Wednesday, October 17, 2012

Guru: Monster atau Motivator?

Dua orang guru TK di sekolah anak saya

Semua guru, baik guru SD, SMP, SMA, maupun kuliah, amat berjasa dalam hidup saya. Guru SD yang mengantarkan saya hingga bisa duduk di  bangku SMP. Guru SMP yang mengantarkan saya hingga bisa duduk di bangku SMA, dan guru SMA yang mengantarkan saya hingga bisa masuk ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia ini tanpa tes. Dosen-dosen di kampus itu pula yang berjasa memberikan nilai cumlaude dan titel Sarjana Ekonomi kepada saya, meskipun sekarang ijazah itu nyaris tanpa arti karena saya tak bekerja di bidang yang sesuai dengan keilmuan.


Namun, untuk bisa menentukan siapa guru yang benar-benar menjadi pahlawan bagi hidup saya, sungguh tidak mudah. Saya harus memutar otak dan mengingat-ingat kebaikan mereka. Siapa guru yang paling baik dan menginspirasi? Belum juga dapat saya temukan. Apakah begitu mudahnya saya melupakan jasa mereka?


Tidak. Persoalannya, justru yang paling saya ingat adalah masa-masa suram selama duduk di bangku sekolah. Masa-masa yang hingga kini masih membayangi saya dalam beberapa mimpi buruk. Meski sudah hampir 10 tahun meninggalkan bangku sekolah dan kuliah, saya masih sering dihinggapi mimpi buruk saat sedang mengerjakan ujian sekolah atau berhadapan dengan guru “monster.” Begitu menyeramkannyakah sekolah di mata saya?

Berdasarkan cerita almarhumah Mama saya, saya masuk SD di usia 5,5 tahun. Seharusnya saya belum boleh masuk SD, dan maksud Mama menyekolahkan saya pun hanya untuk sekadar “menitipkan” anak. Nanti saat kenaikan kelas, saya tak usah dinaikkan saja dan mengulang lagi di kelas satu. Tapi rupanya saya bisa lanjut terus ke kelas dua. Otomatis, saya termasuk murid termuda di kelas.

Berhubung usia belum cukup dan tidak masuk TK pula, saya benar-benar buta soal pelajaran. Sementara teman-teman lain sudah bisa membaca, saya baru mengenal huruf. Wajarlah bila “kebodohan” saya itu sering memancing wali kelas. Beliau sering  mendaratkan cubitan mesra, hingga meninggalkan bekas berwarna biru di paha saya. Itulah guru pertama yang memberikan kesan “monster” dalam ingatan saya.

Guru selanjutnya yang juga saya sebut “monster” dan bahkan membuat saya mendendam hingga beberapa tahun lamanya sampai saya mendapatkan berita tentang kematiannya, adalah guru kelas 6 SD. Dia juga wali kelas saya, berhubung saat itu satu guru memegang semua mata pelajaran untuk satu kelas. Seorang guru lelaki yang pernah menyetrap saya, dalam posisi kaki diangkat satu dan kedua tangan menjewer telinga sendiri. Belum cukup puas, beliau juga mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke tubuh saya dan melontarkan cacian yang menjatuhkan kepercayaan diri seorang murid (SD). Hukuman itu diberikan hanya karena saya suka mencoret-coret bagian belakang buku pelajaran saya (belakangan hobi ini menular kepada anak saya).

Sejak kecil, rupanya saya sudah gemar mencoret-coret, menggambar orang. Saya pernah menekuni hobi corat-coret itu saat duduk di bangku SMA dan kuliah. Saya sempat ingin menjadi komikus dan desainer. Bahkan, saya pernah menjuarai lomba desain busana muslimah se-kampus. Sayangnya, guru kelas enam SD saya itu tak dapat menangkap bakat murid didiknya, dan justru menjatuhkan hukuman yang kemudian meninggalkan luka yang dalam.

Satu lagi guru yang perbuatannya ternyata belum saya lupakan sampai sekarang adalah guru basket sewaktu duduk di bangku SMP. Dia yang –sebenarnya tidak sengaja—melontarkan bola basket ke kepala saya hingga pusing tujuh keliling. Tapi, bukannya minta maaf, malah memarahi saya karena saya berdiri di tempat yang salah dan menyuruh saya beristirahat dengan nada suara yang tanpa empati sedikit pun.

Yah, itulah tiga orang guru “monster” yang perbuatannya masih saya ingat sampai sekarang. Syukurlah, saat duduk di bangku SMA, saya tak menemukan lagi guru-guru “monster.” Entah apakah karena kualitas pendidikan guru SMA lebih baik daripada guru SD atau SMP, atau karena gaji yang mereka terima juga lebih tinggi? Saya tak dapat berspekulasi. Meski kenyataannya memang guru saya di SMA ada yang sudah mampu memiliki mobil. Di zaman saya dulu, sekitar 15 tahun lalu, mobil masih termasuk benda yang teramat mewah dan amat sedikit guru yang memilikinya.

