“Ya Allah, berilah kesempatan
untuk ayahku agar bisa naik haji….”
Doa itu selalu kuucapkan setiap
usai menunaikan salat. Sebuah doa
sederhana untuk ayahku, yang sampai pensiun dari Kementerian Agama, belum juga
menunaikan ibadah haji. Sedangkan nyaris
semua teman kantornya, sudah menunaikan ibadah haji, dengan biaya dari negara.
Ayah sudah pernah beberapa kali mengikuti
tes berangkat haji, tapi tidak pernah lulus. Para pegawai Kementerian Agama
yang ingin naik haji dengan biaya negara, tentu dengan embel-embel “perjalanan
dinas” sebagai petugas haji, harus mengikuti tes. Entah kenapa Ayah tidak
pernah lulus tes. Teman-teman kantornya banyak yang bisa berangkat haji lebih
dari sekali. Apakah karena Ayah pernah
berkata bahwa beliau tidak mau berangkat haji dengan biaya negara?
Setiap menjelang tes, Ayah selalu
ogah-ogahan menjalaninya. Bahkan pernah absen karena sakit. Ayah malas “belajar”
agar bisa menjawab soal-soal ujian. Akibatnya, beliau tidak pernah lulus ujian
agar bisa berangkat haji dengan biaya negara. Sampai pensiun pun, beliau tak
menyesali ketidakmampuannya lulus tes berangkat haji. Beliau lebih senang bila
bisa berangkat haji dengan biaya sendiri, bukan dibiayai oleh negara. Maka,
kini, aku hanya bisa mendoakan agar beliau bisa naik haji. Tentu aku juga terbersit
niat untuk menghajikan Ayah, tapi belum mampu.
Memutar ulang memori, ketika aku
baru lulus Sarjana Ekonomi Undip. Pembukaan tes CPNS Kementerian Agama, sungguh
menggoda. Aha… kedua orang tuaku bekerja di Kementerian Agama. Bahkan, saudara-saudaraku
banyak yang bekerja di instansi yang sama. Tentu mudah bagiku untuk menjadi
CPNS Kemenag dengan bantuan mereka. Tapi, apa kata ayahku?
“Ayah tidak mau membantu. Kamu
harus berusaha sendiri. Ayah tidak mau “minta-minta” sama atasan, supaya anak
Ayah bisa jadi CPNS….”
Semua saudara mempertanyakan
keputusan Ayah. Kenapa Ayah tak mau membantu anak-anaknya menjadi PNS Kemenag?
Seandainya mau, tentu beliau bisa. Ya, caranya dengan “meminta” kepada bosnya.
Sudah banyak orang tua yang bekerja di Kemenag, yang berhasil memasukkan anak
atau keponakannya bekerja di Kemenag.
Akhirnya, aku harus melalui jalan
“biasa” sebagaimana yang dilewati para CPNS lain yang tidak punya koneksi di
Kemenag. Aku mendaftar seperti biasa, dan rencananya mengikuti tes CPNS. Di
kesempatan pertama itu, rupanya jadwal tesnya berbenturan dengan jadwal tes di
Sekretariat Negara, dan ibuku menyuruhku untuk ikut tes di Sekneg.
“Kalau kamu keterima yang di
Sekneg, Mamah lebih bangga, karena gak ada koneksi di sana. Orang-orang tau
kalau kamu masuk tanpa koneksi. Kalau keterima di Depag (Kemenag), pasti
orang-orang nyangka kamu dimasukin sama Mamah dan Ayah,” kata almarhumah Mamah,
kala itu.
Aku pun mengikuti tes di Sekneg,
dan melepas kesempatan di Kemenag. Ternyata memang bukan takdirku menjadi CPNS.
Aku tidak lolos di Sekneg.
Setelah menikah dan punya dua anak, tetiba ada kesempatan ikut
tes CPNS Kemenag lagi. Aku kembali mengikutinya dengan jalan biasa. Aku ikut
tes bersama salah seorang anak PNS Kemenag juga. Dalam perjalanan ke Gelora
Bung Karno, tempat tes diselenggarakan, dia berkata,
“Ngapain Mba Ela susah-susah ikut
tes? Sediain aja uang 5 juta, nanti pasti dibantu sama Mamah,” katanya.
“Lah, kamu sendiri kenapa ikut
tes juga? Kamu kan bisa dimasukin sama mamahmu?” aku balik bertanya.
“Enggaklah, mamahku gak mau bantu
anak sendiri, nanti ketauan deh KKN-nya. Tapi kalau bantu orang lain, ya mau.
