buruk ya

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. Insya Allah, aamiin.. makasih dah mampir, mba ade :)

      Delete
  6. saluuut... br baca lengkapnya mbak.
    barakallahu keluarganya..
    kudu bc2 dulu info seputar filnya ya :)
    makasih infonya

    ReplyDelete
  7. Selamat mbaaakkk... Alhamdulillah menang yaa..

    ReplyDelete
  8. Selamat mb ya, aku selalu ketinggalan info, ngertinya ya itu-itu aja lombanya, untuk kali ini sya mengundang dengan hormat .hehe, mb Leyla ikut kuis mini,

    https://www.facebook.com/notes/nurul-habeeba/info-kuis-mini-dari-l2s-blog-lets-learn-and-share/405002949567962?comment_id=3410173&ref=notif&notif_t=note_comment

    ReplyDelete
  9. keren! aku juga pengen jadi CPNS. Tapi susah ditembus kalau gak punya 'pelicin'. Hiks >.<

    ReplyDelete
  10. wow, keren nih ceritanya,

    selamat juga ya kak, udah menjadi pemenang lomba MELAWAN KORUPSI, SIAPA TAKUT!, btw juara 2 nih :D

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....