Di SMA, ada beberapa orang guru yang memberikan nilai positif untuk saya, meski hanya sesaat. Saya rasakan dorongan mereka begitu besar untuk pencapaian prestasi dalam hidup saya. Yang pertama adalah Kepala Sekolah saya, saat duduk di kelas tiga SMA. Saya sudah mempunyai hobi menulis cerita pendek sejak SMP dan mulai rajin mengirimkan naskahnya ke majalah. Ketika cerpen saya pertama kali dimuat di sebuah majalah remaja, seorang teman memberitahukan hal itu kepada Kepala Sekolah. Saya lalu dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Berbicara panjang lebar dengan beliau, bahwa beliau bangga dengan saya. Beliau memberikan motivasi agar saya terus menulis dan membawa nama baik sekolah. Mengingatnya kini, membuat mata saya berkaca-kaca. Betapa sebuah kalimat motivasi yang disampaikan dengan baik dan penuh empati, justru akan membuat si penerimanya terdorong dan terpacu untuk lebih bersemangat daripada teguran yang disampaikan dengan caci maki dan pukulan, sebagaimana yang saya terima waktu SD dulu.

Ya, berkat motivasi beliau itu, saya masih menulis sampai sekarang dan sudah belasan buku yang diterbitkan. Sayangnya, ketika saya telah menerbitkan buku pertama dan menyerahkan beberapa bukti terbitnya ke perpustakaan SMA (saya sudah duduk di bangku kuliah), Kepala Sekolah itu sudah digantikan dengan yang lain. Beliau mungkin belum tahu bahwa saya sudah menerbitkan buku dan ada nama beliau di halaman ucapan terima kasih.

Jika Kepala Sekolah memberikan motivasi untuk meneruskan bakat menulis saya, maka guru Antropologi yang merangkap guru BP (Bimbingan Penyuluhan) adalah guru yang memuluskan “jalan” saya di bidang akademik. Beliau memberikan bimbingan kepada saya untuk memilih jurusan yang berpeluang besar saya raih. Kondisi ekonomi keluarga saya yang tidak  berlebihan, membuat saya harus mampu masuk PTN, bila ingin melanjutkan kuliah. Orang tua saya tidak mampu membiayai kuliah bila saya kuliah di PTS. Saya pun belajar dengan giat agar terus mendapatkan rangking satu di kelas dan berpeluang masuk PTN melalui proses seleksi tanpa tes.

Guru BP itulah yang membantu memilihkan jurusan yang punya peluang besar untuk saya masuki. Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Prediksi Guru BP menjadi nyata, karena saya menjadi satu-satunya siswa kelas tiga angkatan 99 di SMA saya, yang bisa masuk Undip tanpa tes. Meskipun ilmu dan ijazah yang saya peroleh itu kini nyaris tidak bersinggungan dengan profesi yang saya geluti kini, saya tetap mendapatkan pengalaman hidup dan ilmu yang berguna selama kuliah di FE Undip.

Demikianlah peran para guru dalam hidup saya. Ada guru yang meninggalkan jejak kelam karena sikap “monster” mereka, ada yang meninggalkan jejak manis karena motivasi yang mereka berikan. Saya mencoba mengerti alasan di balik sikap tidak menyenangkan yang dilakukan oleh guru-guru SD saya. Terlebih mereka mengajar di SD Negeri yang minim fasilitas. Saya ingat dulu, sekolah saya termasuk “bobrok.” Saat hujan, pasti banjir, karena terletak di depan kali yang airnya selalu meluap. Jalanan masih tanah, jadi sepatu para murid pun berat karena tanah-tanah yang melekat. Lantai kelas pun kotor tak karuan. Biasanya, kami akan diminta membersihkan kelas bersama-sama. Otomatis, jam belajar pun terpotong untuk kerja bakti. Lantainya berupa ubin, yang sulit dibersihkan. Membersihkannya harus disikat, tidak bisa dipel saja.

Terakhir kali saya ke sana, sudah ada perbaikan fasilitas, tapi tetap masih kalah dengan sekolah-sekolah berbiaya mahal. Maka, bisa dibayangkan berapa gaji seorang guru SD. Terlebih SD Negeri. Mengajar anak SD pun perlu kesabaran lebih, apalagi kalau anak-anaknya belum bisa membaca dan menulis seperti saya dulu. Walaupun tidak bisa dibenarkan juga memberi pelajaran kepada anak didik dengan cara memukul, mencubit, dan melemparkan caci maki. Para guru harus lebih berempati terhadap muridnya, dengan memberikan dorongan dan pendidikan secara positif, kata-kata yang membangkitkan semangat, dan bukannya menurunkan harga diri.

Kualitas anak-anak kita, salah satunya ditentukan oleh kualitas para guru. Guru adalah orang tua kedua bagi anak-anak. Bahkan, banyak orang tua yang benar-benar menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada para guru. Semestinya, guru hanya membantu. Pendidikan yang utama berada di tangan orang tua. Namun, kesibukan telah membuat orang tua mentah-mentah menyerahkan anak-anaknya kepada guru, tak masalah membayar berapa pun juga.