Untuk Mba Ela, 5 juta aja. Kalau orang lain mah bisa 60 juta-an,” dia
tersenyum.
Aku juga tersenyum. Uang 5 juta?
Keciiil…. Tapi, aku tidak akan menggadaikan prinsipku dengan “menyogok” untuk
bisa menjadi PNS. Akhirnya, aku memang tidak lolos tes CPNS, dan sampai
sekarang pun tidak berhasil menjadi PNS di Kemenag, meskipun orang tua dan
saudara-saudaraku banyak yang bekerja di sana.
Memutar ulang memori lagi, ketika aku tak
kunjung mendapatkan pekerjaan usai lulus kuliah. Seorang kerabat yang bekerja
sebagai PNS, menghubungiku. Katanya, dia mau membuat perusahaan percetakan dan
aku diminta menjadi direkturnya. Wah, tentu saja aku mau sekali. Bayangkan, baru
lulus sudah jadi direktur. Ketika kuceritakan rencana itu kepada ayahku, beliau
langsung tak setuju.
“Pasti itu buat korupsi!” kata
ayahku.
Aku tidak langsung menerima
tuduhan ayahku. Kudatangi dulu kerabatku itu untuk mendapatkan penjelasan soal “pekerjaanku.”
Katanya, pekerjaanku nanti cuma tanda tangan kwitansi saja. Kwitansi percetakan
buku. Kujelaskan hal itu kepada ayahku, dan ayahku sudah menduganya.
“Ya, memang begitu pekerjaannya,
kan dia di instansi penyediaan buku. Jadi, nanti dia pesan ke percetakan
berapa, tapi harga di kwitansinya gak sama dengan harga yang dia bayar. Kamu
yang tanda tangan kwitansi palsunya. Dia dapat kelebihan harganya, deh. Itu
namanya korupsi.”
Setelah mendapatkan penjelasan
ayahku, aku langsung menolak tawaran menjadi “direktur” itu. Direktur bohongan,
hanya untuk membohongi negara.
Ah, ternyata korupsi begitu dekat
dengan keluarga kami. Syukurlah, Ayah mempunyai prinsip yang tegas. Beliau tak
mau terlibat di dalamnya, meskipun memiliki banyak kesempatan. Bahkan, jabatan
ayahku di Kemenag pun masuk wilayah “basah.” Sebagai auditor, ayahku punya
peluang untuk mendapatkan uang suap, tapi beliau selalu menolak. Saudara-saudaraku
tak ada yang percaya kalau ayahku bilang tidak punya uang. “masa Auditor gak
punya uang?”
Percayalah. Di akhir pensiunnya,
ayahku hanya punya satu rumah sederhana dan satu motor butut untuk mengantar
adikku sekolah, dan belum naik haji. Sementara mantan teman-teman kantornya
sudah memiliki mobil lebih dari satu, rumah dan tanah yang banyak, dan sudah
naik haji lebih dari sekali. Untuk biaya hidup sehari-hari, tak dapat hanya
mengandalkan uang gaji. Sering sekali ayahku hanya makan mi instan, kalau uang gaji
sudah habis sebelum waktunya. Alhamdulillah, meskipun keempat anak ayahku
semuanya perempuan, tiga anak telah berhasil lulus sarjana, dan dua anak dapat
menikah tanpa mengeluarkan biaya yang berlebihan. Padahal, biasanya biaya
pernikahan banyak dibebani pada keluarga perempuan. Kami memang tidak hidup
bermewah-mewahan, tetapi cukup.
Tindakan “menyuap” juga pernah
terlintas di benak suamiku ketika mobil yang dikendarainya melanggar lampu
merah, ditambah lagi kami tidak mengenakan sabuk pengaman. Suamiku meminta uang
50 ribu dariku, katanya untuk “menyuap” polisi lalu lintas. Aku bilang, mana
cukup 50 ribu? Tapi, uang yang ada di dompetku memang hanya 100 ribu. Benar
dugaanku, polisi itu meminta uang 700 ribu! Gila! Seperti saranku, akhirnya
suamiku memilih disidang, dengan konsekuensi STNK dan SIM ditahan sampai
sidang, dua minggu kemudian. Ternyata setelah mengikuti sidang, kami hanya
dimintai uang 40 Ribu untuk membayar denda. Oh, polisiiii.. polisiiii…. Alhamdulillah,
kami tidak sempat menyuapnya.
