Dua orang guru TK di sekolah anak saya |
Semua guru, baik guru SD, SMP, SMA, maupun kuliah, amat
berjasa dalam hidup saya. Guru SD yang mengantarkan saya hingga bisa duduk
di bangku SMP. Guru SMP yang
mengantarkan saya hingga bisa duduk di bangku SMA, dan guru SMA yang
mengantarkan saya hingga bisa masuk ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di
Indonesia ini tanpa tes. Dosen-dosen di kampus itu pula yang berjasa memberikan
nilai cumlaude dan titel Sarjana Ekonomi kepada saya, meskipun sekarang ijazah
itu nyaris tanpa arti karena saya tak bekerja di bidang yang sesuai dengan
keilmuan.
Namun, untuk bisa menentukan
siapa guru yang benar-benar menjadi pahlawan bagi hidup saya, sungguh tidak
mudah. Saya harus memutar otak dan mengingat-ingat kebaikan mereka. Siapa guru
yang paling baik dan menginspirasi? Belum juga dapat saya temukan. Apakah
begitu mudahnya saya melupakan jasa mereka?
Tidak. Persoalannya, justru yang
paling saya ingat adalah masa-masa suram selama duduk di bangku sekolah.
Masa-masa yang hingga kini masih membayangi saya dalam beberapa mimpi buruk. Meski
sudah hampir 10 tahun meninggalkan bangku sekolah dan kuliah, saya masih sering
dihinggapi mimpi buruk saat sedang mengerjakan ujian sekolah atau berhadapan
dengan guru “monster.” Begitu menyeramkannyakah sekolah di mata saya?
Berdasarkan cerita almarhumah
Mama saya, saya masuk SD di usia 5,5 tahun. Seharusnya saya belum boleh masuk
SD, dan maksud Mama menyekolahkan saya pun hanya untuk sekadar “menitipkan”
anak. Nanti saat kenaikan kelas, saya tak usah dinaikkan saja dan mengulang
lagi di kelas satu. Tapi rupanya saya bisa lanjut terus ke kelas dua. Otomatis,
saya termasuk murid termuda di kelas.
Berhubung usia belum cukup dan
tidak masuk TK pula, saya benar-benar buta soal pelajaran. Sementara
teman-teman lain sudah bisa membaca, saya baru mengenal huruf. Wajarlah bila
“kebodohan” saya itu sering memancing wali kelas. Beliau sering mendaratkan cubitan mesra, hingga
meninggalkan bekas berwarna biru di paha saya. Itulah guru pertama yang
memberikan kesan “monster” dalam ingatan saya.
Guru selanjutnya yang juga saya
sebut “monster” dan bahkan membuat saya mendendam hingga beberapa tahun lamanya
sampai saya mendapatkan berita tentang kematiannya, adalah guru kelas 6 SD. Dia
juga wali kelas saya, berhubung saat itu satu guru memegang semua mata
pelajaran untuk satu kelas. Seorang guru lelaki yang pernah menyetrap saya,
dalam posisi kaki diangkat satu dan kedua tangan menjewer telinga sendiri.
Belum cukup puas, beliau juga mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke tubuh saya
dan melontarkan cacian yang menjatuhkan kepercayaan diri seorang murid (SD). Hukuman
itu diberikan hanya karena saya suka mencoret-coret bagian belakang buku
pelajaran saya (belakangan hobi ini menular kepada anak saya).
Sejak kecil, rupanya saya sudah
gemar mencoret-coret, menggambar orang. Saya pernah menekuni hobi corat-coret
itu saat duduk di bangku SMA dan kuliah. Saya sempat ingin menjadi komikus dan
desainer. Bahkan, saya pernah menjuarai lomba desain busana muslimah se-kampus.
Sayangnya, guru kelas enam SD saya itu tak dapat menangkap bakat murid
didiknya, dan justru menjatuhkan hukuman yang kemudian meninggalkan luka yang
dalam.
Satu lagi guru yang perbuatannya
ternyata belum saya lupakan sampai sekarang adalah guru basket sewaktu duduk di
bangku SMP. Dia yang –sebenarnya tidak sengaja—melontarkan bola basket ke
kepala saya hingga pusing tujuh keliling. Tapi, bukannya minta maaf, malah
memarahi saya karena saya berdiri di tempat yang salah dan menyuruh saya
beristirahat dengan nada suara yang tanpa empati sedikit pun.
Yah, itulah tiga orang guru
“monster” yang perbuatannya masih saya ingat sampai sekarang. Syukurlah, saat
duduk di bangku SMA, saya tak menemukan lagi guru-guru “monster.” Entah apakah
karena kualitas pendidikan guru SMA lebih baik daripada guru SD atau SMP, atau
karena gaji yang mereka terima juga lebih tinggi? Saya tak dapat berspekulasi.
Meski kenyataannya memang guru saya di SMA ada yang sudah mampu memiliki mobil.
Di zaman saya dulu, sekitar 15 tahun lalu, mobil masih termasuk benda yang
teramat mewah dan amat sedikit guru yang memilikinya.