Sayangnya, sekolah negeri tak dapat dimasuki oleh semua anak karena keterbatasan tempat duduk dan fasilitas. Zaman saya dulu, satu kelas ada 40 orang lebih, dan hanya diajarkan oleh satu guru. Mustahil semua anak dapat ditangani oleh guru itu seorang. Jadi, menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada seorang guru pun tidak bijaksana.

Sedangkan di sekolah swasta, adanya keharusan mengejar nama baik sekolah (agar mendapatkan akreditasi), membuat sekolah kerap melakukan tindakan kecurangan yang berakibat buruk bagi para murid. Ada cerita dari salah seorang guru swasta, yang harus mengerjakan soal ujian kelulusan, lalu memberikan jawabannya ke semua muridnya agar semua muridnya bisa lulus ujian. Murid seperti apa yang bisa diharapkan dari seorang guru yang telah mengajarkan perbuatan “tidak jujur.” Namun, sering kali perbuatan itu bukan berdasar dari keinginan sang guru, melainkan tekanan sistem.

Kini, ada tiga orang guru “pahlawan” yang saya kenal, yang dekat dengan keseharian saya:

Pertama, guru TK anak-anak saya. TK yang dibuatnya kini masih berbentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), dan sedang diurus prosesnya menjadi TK. Biaya sekolahnya per bulan hanya Rp 20 Ribu. Berawal dari niat ikhlas mendidik anak-anak di sekitar kompleks agar mendapatkan pendidikan sejak dini tanpa biaya mencekik.  Memang, di kompleks perumahan tempat tinggal saya itu, banyak dihuni oleh keluarga menengah ke bawah. Tentu saja uang 20 ribu per anak, dengan jumlah anak hanya sekitar 40, tak berarti apa-apa, sekadar uang lelah. Berapa banyak guru yang mau mengajar tanpa pamrih sekarang ini? Pendidikan kini sudah dikomersialisasikan, bahkan di TK tempat adik saya mengajar pun, biaya masuknya Rp 5 Juta/ anak. Sungguh amat jauh dengan biaya masuk anak-anak saya di PAUD yang hanya sekitar Rp 110 Ribu/ anak.

Adik iparku, guru yang akrab dengan siswa-siswanya
Kedua, adik saya, yang kini mengajar sebagai guru kelas satu SD di SD Swasta. Biaya sekolah anak-anak itu amat mahal, tetapi gaji per bulan yang diterima oleh adik saya tak sampai menyentuh bilangan juta. Jam kerjanya pun penuh, dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Belum lagi anak-anak yang datang dari keluarga menengah ke atas, manja, belum cukup umur tapi dipaksakan untuk masuk SD, sehingga harus benar-benar diajari dengan sabar.

Ketiga, adik ipar saya yang mengajar di SMA Swasta. Dia pernah mengajar di sekolah lain dan mengundurkan diri karena tidak mau terlibat dalam praktek kecurangan yang dilakukan sekolah. Dia harus mengerjakan soal ujian siswa dan memberikan jawabannya sebelum ujian dimulai, sehingga semua siswa bisa lulus ujian.

Tentu saja, untuk mendapatkan siswa berkualitas, dibutuhkan guru yang juga berkualitas dan berdedikasi tinggi. Dan untuk itu, juga dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, diantaranya Pemerintah, Perusahaan atau Institusi, LSM, dan Media.


14 comments:

  1. semoga sukses mbak di lombanya ^^

    ReplyDelete
  2. Guru pahlawan tanpa tanda jasa, sudah hampir nggak ada ya. mau ngajar bagus kalo gaji juga bagus u_u

    ReplyDelete
  3. Bahagianya banyak bertemu guru yg memotivasi..
    Semoga sukses dengan kontesnya yaaa...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, Bunda Lahfy, makasih dah mampir ya :)

      Delete
  4. Duh, tulisan mak ini bener spt yg saya pikirkan sampai2 sy belum tergerak menulis ttg ini pdhl sdh DL. Btw optionnya ditambahi name/URL mak, krn kalau komen dg blogspot blog sy disitu tdk aktif, kasian yg klik kesana. Thank you.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh, sama ya? Tulis aja, Mba. Btw, saya gaptek mbak, bingung giaman itu ngutak-atiknya :D

      Delete
  5. wah serem juga ya judul dan isinya mba.. alhamdulillah saya ga punya pengalaman yg begitu buruk dengan guru kecuali yang wajar saja. Btw, good luck mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bu Guru ikutan nulis juga dunk...
      aamiin... makasih doanya :)

      Delete
  6. sy merasa tdk punya kenangan yg berkesan ttng guru, jd enggan ikut kontes ini. tp mbak leyla seorng penulis jd bisa aja ngunkapin mslh mjd tulisan yg bagus :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awalnya saya jg berpikir begitu mba, tp setelah diingat-ingat, ada juga kenangan tentang guru.
      Makasih komentarnya ya mba :)

      Delete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....