Tidak perlu melakukan “hal besar”
untuk mencegah korupsi, karena semuanya bisa dimulai dari yang kecil. Tanpa
sadar, mungkin kita sudah melakukan “korupsi” kecil-kecilan, yang kita anggap
biasa dan tidak apa-apa. Jangan berteriak-teriak “penjarakan para koruptor dan
hukum seberat-beratnya,” bila kita sendiri turut ambil bagian dalam perbuatan
korupsi, meski “kecil-kecilan.”
Film “Kita Vs Korupsi” juga
menceritakan tindakan pencegahan terhadap korupsi, yang bisa dimulai dari yang
kecil. Sejujurnya, aku belum menyaksikan film ini, tapi sudah membaca reviewnya
di beberapa situs. Film ini terdiri atas empat film pendek, yang memiliki tema
sama: pencegahan terhadap korupsi yang dimulai dari diri kita sendiri.
Salah satu film yang digagas oleh
USAID, TTI (Transparancy International Indonesia), dan KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) ini mengingatkanku kepada ayahku, yaitu film yang berjudul “Selamat Siang, Risa,” yang disutradari oleh
Ine Febriyanti. Sosok Arwoko (Tora Sudiro), seorang ayah yang memiliki sikap
antikorupsi, meskipun rekan-rekan kantornya melakukan korupsi, tidak jauh
berbeda dengan ayahku. Sikap antikorupsinya itu kemudian menurun kepada Raisa,
putrinya. Begitulah, orang tua memberikan teladan yang baik kepada anaknya.
Sebaliknya, di film “Psst… Jangan
Bilang Siapa-Siapa,” memperlihatkan seorang anak SMA, yang gemar melakukan korupsi
kecil-kecilan. Ternyata, ibunya juga suka mengkorupsi uang ayahnya, dan ayahnya
juga melakukan tindakan korupsi di kantornya. Lihatlah, betapa orang tua yang
bersikap antikorupsi maka akan menurun kepada anaknya. Begitu juga orang tua
yang gemar korupsi, anak-anaknya pun tak lepas dari perbuatan serupa.
Aku yakin, film ini adalah film
yang bagus dan harus ditonton oleh para
orang tua dan generasi muda, agar kita terhindar dari tindakan korupsi sekecil
apa pun. Semoga saja kelak aku punya kesempatan menontonnya.
------------------------------------- |
Alhamdulillah, tulisan ini menjadi juara ke-2 dalam lomba Blog Melawan Korupsi Siapa Takut dan mendapatkan I Phone 3S
ada banyak lomba ya mbak ternyata di bulan ini
ReplyDeletemari kita lawan korupsi mbak, mulai dari kebiasaan kita sendiri mbak ^^
iya, banyak banget ya lombanya.. yg penting nulisnya dulu..
Deletemakasih dah mampir ya
yup hrs di mulai dr hal2 kecil dulu ya mbak.. :)
ReplyDeleteIya, Bunda Nai... dimulai dari diri sendiri :)
Deletesubhanallah, salut untuk mbak Leyla & kedua orangtua mbak Leyla :) jadi ingat dulu ketika saya baru diterima jd CPNS Kemenkes, banyak yang bertanya dua hal ini: "Punya kenalan 'orang dalam' ya?" "Bayar berapa supaya bisa diterima?" :p sedih banget, betapa korupsi sudah begitu mentradisi dan nggak lagi dianggap sesuatu yang salah, karena saking terbiasa :,(
ReplyDeleteBetul, Mba Ruri... padahal gak semua PNS itu buruk ya
ReplyDeleteKeluarga hebat... Salut
ReplyDeleteInsya Allah, aamiin.. makasih dah mampir, mba ade :)
Deletesaluuut... br baca lengkapnya mbak.
ReplyDeletebarakallahu keluarganya..
kudu bc2 dulu info seputar filnya ya :)
makasih infonya
sama-sama, Mba Binta... buruan ikuut
DeleteSelamat mbaaakkk... Alhamdulillah menang yaa..
ReplyDeleteSelamat mb ya, aku selalu ketinggalan info, ngertinya ya itu-itu aja lombanya, untuk kali ini sya mengundang dengan hormat .hehe, mb Leyla ikut kuis mini,
ReplyDeletehttps://www.facebook.com/notes/nurul-habeeba/info-kuis-mini-dari-l2s-blog-lets-learn-and-share/405002949567962?comment_id=3410173&ref=notif¬if_t=note_comment
keren! aku juga pengen jadi CPNS. Tapi susah ditembus kalau gak punya 'pelicin'. Hiks >.<
ReplyDeletekerenn
ReplyDeletewow, keren nih ceritanya,
ReplyDeleteselamat juga ya kak, udah menjadi pemenang lomba MELAWAN KORUPSI, SIAPA TAKUT!, btw juara 2 nih :D