Di SMA, ada beberapa orang guru
yang memberikan nilai positif untuk saya, meski hanya sesaat. Saya rasakan
dorongan mereka begitu besar untuk pencapaian prestasi dalam hidup saya. Yang
pertama adalah Kepala Sekolah saya, saat duduk di kelas tiga SMA. Saya sudah
mempunyai hobi menulis cerita pendek sejak SMP dan mulai rajin mengirimkan
naskahnya ke majalah. Ketika cerpen saya pertama kali dimuat di sebuah majalah remaja,
seorang teman memberitahukan hal itu kepada Kepala Sekolah. Saya lalu dipanggil
ke ruang Kepala Sekolah. Berbicara panjang lebar dengan beliau, bahwa beliau
bangga dengan saya. Beliau memberikan motivasi agar saya terus menulis dan
membawa nama baik sekolah. Mengingatnya kini, membuat mata saya berkaca-kaca.
Betapa sebuah kalimat motivasi yang disampaikan dengan baik dan penuh empati,
justru akan membuat si penerimanya terdorong dan terpacu untuk lebih bersemangat
daripada teguran yang disampaikan dengan caci maki dan pukulan, sebagaimana
yang saya terima waktu SD dulu.
Ya, berkat motivasi beliau itu,
saya masih menulis sampai sekarang dan sudah belasan buku yang diterbitkan. Sayangnya,
ketika saya telah menerbitkan buku pertama dan menyerahkan beberapa bukti
terbitnya ke perpustakaan SMA (saya sudah duduk di bangku kuliah), Kepala
Sekolah itu sudah digantikan dengan yang lain. Beliau mungkin belum tahu bahwa
saya sudah menerbitkan buku dan ada nama beliau di halaman ucapan terima kasih.
Jika Kepala Sekolah memberikan
motivasi untuk meneruskan bakat menulis saya, maka guru Antropologi yang
merangkap guru BP (Bimbingan Penyuluhan) adalah guru yang memuluskan “jalan”
saya di bidang akademik. Beliau memberikan bimbingan kepada saya untuk memilih
jurusan yang berpeluang besar saya raih. Kondisi ekonomi keluarga saya yang tidak berlebihan, membuat saya harus mampu masuk
PTN, bila ingin melanjutkan kuliah. Orang tua saya tidak mampu membiayai kuliah
bila saya kuliah di PTS. Saya pun belajar dengan giat agar terus mendapatkan
rangking satu di kelas dan berpeluang masuk PTN melalui proses seleksi tanpa
tes.
Guru BP itulah yang membantu
memilihkan jurusan yang punya peluang besar untuk saya masuki. Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Prediksi Guru BP menjadi
nyata, karena saya menjadi satu-satunya siswa kelas tiga angkatan 99 di SMA
saya, yang bisa masuk Undip tanpa tes. Meskipun ilmu dan ijazah yang saya
peroleh itu kini nyaris tidak bersinggungan dengan profesi yang saya geluti
kini, saya tetap mendapatkan pengalaman hidup dan ilmu yang berguna selama
kuliah di FE Undip.
Demikianlah peran para guru dalam
hidup saya. Ada guru yang meninggalkan jejak kelam karena sikap “monster”
mereka, ada yang meninggalkan jejak manis karena motivasi yang mereka berikan. Saya
mencoba mengerti alasan di balik sikap tidak menyenangkan yang dilakukan oleh
guru-guru SD saya. Terlebih mereka mengajar di SD Negeri yang minim fasilitas.
Saya ingat dulu, sekolah saya termasuk “bobrok.” Saat hujan, pasti banjir,
karena terletak di depan kali yang airnya selalu meluap. Jalanan masih tanah,
jadi sepatu para murid pun berat karena tanah-tanah yang melekat. Lantai kelas
pun kotor tak karuan. Biasanya, kami akan diminta membersihkan kelas
bersama-sama. Otomatis, jam belajar pun terpotong untuk kerja bakti. Lantainya
berupa ubin, yang sulit dibersihkan. Membersihkannya harus disikat, tidak bisa
dipel saja.
Terakhir kali saya ke sana, sudah
ada perbaikan fasilitas, tapi tetap masih kalah dengan sekolah-sekolah berbiaya
mahal. Maka, bisa dibayangkan berapa gaji seorang guru SD. Terlebih SD Negeri.
Mengajar anak SD pun perlu kesabaran lebih, apalagi kalau anak-anaknya belum
bisa membaca dan menulis seperti saya dulu. Walaupun tidak bisa dibenarkan juga
memberi pelajaran kepada anak didik dengan cara memukul, mencubit, dan
melemparkan caci maki. Para guru harus lebih berempati terhadap muridnya,
dengan memberikan dorongan dan pendidikan secara positif, kata-kata yang
membangkitkan semangat, dan bukannya menurunkan harga diri.
Kualitas anak-anak kita, salah
satunya ditentukan oleh kualitas para guru. Guru adalah orang tua kedua bagi
anak-anak. Bahkan, banyak orang tua yang benar-benar menyerahkan pendidikan
anak-anaknya kepada para guru. Semestinya, guru hanya membantu. Pendidikan yang
utama berada di tangan orang tua. Namun, kesibukan telah membuat orang tua
mentah-mentah menyerahkan anak-anaknya kepada guru, tak masalah membayar berapa
pun juga.
Sayangnya, sekolah negeri tak
dapat dimasuki oleh semua anak karena keterbatasan tempat duduk dan fasilitas. Zaman
saya dulu, satu kelas ada 40 orang lebih, dan hanya diajarkan oleh satu guru.
Mustahil semua anak dapat ditangani oleh guru itu seorang. Jadi, menyerahkan
pendidikan anak sepenuhnya kepada seorang guru pun tidak bijaksana.
Sedangkan di sekolah swasta,
adanya keharusan mengejar nama baik sekolah (agar mendapatkan akreditasi),
membuat sekolah kerap melakukan tindakan kecurangan yang berakibat buruk bagi
para murid. Ada cerita dari salah seorang guru swasta, yang harus mengerjakan
soal ujian kelulusan, lalu memberikan jawabannya ke semua muridnya agar semua
muridnya bisa lulus ujian. Murid seperti apa yang bisa diharapkan dari seorang
guru yang telah mengajarkan perbuatan “tidak jujur.” Namun, sering kali perbuatan
itu bukan berdasar dari keinginan sang guru, melainkan tekanan sistem.
Kini, ada tiga orang guru
“pahlawan” yang saya kenal, yang dekat dengan keseharian saya:
Pertama, guru TK anak-anak saya.
TK yang dibuatnya kini masih berbentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), dan
sedang diurus prosesnya menjadi TK. Biaya sekolahnya per bulan hanya Rp 20
Ribu. Berawal dari niat ikhlas mendidik anak-anak di sekitar kompleks agar
mendapatkan pendidikan sejak dini tanpa biaya mencekik. Memang, di kompleks perumahan tempat tinggal
saya itu, banyak dihuni oleh keluarga menengah ke bawah. Tentu saja uang 20
ribu per anak, dengan jumlah anak hanya sekitar 40, tak berarti apa-apa,
sekadar uang lelah. Berapa banyak guru yang mau mengajar tanpa pamrih sekarang
ini? Pendidikan kini sudah dikomersialisasikan, bahkan di TK tempat adik saya
mengajar pun, biaya masuknya Rp 5 Juta/ anak. Sungguh amat jauh dengan biaya
masuk anak-anak saya di PAUD yang hanya sekitar Rp 110 Ribu/ anak.
Adik iparku, guru yang akrab dengan siswa-siswanya |
Ketiga, adik ipar saya yang
mengajar di SMA Swasta. Dia pernah mengajar di sekolah lain dan mengundurkan
diri karena tidak mau terlibat dalam praktek kecurangan yang dilakukan sekolah.
Dia harus mengerjakan soal ujian siswa dan memberikan jawabannya sebelum ujian
dimulai, sehingga semua siswa bisa lulus ujian.
Tentu saja, untuk mendapatkan
siswa berkualitas, dibutuhkan guru yang juga berkualitas dan berdedikasi
tinggi. Dan untuk itu, juga dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak,
diantaranya Pemerintah, Perusahaan atau Institusi, LSM, dan Media.
rajiiiiin...
ReplyDeleteAlhamdulillah ^_^
Deletesemoga sukses mbak di lombanya ^^
ReplyDeleteAaamiin.. terima kasih, Mas Imam ^_^
DeleteGuru pahlawan tanpa tanda jasa, sudah hampir nggak ada ya. mau ngajar bagus kalo gaji juga bagus u_u
ReplyDeleteIya, mba Wina
Deleteterima kasih sudah mampir ya :)
Bahagianya banyak bertemu guru yg memotivasi..
ReplyDeleteSemoga sukses dengan kontesnya yaaa...
Alhamdulillah, Bunda Lahfy, makasih dah mampir ya :)
DeleteDuh, tulisan mak ini bener spt yg saya pikirkan sampai2 sy belum tergerak menulis ttg ini pdhl sdh DL. Btw optionnya ditambahi name/URL mak, krn kalau komen dg blogspot blog sy disitu tdk aktif, kasian yg klik kesana. Thank you.
ReplyDeleteOh, sama ya? Tulis aja, Mba. Btw, saya gaptek mbak, bingung giaman itu ngutak-atiknya :D
Deletewah serem juga ya judul dan isinya mba.. alhamdulillah saya ga punya pengalaman yg begitu buruk dengan guru kecuali yang wajar saja. Btw, good luck mbak :)
ReplyDeleteBu Guru ikutan nulis juga dunk...
Deleteaamiin... makasih doanya :)
sy merasa tdk punya kenangan yg berkesan ttng guru, jd enggan ikut kontes ini. tp mbak leyla seorng penulis jd bisa aja ngunkapin mslh mjd tulisan yg bagus :)
ReplyDeleteAwalnya saya jg berpikir begitu mba, tp setelah diingat-ingat, ada juga kenangan tentang guru.
DeleteMakasih komentarnya ya mba :)